Selasa, 16 Maret 2010

PASADIKA SUTTA

[29]


1– Demikianlah yang saya dengar.
Pada suatu waktu Bhagava dalam perjalanan di antara suku Sakya, dan sedang berada di Taman Mangga seorang Sakya yang bernama Vedhanna.
Waktu itu, Nigantha Nathaputta baru saja meninggal di Pava. Kematiannya menyebabkan para Nigantha (para pengikut Nigantha) pecah dan menjadi dua kelompok yang dalam usaha masing-masing muncul konflik, pertengkaran dan saling melukai dengan menggunakan kata-kata:
‘Anda tidak mengerti dhamma-vinaya ini, tetapi saya mengerti. Bagaimana anda dapat mengerti itu?
Anda salah; ‘Saya benar! Saya berbicara langsung ke pokok pembicaraan, anda tidak’.
‘Anda mengatakan bagian terakhir bagi hal yang seharusnya dipertanyakan’, anda mengatakan dahulu bagi hal yang seharusnya diuraikan dibagian akhir’.
‘Apa yang anda telah lama renungkan berakhir dengan kekecewaan!’
‘Tantangan anda diterima, hal ini membuktikan anda salah! ‘
‘Pergi dan hilangkan pandangan anda, atau bukalah kekusutan anda jika dapat! ‘
Nampaknya para Nigantha, pengikut Nathaputta akan saling membunuh. Begitu pula para siswa awam berjubah putih pengikut Nigantha nampak kaget, terpukul dan marah kepada para Nigantha, karena dhamma dan vinaya mereka buruk, begitu pula bimbingan mereka tidak efektif dan sedikit sekali yang membimbing kearah perdamaian, mengajar bagaikan oleh seorang yang bukan sammasambuddha dan sekarang seperti stupa hancur serta tanpa perlindungan.

2— ‘Sementara itu Samanera Cunda telah menyelesaikan vassa di Pava, pergi menemui Bhikkhu Ananda di Samagama, memberi hormat dan duduk di tempat yang tersedia. Setelah duduk ia berkata kepada Bhikkhu Ananda: ‘Bhante, Nigantha Nathaputa baru saja meninggal di Pava. Setelah beliau meninggal para Nigantha (para pengikut Nigantha) pecah dan menjadi dua kelompok yang dalam usaha masing-masing muncul konflik, pertengkaran dan saling melukai dengan menggunakan kata-kata:
‘Anda tidak mengerti dhamma-vinaya ini, tetapi saya mengerti. Bagaimana anda dapat mengerti itu?
Anda salah; Saya benar! Saya berbicara langsung ke pokok pembicaraan, anda tidak.
Anda mengatakan bagian terakhir bagi hal yang seharusnya dipertamakan, anda mengatakan dahulu bagi hal yang seharusnya diuraikan dibagian akhir’.
‘Apa yang anda telah lama renungkan berakhir dengan kekecewaan!’
‘Tantangan anda diterima, hal ini membuktikan anda salah!’
‘Pergi dan hilangkan pandangan anda, atau bukalah kekusutan anda jika dapat!’
Nampaknya para Nigantha, pengikut Nathaputta akan saling membunuh. Begitu pula para siswa awam berjubah putih pengikut Nigantha nampak kaget, terpukul dan marah kepada para Nigantha, karena dhamma dan vinaya mereka buruk, begitu pula bimbingan mereka tidak efektif dan sedikit sekali yang membimbing kearah perdamaian, mengajar oleh seorang yang bukan sammasambuddha dan sekarang seperti stupa hancur serta tanpa perlindungan’.

Kemudian Bhikkhu Ananda berkata kepada samanera Cunda: ‘Avuso Cunda, hal ini perlu disampaikan kepada Bhagava. Mari kita pergi dan mengatakan hal ini kepada beliau’.
‘Baiklah, bhante,’ jawab Samanera Cunda.

3— ‘Bhikkhu Ananda dan Samanera Cunda pergi menemui Bhagava, setelah bertemu mereka memberi hormat dan duduk di tempat yang tersedia. Setelah duduk Bhikkhu Ananda berkata kepada Bhagava: ‘Bhante, Samanera Cunda mengatakan bahwa , Nigantha Nathaputa baru saja meninggal di Pava. Setelah beliau meninggal para Nigantha (para pengikut Nigantha) pecah dan menjadi dua kelompok yang dalam usaha masing-masing muncul konflik, pertengkaran dan saling melukai dengan menggunakan kata-kata: ‘Anda tidak mengerti dhamma-vinaya ini, tetapi saya mengerti. Bagaimana anda dapat mengerti itu?’
Anda salah; Saya benar! Saya berbicara langsung ke pokok pembicaraan, anda tidak. Anda mengatakan bagian terakhir bagi hal yang seharusnya dipertamakan, anda mengatakan dahulu bagi hal yang seharusnya diuraikan dibagian akhir’.
‘Apa yang anda telah lama renungkan berakhir dengan kekecewaan!’
‘Tantangan anda diterima, hal ini membuktikan anda salah!’
‘Pergi dan hilangkan pandangan anda, atau bukalah kekusutan anda jika dapat!’
Nampaknya para Nigantha, pengikut Nathaputta akan saling membunuh. Begitu pula para siswa awam berjubah putih pengikut Nigantha nampak kaget, terpukul dan marah kepada para Nigantha, karena dhamma dan vinaya mereka buruk, begitu pula bimbingan mereka tidak efektif dan sedikit sekali yang membimbing ke arah perdamaian, dan yang mengajar adalah seorang yang bukan sammasambuddha dan sekarang seperti stupa hancur serta tanpa perlindungan’.
‘Cunda, begitulah dhamma dan vinaya yang buruk, bimbingan tidak efektif dan sedikit sekali yang membimbing ke arah perdamaian, yang di ajarkan oleh seorang yang bukan sammasambuddha’.

4— ‘Cunda, dalam hal ini kita memiliki seorang guru yang bukan sammasambuddha, dhamma diterangkan secara buruk, buruk membabarkannya, tidak efektif membimbing, tidak mengarah pada perdamaian, diajarkan oleh seorang yang bukan sammasam-buddha. Dalam dhamma seperti itu, para siswa tidak dapat menguasai ajaran kecil bagian dari dhamma besar, tidak memiliki prilaku yang baik, tidak berprilaku sesuai dengan dhamma, tetapi anda tetap dalam dhamma seperti itu. Baginya seseorang dapat berkata: ‘Kawan, anda telah mendapat ajaran, dan anda telah mendapat kesempatan.
Guru anda bukan seorang sammasambuddha; dhamma diterangkan secara buruk, buruk membabarkannya, tidak efektif membimbing, tidak mengarah pada perdamaian, diajarkan oleh seorang yang bukan sammasambuddha. Dalam dhamma seperti itu, para siswa tidak dapat menguasai ajaran kecil bagian dari dhamma besar, tidak memiliki prilaku yang baik, tidak berprilaku sesuai dengan dhamma, tetapi anda tetap dalam dhamma itu.
Cunda, guru dan ajarannya perlu dikritik, sedangkan siswanya dapat dipuji’. Seseorang dapat berkata kepada siswa seperti itu: ‘Saudara, laksanakan sesuai dengan ajaran yang diajarkan dan dibabarkan oleh gurumu!. Dia yang mengajar dan dia yang diajar, dan bagi dia yang diajar, melaksanakannya sesuai ajarannya, -- mereka semua akan mendapat banyak hasil buruk. Mengapa demikian?
Karena dhamma dan vinaya mereka buruk, begitu pula bimbingan mereka tidak efektif dan sedikit sekali yang membimbing ke arah perdamaian, dan yang mengajar adalah seorang yang bukan sammasambuddha.

5— ‘Cunda, pertimbangkan bilamana seorang guru bukan sammasambuddha, dhamma diterangkan secara buruk, begitu pula bimbingan mereka tidak efektif dan sedikit sekali yang membimbing ke arah perdamaian, dan yang mengajar adalah seorang yang bukan sammasambuddha, para siswa mematuhi dhamma seperti itu, melaksanakan ajaran kecil dari bagian ajaran besar, dapat berprilaku baik dan berprilaku sesuai dengan dhamma, dan tetap dalam dhamma itu. Kepadanya seseorang dapat berkata: ‘Kawan, anda tidak mujur (karena guru anda) dalam kesempatan anda; guru anda bukan seorang sammasambuddha; dhamma anda diterangkan secara buruk, begitu pula bimbingan mereka tidak efektif dan sedikit sekali yang membimbing ke arah perdamaian, dan yang mengajar adalah seorang yang bukan sammasambuddha, namun anda tetap dalam dhamma seperti itu. Cunda, dengan kata-kata ini, guru, dhamma dan siswa, semuanya pantas dikritik. Seseorang dapat berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya ia yang telah menguasai sistem akan melaksanakannya hingga sukses! – maka ia yang memuji, ia yang dipuji dan ia yang memuji seperti itu – mereka semua akan mendapat banyak hasil buruk. Mengapa demikian? Karena dhamma dan vinaya mereka buruk, begitu pula bimbingan mereka tidak efektif dan sedikit sekali yang membimbing ke arah perdamaian, dan yang mengajar adalah seorang yang bukan sammasambuddha.

6— ‘Cunda, pertimbangkan bilamana seorang guru adalah sammasambuddha, dhamma diterangkan secara baik, begitu pula bimbingan mereka efektif dan membimbing ke arah perdamaian, dan yang mengajar adalah seorang samma-sambuddha, namun para siswa dhamma itu tidak menguasai ajaran kecil dari bagian ajaran besar, tidak belajar untuk dapat berprilaku baik dan tidak berprilaku sesuai dengan dhamma, namun tetap dalam dhamma itu. Kepadanya seseorang dapat berkata: ‘Kawan, anda tidak berhasil, anda telah membuang kesempatan, guru anda seorang sammasambuddha; dhamma diterangkan secara baik, begitu pula bimbingannya efektif dan membimbing ke arah perdamaian, dan yang mengajar adalah seorang sammasambuddha, tetapi anda tidak menguasai ajaran kecil dari bagian ajaran besar, tidak belajar untuk dapat berprilaku baik dan tidak berprilaku sesuai dengan dhamma, namun tetap dalam dhamma itu. Cunda, dengan kata-kata ini, guru dan dhamma dipuji, tetapi siswanya pantas dikritik. Bilamana ada seseorang yang berkata kepada siswa tersebut: ‘Saudara, marilah, laksanakanlah dhamma seperti yang diajarkan guru anda! Penganjur dan yang dianjur serta dia yang dianjur melakukan sesuai anjuran, mereka semua akan mendapat banyak hasil pahala. Mengapa? Karena dhamma telah diterangkan secara baik, begitu pula bimbingannya efektif dan membimbing ke arah perdamaian, dan yang mengajar adalah seorang sammasambuddha’.

7— ‘Cunda, pertimbangkan bilamana seorang guru adalah sammasambuddha, dhamma diterangkan secara baik, begitu pula bimbingan mereka efektif dan membimbing ke arah perdamaian, dan yang mengajar adalah seorang sammasambuddha, dan para siswa dhamma itu telah menguasai ajaran kecil dari bagian ajaran besar, dapat berprilaku baik dan berprilaku sesuai dengan dhamma, serta tetap dalam dhamma itu. Kepadanya seseorang dapat berkata:
‘Kawan, anda telah berhasil, anda telah menggunakan kesempatan dengan baik, guru anda seorang sammasambuddha; dhamma diterangkan secara baik, begitu pula bimbingannya efektif dan membimbing ke arah perdamaian, dan yang mengajar adalah seorang sammasambuddha, anda telah menguasai ajaran kecil dari bagian ajaran besar, dapat berprilaku baik dan berprilaku sesuai dengan dhamma, serta tetap dalam dhamma itu.
Cunda, dengan kata-kata ini, guru dan dhamma serta siswa adalah tiga hal pantas dipuji. Bilamana ada seseorang berkata kepada siswa: ‘Sesungguhnya anda telah menguasai ajaran dan melaksanakannya hingga berhasil, ia yang memuji, ia yang dipuji dan ia yang memuji, meningkatkan dua kali usahanya melakukannya semua akan menghasilkan banyak pahala. Mengapa? Karena dhamma telah diterangkan secara baik, begitu pula bimbingannya efektif dan membimbing ke arah perdamaian, dan yang mengajar adalah seorang sammasambuddha’.

8— ‘Cunda, pertimbangkan misalnya seorang guru arahat sammasambuddha muncul di dunia ini, dhamma telah dibabarkan dengan baik, telah diterangkan dengan baik, efektif membimbing, mengarah pada perdamaian, diterangkan oleh sammasambuddha, tetapi para siswa beliau tidak menguasai dhamma kebenaran (sadhamma) yang telah dibabarkan kepada umat manusia, penghidupan suci (brahmacariya) belum mereka realisasikan dan terbukti bagi mereka sesuai dengan logika itu dibabarkan, juga tidak menggunakannya sebagai pembimbing yang efektif, ketika guru mereka meninggal dunia’.
‘Cunda, bilamana guru seperti itu meninggal dunia maka ini merupakan kesedihan besar dari para siswanya. Mengapa? Karena mereka akan berpikir: ‘Guru kami telah muncul di dunia bagi kami, ia arahat sammasambuddha, dhamma telah dibabarkan dengan baik, telah diterangkan dengan baik, efektif membimbing, mengarah pada perdamaian, diterangkan oleh sammasambuddha, tetapi kami tidak menguasai dhamma kebenaran (sadhamma) yang telah dibabarkan kepada umat manusia, penghidupan suci (brahmacariya) belum kami realisasikan dan terbukti bagi kami sesuai dengan logika itu dibabarkan, juga tidak kami menggunakannya sebagai pembimbing yang efektif, sekarang guru telah meninggal dunia’.
Itulah sebabnya, kematian guru merupakan kesedihan besar bagi para siswanya’.

9— ‘Cunda, pertimbangkanlah, misalnya seorang guru arahat sammasambuddha muncul di dunia ini, dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, telah diterangkan dengan baik, efektif membimbing, mengarah pada perdamaian, diterangkan oleh sammasambuddha, dan para siswa beliau menguasai dhamma kebenaran (sadhamma) yang telah dibabarkan kepada umat manusia, penghidupan suci (brahmacariya) telah mereka realisasikan dan terbukti bagi mereka sesuai dengan logika itu dibabarkan, juga telah menggunakannya sebagai pembimbing yang efektif, ketika guru mereka meninggal dunia’.
‘Cunda, bilamana guru seperti itu meninggal dunia maka ini tidak merupakan kesedihan besar bari para siswanya. Mengapa? Karena mereka akan berpikir: ‘Guru kami telah muncul di dunia bagi kami, ia arahat sammasambuddha, dhamma telah dibabarkan dengan baik, telah diterangkan dengan baik, efektif membimbing, mengarah pada perdamaian, diterangkan oleh sammasambuddha, dan kami telah menguasai dhamma kebenaran (sadhamma) yang telah dibabarkan kepada umat manusia, penghidupan suci (brahmacariya) telah kami realisasikan dan terbukti bagi kami sesuai dengan logika itu dibabarkan, juga kami telah menggunakannya sebagai pembimbing yang efektif, walaupun sekarang guru telah meninggal dunia’. Itulah sebabnya, kematian guru tidak merupakan kesedihan besar bagi para siswanya’.

10— ’Cunda, bilamana penghidupan suci (brahmacariya) sebagai tujuan samana, namun tidak ada guru senior, yang telah lama pabbajja, telah lama ditahbiskan, matang dan maju dalam kesenioritasan, maka berdasarkan hal itu penghidupan suci akan tidak sempurna. Tetapi bilamana ada guru seperti itu, maka penghidupan suci akan sempurna’.

11— ‘Cunda, bilamana dalam hal ini ada guru senior seperti itu, telah lama pabbajja, telah lama ditahbiskan, matang dan maju dalam kesenioritasan, tetapi jikalau di antara para bhikkhu tidak ada siswa senior yang telah berpengalaman, terlatih, ahli, yang telah mencapai kebebasan dari ikatan (patta-yogakhema), yang dapat membabarkan dhamma kebenaran (sadhamma), dapat menjawab siapa saja yang menentang dhamma karena kurang mengerti tentang saddhamma dan karena hal itu ia dapat memberikan keterangan jelas tentang dhamma, sehingga kehidupan suci tidak sempurna’.

12— ‘Cunda, bilamana dalam hal ini ada guru senior seperti itu, telah lama pabbajja, telah lama ditahbiskan, matang dan maju dalam kesenioritasan,
tetapi jikalau di antara para bhikkhu tidak ada siswa tingkat menengah (majjhima bhikkhu) yang telah berpengalaman, terlatih, ahli, yang telah mencapai kebebasan dari ikatan (patta-yogakhema), yang dapat membabarkan dhamma kebenaran (sadhamma), dapat menjawab siapa saja yang menentang dhamma karena kurang mengerti tentang saddhamma dan karena hal itu ia dapat memberikan keterangan jelas tentang dhamma, sehingga kehidupan suci tidak sempurna’.

‘Cunda, bilamana dalam hal ini ada guru senior seperti itu, telah lama pabbajja, telah lama ditahbiskan, matang dan maju dalam kesenioritasan, tetapi jikalau di antara para bhikkhu tidak ada siswa baru (nava bhikkhu) yang telah berpengalaman, terlatih, ahli, yang telah mencapai kebebasan dari ikatan (patta-yogakhema), yang dapat membabarkan dhamma kebenaran (sadhamma), yang dapat menjawab siapa saja yang menentang dhamma, mengerti tentang saddhamma dan karena hal itu ia dapat memberikan keterangan jelas tentang dhamma, sehingga kehidupan suci tidak sempurna’.

‘Cunda, bilamana dalam hal ini ada guru senior seperti itu, telah lama pabbajja, telah lama ditahbiskan, matang dan maju dalam kesenioritasan, tetapi jikalau di antara bhikkhuni tidak ada siswi senior (thera bhikkhuni)’ yang telah berpengalaman, terlatih, ahli, yang telah mencapai kebebasan dari ikatan (patta-yogakhema), yang dapat membabarkan dhamma kebenaran (sadhamma), yang dapat menjawab siapa saja yang menentang dhamma, mengerti tentang saddhamma dan karena hal itu ia dapat memberikan keterangan jelas tentang dhamma, sehingga kehidupan suci tidak sempurna’.

‘Cunda, bilamana dalam hal ini ada guru senior seperti itu, telah lama pabbajja, telah lama ditahbiskan, matang dan maju dalam kesenioritasan, tetapi jikalau di antara bhikkhuni tidak ada siswi tingkat menengah (majjhima bhikkhuni), yang telah berpengalaman, terlatih, ahli, yang telah mencapai kebebasan dari ikatan (patta-yogakhema), yang dapat membabarkan dhamma kebenaran (sadhamma), yang dapat menjawab siapa saja yang menentang dhamma, mengerti tentang saddhamma dan karena hal itu ia dapat memberikan keterangan jelas tentang dhamma, sehingga kehidupan suci tidak sempurna’.

‘Cunda, bilamana dalam hal ini ada guru senior seperti itu, telah lama pabbajja, telah lama ditahbiskan, matang dan maju dalam kesenioritasan, tetapi jikalau di antara bhikkhuni tidak ada siswi baru (nava bhikkhuni) yang telah berpengalaman, terlatih, ahli, yang telah mencapai kebebasan dari ikatan (patta-yogakhema), yang dapat membabarkan dhamma kebenaran (sadhamma), yang dapat menjawab siapa saja yang menentang dhamma, mengerti tentang saddhamma dan karena hal itu ia dapat memberikan keterangan jelas tentang dhamma, sehingga kehidupan suci tidak sempurna’.
tetapi jikalau di antara para upasaka (umat Buddha pria) yang hidup berumah-tangga tidak ada upasaka, upasika (umat Buddha wanita), selibat atau yang lainnya, atau bilamana dhamma tidak maju dan berkembang, tidak disiarkan, tidak diketahui secara luas, tidak diumumkan jauh dan luas, … atau (walaupun keadaan ini dapat dipenuhi) tetapi tidak ada yang mendapat tempat utama dalam dukungan masyarakat, maka penghidupan suci tidak sempurna’.

13— ’Sebaliknya, dengan adanya semua kondisi itu, maka penghidupan suci adalah sempurna’.

14— ‘Cunda, tetapi sekarang saya arahat sammasabuddha telah muncul sebagai guru di dunia, dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, telah diterangkan dengan baik, efektif membimbing, mengarah pada perdamaian, diterangkan oleh sammasambuddha, dan para siswa beliau menguasai dhamma kebenaran (sadhamma) yang telah dibabarkan kepada umat manusia, penghidupan suci (brahmacariya) telah mereka realisasikan dan terbukti bagi mereka sesuai dengan logika itu dibabarkan, juga telah menggunakannya sebagai pembimbing yang efektif, ‘Cunda, tetapi saya sebagai guru telah bertambah tua, telah banyak malam saya lalui, telah lama sejak saya meninggalkan kehidupan berumah-tangga (pabbajja), saya telah mencapai usia tua, kehidupanku akan berahir’.

15— ‘Cunda, ada para siswa bhikkhu-thera yang telah terlatih dengan baik, siap dan terpelajar, telah mencapai ke-arahat-an yang dapat membabarkan dhamma kebenaran (sadhamma), yang bilamana ada seseorang mengajarkan ajaran lain, itu dengan mudah dilawan oleh kebenarana maka mereka akan mampu meluruskannya dengan mengajarkan dhamma dan itu diselesaikan dengan baik.


MAHA GOVINDA SUTTA

MAHA GOVINDA SUTTA

1. Demikianlah telah saya dengar,

Pada suatu ketika Sang Bhagava 1) berada di bukit Gijjha kuta di Rajagaha. Dan pada suatu hari, ketika malam semakin larut, Pancasikha Gandhabbaputto 2) yang perkasa menyinari seluruh Gijjhakuta, datang menemui Sang Bhagava : “Bhante,ada hal yang telah saya dan dengarsendiri dari para dewa Tavatimsa, dan saya akan menceritakannya kepada Sang Bhagava.” “Ceritakanlah kepada-Ku, Pancasikha,” jawab Sang Bhagava.

2. “Bhante, pada waktu yang lampau, setelah berselang masa yang lama, pada malam yang kelimabelas di bulan purnama sempurna, di hari Uposatha 3),di hari Pavarana 4), para dewa Tavatimsa 5) berkumpul dan duduk di gedung pwertemuan Sudhamma. Dan mereka pun disertai oleh makhluk-makhluk surga yang telah duduk, dan diempat penjuru didiami oleh empat Maharaja. Di sebelah timur, Raja Dhatarattho dengan mengepalai para pengikutnya, duduk menghadap ke barat. Di sebelah selatan, Raja Virulhaka dengan mengepalai para pengikutnya, duduk menghadap ke utara. Di sebelah barat, Raja Virupakkha dengan mengepalai para pengikutnya, duduk menghadap ke timur. Di sebelah utara, Raja Vessavana dengan mengepalai para pengikutnya, duduk menghadap de selatan. Bhante, ketika para dewa Tavatimsa telah berkumpul di gedung pertemuan Sudhamma, dengan dikelilingi oleh semua makhluk surga lainnya yang telah duduk pula, dan diempat penjuru empat Maharaja telah duduk sesuai urutan susunan kedudukan mereka masing-masing. Selanjutnya, berulah urutan tempat duduk. “Bhante, para dewa yang baru saja lahir di alam dewa Tavatimsa, yang terlahir di situ karena telah hidup sesuai dengan penghidupan- suci 6), yang telah dibabarkan oleh Sang Bhagava, maka cahaya tubuh mereka melampaui cahaya tubuh dewa lainnya. Kemudian terdengar kata-kata dari para dewa Tavatimsa yang sedang diliputi kegembiraan, kegiuran dan kesenangan : “O,cahaya tubuh makhluk surga bertambah gemilang, sedangkan cahaya tumbuh para asuara 7) memudar !

3. Bhaante, ketika raja dewe Sakka melihat kepuasan yang diperlihatkan oleh para dewa Tavartimsa, ia menyatakan kata-kata simpatinya sebagai berikut :”Para dewa pengusaha Surga Tavatimsa, semuanya gembira, semuanya menghormat Sang Tathagata.) dan Dhamma-kebenaran. Di Sini mereka para dewa yang baru lahir, indah dan bercahaya, kerena mereka telah melaksanakan penghidupan-suci yang dibabarkan oleh sang Sugata 1), datang kemari dengan penuh kemegahan melampaui kegemilangan para dewa yang lain. Karena melihat hal ini, maka para Tavatimsa dan pengusaannya bergembira. Semua menghormat Sang Tathagata dan Dhamma-kebenaran.”

4. Bhante,berdasarkan hal ini, para dewa Tavatimsa bertambah gembira, sengang dan penuh kegiuran, berkata : “Cahaya tubuh makhluk surga bertambah gemilang, sedangkan tubuh para Asura memudar!” Bhaante, ketika raja dewa Sakka menyaksikan kepuasan para dewaTavatimsa ia bertanya kepada mereka : “Apakah kamu mau mendengarkan delapan fakta kebenaran 2) dari Sanafg Bhagava yang terpuji ?” “Kami mau mendengar hal-hal itu.” Bhante, kemudian raja dewa Sakha memberitahukan kepada para dewa Tavatimsa tentang delapan Fakta-kebenaran dari Sang Bhagava yang terpuji?” “kami mau mendengar hal-hal itu.” Bhante, kemudian raja dewa sakka memberitahukan kepada para dewa Tavitimsa tentang delapan fakta-kebenaran dari sang Bhagava yang terpuji.

5. “O, para dewa Tavatimsa, bagaimanakah pendapat kamu ? begitu lama Sang Bhagava telah melakukan banyak perbuatan kesejahteraan orang banyak, karena kasih sayangnya kepada dunia, untuk kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Ketika tidak akan dapat menemukan guru seperti Sang Bhagava atau semacam dia, walaupun kita mencari dia, walaupun kita mencari di masa yang lampau maupun di masa yang akan datang.

6. Demikian pula dengan Dhamma, telah sempurna dibabarkan oleh san Bhagava, dapat dilihat, tidak lapuk oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan, menuntuk kedalam batin, dan dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing. Selain Bhagava, maka kita tidak akan dapat menemukan pengajar Dhamma kebenaran yang membimbing kita itu atau guru semacam dia, walaupun kita mencari di masa yang lampau maupun di masa yang akan datang.

7. Ini baik, itu buruk, hal ini telah dibabarkan dengan jelas oleh Sang Bhagava. Beliau telah membabarkan dengan jelas tentang; “ini salah, itu benar, itu perlu dituruti, itu dihindari, ini kasar, ini halus, inio kebahagiaan yang meragukan”. “Sselain Sang Bhagava, maka kita tidak akan dapat menemukan pembabar Dhamma, Guru semacam Dia, walaupun kita mencari dimasa yang lampau maupundi masa yang akan datang.

8. Sang Bhagava telah membabarkan dengan sempurna jalan ke Nibbana 1) kepada para siswa-siswa-nya 20 dan merekamengikuti jalan dan mencapai Nibbana. Bagaikan air sungai Gangga dan Yamuna yang mengalir bersama-sama dan bersatu, demikian pula dengan jalan yang menuju Nibbana yang telah dibabarkan dengan sempurna, yaitu dilaksanakan bersama-sama dan menjadi sati. Selain Sang Bhagava, maka kita akan menemukan pembabar jalan ke Nibbana seperti dia, walau pun kita mencari di masa lampau maupun di masa yang akan datang.

9. Sang Bhagava telah menerima siswa-siswa, dan mereka telah mengikuti jalan, dan para arahat yang telah hidup dengan memanfaatkan kehidupan, Beliau tidak berpisah dengan mereka, karena tetap bersama dengan mereka dalam batin yang bersatu. Selain Sang Bhagava, maka kita tidak akan menemukan guru yang seperti Dia, walaupun kita mencari di masa yang lampau, maupun di masa yang akan datang.

10. Telah sempurna apa yang didapat Sang Bhagava, kemasyurannya telah tesebar, demikian pula menurut pendapatku banyak kesatria yang berkecendrungan baik kepada beliau. Namun demikian, Sang Bhagava tidakterpengaruh sedikitpun dengan segala pujian. Selain Sang Bhagava, maka kita tidak akan menemukan Guru yang tidak terpengaruh seperti Dia, walaupun kita mencari di masa yang lampau maupun dimasa yang akan datang.

11. Perbuatan Sang Bhagava adalah sesuai dengan perbuatannya, ucapannya adalah sesuai dengan perbuatannya selain Sang Bhagava, maka kita tidak akan menemukan orang yang melaksanakan Dhamma dari yang mudah sampai sulit sekali dengan konsekwen seperti Dia atau Guru semacam Dia, walaupu kita mencari di masa yang lampau, maupun di masa yang akan datang.

12. Sang Bhagava telah menyebrangi lautan keragu-raguan, demikian pula semua yang perlu diketahui telah diketahui, segala sesuatuyang perlu dikerjakan telah diselesaikan dengan sempurna berdasarkan tekadnya yang teguh dan penghidupan sucinya. Selain Sang Bhagava, maka kita tidak akan menemukan Guru yang telah mencapai Pencapaian seperti Dia atau Guru semacam Dia, walaupun kita mencari di masa yang lampau maupun di masa yang akan datang. Bhante, kedelapan fakta-kebenaran Sang Bhagava yang terpuji ini, telah dikatakan oleh Raja Dewa Sakka kepada para dewa Tavatimsa. Setelah mendengar hal ini, para dewa Tavatimsa bertambah gembira, senang penuh kegiuran dan bahagia.

13. Bhante, kemudian para dewa tertentu berkata: “O, Adaikata ada Empat Samma Sambuddha muncul di dunia dan mengajarkan Dhamma seperti Sang Bhagava, Mereka akan menyebabkan kesejahteraan orang banyak, kebahagiaan orang banyak, karena kasih sayang kepada dunia, untuk kemaj7uan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.” “Dan para dewa tertentu lain berkata: “Cukup, apabila ada tiga Samma Sambuddha yang muncul di dunia.” “Dan para dewa tertentu lain berkata : “Cukup, apabila ada Samma Sambuddha dua yang muncul di dunia dan mengajarkan Dhamma seperti Sang Bhagava . Mereka akan menyebabkan kebahagiaan orang banyak, kesejahteraan orang banyak, demi kasih sayang kepada dunia, untuk kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.”

14. Kemudian Raja Dewa Sakka berkata kepada para dewa Tavatimsa : “Kawan-kawan, tidak akan pernah dan tidak mungkin dalam satu tata surya 1) ada dua arahat samma sambuddha muncul bersama-sama, hal ini tidak pernah ada di masa yang lampau maupun di masa yang akan datang. Hal ini tidak akan pernah terjadi. O, Kawan-kawan, namun, bila Sang Bhagava dapat hidup umur panjang, bebas dari penyakit dan kesakitan, hal ini yang dapat menyebabkan kesejahteraan orang banyak, kebahagiaan orang banyak, karena kasih sayangnya kepada dunia, untuk kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa manusia.” “Bhante, setelah para dewa Tavatimsa selesai merundingkan dan membicarakan bersama-sama pokok persoalan sehinga mereka berkumpul dan duduk di gedung pertemuan Sudhamma, dan berkenaan dengan maksud di gedung pertemuan Sudhamma, dan berkenaan dengan maksud tertentu, maka keempat Maharaja menerima pembicaraan tersebut, dan dengan berdiri dari tempat duduk, keempat Maharaja menerima nasehat. “Kata-kata pemberitahuan dan nasehat diterima oleh para raja tersebut di situ, dengan pikiran mereka yang terpusat dan tenang mereka berdiri di tempatnya masing-masing.”

15. Bhate, kemudian, suatu cahaya gemilang memancar darisebelah utara. Suatu cahaya gemilang yang mellampaui kemegahanpara dewa. Lalu, Raja Dewa Sakka berkata pada dewa Tavatimsa: “Kawan-kawan, sesuai dengan tanda-tanda yang nampak, sesuai dengan cahaya sinar, sesuai dengan kegemilangan yang kelihatan, itu menandakan dewa Brahma akan tiba. Karena ini adalah tanda-tanda pendahuluan akan tiba Dewa Brahma, yaitu munculnya sinar dan terlihatnya cahaya gemilan.”
“Sekarang tanda-tanda terlihat maka Dewa Brahma akan tiba. Karena ini adalah tanda-tanda pendahuluan dari kedatangan Dewa Brah ma yaitukemegahan yang gemilang sekali.” “Bhante, kemudian,para dewa Tavatimsa dengan duduk di tempat mereka masing-masing berkata: “Kami akan dapat memastikan aapa yang menyebabkan sinar ini, bila kami telah membuktikannya, maka kami akan pergi menemuinya.” Keempat Maharajapun dengan duduk di tempat mereka, menyatakan hal yang sama. Ketika mereka telah mendengar hal ini. Para dewa Tavatimsa semuanya setuju: “Kamiakan dapat memastikan apa yang menyebabkan sinar ini, bila kami telah membuktikannya, maka kami akan pergi menemuinya.”

16. Bhante, ketika dewa Brahma Sanamkumara muncul di depan dewa Tavatimsa, ia nampak dengan tubuh yang agak keras sesuai dengan apa yang agak keras sesuai dengan apa yang diciptakannya. Karena biasanya, dewa Brahma nampak tidak cukup bermateri bila dilihat oleh para dewa Tavitimsa. Ketika dewa Brahma Sanamkumara muncul di depan para dewa Tavatimsa cahaya dan kemegahannya melampaui cahaya dan kemegahan dari dewa lainnya. Bagaikan patung yang dibuat dari dewa lainnya. Bagaikan patung yang dibuat dari emas yang melampaui warna tumbuh manusia,demikian pula, ketika dewa Brahma Sanamkumara muncul di depan para dewa Tavatimsa, cahayanya melampaui cahaya para dewa Tavatimsa. “Bhante, dan ketika Dewa Brahma Sanamkumara muncul di depan para dewa Tavatimsa, tidak ada di antara semua yang hadir menghormat, berdiri dari duduk, atau mempersilahkan dia duduk. Mereka semua duduk dengan diam, dengan kedu tangan dirangkap beranjali, duduk bersila, dan berpikir : “Bila mana Dewa Brahma Sanamkumara ingin sesuatu, maka ia akan duduk di tempat-duduk dewa 1). Dan tempat duduk dewa manapun yang didudukinya, maka dewa pemilik tempat duduk tersebut akan merasa senang sekali, bagaikan seorang kesatria yang baru-baru dimahkotai dan dinobatkan, ia merasa bangga dan senang sekali.”

17. bhante, kemudian, setelah Dewa Brahma Sanamkumara mengetahui betapa senangnya para dewa Tavatimsa tersebut, maka ia menyatakan rasa senangnya dengan syair ini : “Para dewa dan penguasa Tavitimsa semuanya gembira, semuanya menghormat Sang Tathagata dan Dhamma-kebenaran. Dio sini mereka melihat para dewa yang baru lahir, indah dan bercahaya, karena mereka telah melakukan penghidupan-suci yang diajarkan Sang Sugata. Mereka sebagai sisiwa yang telah merealisasa-kebenaran datang kemari, dengan penuh kemegahan malampaui kegemilangan dewa yang lain. Karena melihat hal ini, maka para dewa Tavatimsa dan penguasanya bergembira Semuanya menghormat San Tathagata dan Dhamma-kebenaran.:”

18. Inilah yang dikatakan oleh Dewa Brahma Sanamkumara. Ia menyatakan syair itu dengan delapan macam sifatSuara 1) suaranya lancar, jelas, merdu, nyaring, mengalun, dapat dimengerti, dalam dan bergetar2). Bhante, ketika Dewa Brahma Sanamkumara berkata kepada para dewa yang hadir, suaranya tidak dapat didengar di luar gedung pertemuan tersebut. Dia yang memiliki suara dengan delapan sifat tersebut dinyatakanmemiliki suara brahma 3).
19. Bhante, kemudian para dewa Tavatimsa berkata kepada Dewa Brahma Sanamkumara: “Obrahma Baik sekali! Kami gembira dengan apa yang kami saksikan ini. Lagi pula, Raja Dewa Sakka telah memberitahukan kepada kami delapan fakta-kebenaran dari Sang Bhagava, dan kami telah memperhatikan pula hal-hal itu, dan kami bergembira pula dengannya.” “Bhante, lalu Dewa Brahma Sanamkumara berkata kepada Raja Dewa Sakka sebagai berikut : “O, Raja Dewa Sakka, Baik sekali. Kami juga mau mendengarkan delapan fakta-kebenaran dari Sang Bhagavayang terpuji.” “O.Maha Brahma, baiklah, jawab Sakka.
20. Dan selanjutnya ia mulai. “Maha Brahma, bagaimana pendapatmu?” (ia mengucapkan delapan fakta-kebenaran yang terpuji dari Sang Bhagava 21 sampaui dengan 27 ) Bhante, setelah mendengar hal tersebut, Dewa Brahma Sanamkumara merasa senang, gembira, penuh kegiuran dan bahagia.
21. Bharte, demikianlah, Dewa Brahma Sanamkumara menciptakan dirinya dengan tubuh yang agak keras sehingga nampak seperti pemuda Pancasikha, dan dengan bentuk seperti itu ia muncul di depan para dewa Tavatimsa. Dengan melayang ke angkasa, ia duduk bersila di angkasa. Bhante, bagaikan seorang yang gagah perkasa yang duduk bersila di atas tempat yang rata atau tempat duduk di tanah yang datar, demikian pula dengan Dewa Brahma Sanamkumara melayang ke angkasa dan duduk bersila di angkasa. Dan ia berkata kepada para dewa Tavatimsa :
22. “O, para dewa Tavatimsa, bagaimanakah pendapat kamu ? sudah berapa lamakah Sang Bhagava memiliki Mahapanna 1)?” Tersebutlah, pada suatu ketika ada seorang raja yang bernama Disampati, dan menteri dari raja Disampaikan adalah seorang brahmana bernama Govinda. Putara raja Disampati bernama Pangeran Ranu, dan putra dari Menteri Govana bernama Jotipala. Pangeran Ranu, Jotipala dan enam pemuda kesatria lainnya, jadi delapan pemuda yang bersahabat. Demikianlah beberapa waktu kemudian Brahmna Givnda meninggal. Karena berduka cita atas kematiannya, maka Raja Disapaikan berkata : “O, baru saja kami mempercayakan semua tugas-tugas kami kepada Brahmana Govinda, dan selagi kami memuaskan inderia-inderia kami, Govinda meninggal !” Lalu Pangeran Ranu berkata kepada raja : “Baginda, janganlah bersedih, begitu bagi Brahmana Govinda. Govinda mempunyai seorang putra bernama Jotipala yang lebih bijaksana dari pada ayahnya, lebih baik. Lihatlah, apa yang lebih menguntungkan dari pada ayahnya. Biarkanlah Jotipala melaksanakan semua tugas yang dipercayakan kepada ayahnya.” “Kau berpendapat demikian, Nak?’ “Ya,Baginda.”
23. Lalu Raja Disampati memanggil seorang pengawal dan bersabda : “Kemarilah saudara, temuilah Jotipala dan katakan kepadanya: Semoga keberuntungan selalu bersama Jotipala ! Raja Disampati memanggil anda, Jotipala ! Raja Disampati mau bertemu dengan anda, Jotipala !” “Baiklah, Baginda, jawab pengawal tersebut, lalu pergi menemui Jotipala dan menyampaikan pesanan tersebut. “Baik saudara,” jawab Jotipala, dan pergi menghadap raja. Ketika ia tiba di hadapan raja, ia menghormat kepada raja dan menyapa dengan sopan, lalu duduk di disamping. Kemudian Raja Disampati bersabda : “Kami mau Jotipala membantu kami. Harap Jotipala tidak menolak untuk melaksanakannya. Saya akan menempatkan Jotipala pada kedudukan ayahmu dan mengangkat menjadi prngurus 2). “Baiklah, Baginda,” jawab Jotipala menyetujui.
24. Demikian Raja Disampati mengangkat Jotipala menjadi menteri, dan menempatkannya pada kedudukan ayahnya. Setelah diangkat dan ditempatkan, maka tugas apa saja yang dikerjakan oleh ayahnya, semuanya itu dilaksanakan oleh Jotipala, tetapi tugas apa saja yang tidak dikerjakannya. Dan pekerjaan apa saja yang telah diurus oleh ayahnya, demikian pula yang di urus oleh Jotipala, dan bukan yang lain. Karena hal inilah Jotipala dipanggil” “Maha Govinda.”
25. Setelah berselang beberapa waktu, maka Govinda menemui keenam kesatria kawannya dan berkata kepada mereka : “Raja Disampaikan telah tua dan berusia lanjut, masa kehidupannya akan segera berpikir. Siapakah yang dapat mempertahankan kehidupan ? Bila mana Raja meninggal, maka pantaslah bagi penobatan-raja 1) menobatkan pangeran Ranu menjadi raja. Saudara-saudara, saya sarankan supaya kamu menemui pangeran Ranu dan katakan kepadanya : “Kami disayangi, dicintai, dan bersahabat-karib dengan junjungan kami pangeran Ranu, kami berbahagia bila junjungan kami bahagia, kami tidak bahagia bila beliau tidak bahagia. Raja Disampati jujungan kami telah tua, berusia lanjut dan masa kehidupannya akan segera berakhir. Siapakah yang dapat mempertahankan kehidupan ? Bila raja meninhgal, maka pantas bagi penobat-raja menobatkan jujungan kami pangeran Ranu menjadi raja. Bila junjungan kami pangeran Ranu mendapat anugrah, semoga kami mendapat bagian dari anugerah tersebut pula.”
26. “Baiklah,” jawab keenam kesatria, lalu mereka pergi menemui pangeran Ranu, dan menyampaikan pesan tersebut. “Kawan-kawan, mengapa? Siapakah di samping saya yang akan jaya di kerajaan ini bila bukan kamu ? Bila saya mendapat kekuasaan pada kerajaan, saya akan membagikan kepada kamu.”
27. Setelah beberapa waktu berselang, Raja Disampati meninggal. Setelah beliau meninggal, penobat-raja menobatkan pangeran Ranu menjadi Raja. Setelah ia menjadi raja, ia tenggelam dalam pemuasan nafsu inderianya. Kemudian Maha Govinda menemui keenam kesatri kawannya dan berkata : “Kawan-kawan, Raja Disampati telah meninggal, danjunjungan Raja Ranu tenggelam dalam pemuasan nafsu inderianya. Kawan-kawan, siapakah yang dapat menjawab ? Pemuasan inderia adalah sangat memikat. Saya sarankan kamu menemui raja Ranu, dan katakan kepadanya : “Raja Disamparti telah meninggal, junjunganku Pangeran Ranu telah dinobatkan menjadi raja. Apakah jujunganku, ingat janjinya?” “Baiklah, kawan” jawab keenam kesatria, dan pergi menemui raja Ranu dan berkata : “Raja Disampati telah meninggal, dan junjungan kami Pangerang Ranu telah dinobatkan menjadi raja. Apakah junjungan kami ingat janjinya?” “Kawan-kawan, saya ingat janjiku. Siapakan diantara kamu yang dapat membagi dengan baik kerajaan yang maha luas ini, yang luas di utara dan berbentuk mulut kereta 1) di selatan, menjadi tujuh bagian yang sama?” “Baginda, siapakah yang dapat melakukannya kalau bukan Brahmana Maha Govifda?”.
28. Maka Raja Ranu menyuruh seseorang memanggil Maha Govinda dengan bersabda: “Saudara yang baik, ke mari. Pergi temui Maha Govinda dan katakan kepadanya : “Raja memanggilmu.” “Maha Govinda diberitahu, menyetujuinya, dan datang menghadap raja, setelah memberi hormat dan saling menyapa dengan hormat, ia duduk disamping. Kemudian raja bersabda kepadanya : “Maha Govinda, dapatkah kamu pergi membagi tanah kerajaan yang maha luas ini, yang luas di utara, dan berbentuk mulut kereta di selatan menjadi tujuh bagian yang sama?” “Baiklah, Baginda”, jawab Maha Govcinda. Dan ia melakukannya.”


29. Dan hasilnya kerajaan dari raja Ranu terletak dibagian tengah, seperti yang dikatakan :
Dantapura bagi Kalingga, Potana bagi Assaka.
Mahissati bagi Avanti, Roruka bagi Sovira.
Mithila bagi Videha, Campa bagi Anga.
Akhirnya Benares dalam kerajaan Kasi : semua ini telah dibagi oleh Maha Govinda dengan baik.Keenam kesatria mersa senang dengan bagian mereka masing-masing, yang sesuai dengan cita-cita mereka. Karena itu mereka berkata: “Apa yang kami inginkan, apa yang kami sukai, apa yang kami maksudkan, apa yang kami tujui, itulah yang telah kami dapati.” Dan ketujuh raja ini dinamakan : Sattabhu dan Brahmanadatta, Vessabhu dengan Bharata Ranu dan dua Dhatarattha. Inilah ketujuh Bharata.

30. Kemudian keenam kesatria itu menemui Maha Govinda dan berkata kepadanya : “Saudara Govinda menyayangi, mencintai dan bersahabat baik dengan Raja Ranu demikian pula ia menyayangi, mencintai dan bershabat baik dengan kami. Kami harap dia tidak menolak.” “Baiklah, Jawab Maha Govinda. Demikianlah maka ia menasehati ketujuh raja yang telah dinobatkan itu tentang cara mengatur pemerintahan, dan ia pun mengajarkan mantra-mantra kepada tujuh orang Brahmana kaya, dan tujuh ratus siswa 1).

31. Tidak lama kemudian, reputasi baik dari Brahmana Maha Govinda tersiar sampai keluar kerajaan, dengan kata-kata pujian sebagai berikut : “dengan matanya sendiri Maha Govinda melihat Brahma ! Maha Govinda bertemu dengan Brahma, bercakap-cakap dan meminta bimbingannya !” Sementara itu, Maha Govinda berpikir : “Berita kepopuleranku telah tersiar sampai keluar kerajaan, dengan kata-kata pujian seperti itu, bahwa saya telah melihat Brahma, saya telah bertemu dengan Brahma, bercakap-cakap dan meminta bimbingannya.’ Sesungguhnya saya belum pernah melihatnya, belum pernah bertemu dengannya, belum pernahbercakap-cakap atau meminta bimbingannya. Tetapi saya telah mendengar dari orang-orang tua, para brahmana terhormat, para guru dan para siswa yang mengatakan bahwa’ orang yang bersemadi selama empat bulan musim hujan dengan mencapai tingkat-tingkat Jhana 2). Ia dapat melihat Brahma, bertemu dengan Brahma, berckap-cakap dan mendapat bimbingannya. Jka demikian, lebih baik saya melaksanakan cara itu.

32. Demikianlah, mak Maha Govinda pergi menghadap raja, dan memberitahukan tentang berita yang tersiar mengenai dirinya, dan tentang keinginannya untuk mempraktekkan semedi, serta menambahkan : “Baginda, saya ingin bersemedi selama empat bulan musim hujan untuk mencapai tingkat-tingkat Jhana. Jangan biarkan siapapun menemuiku, kecuali orang yang membawa makanan untukku.””Lakukanlah apa yang kau inginkan, Maha Govinda.”

33. Selanjutnya Maha Govinda Mendatangi setiap kawannya dan mengatakan kepada keenam kawannya tersebut tentang hal yang sama, dan memohon diri dari mereka pula.

34. Setelah itu ia menemui tujuh orang Brahmana kaya dan tujuh ratus siswa, dan mengatakan kepada mereka tentang berita yang telah tersiar mengenai dirinya, juga tentang keinginannya untuk bersemadi, dan berkata : “Saudara-saudara, sesuai dengan mantra-mantra yang telah kamu dengar dan hafalkan, maka ulang-ulangilah itu dengan baik, dan kamu saling mengajarkan apa yang masing-masing ketahui. Saudara-saudara, saya ingin bersemadi selama empat bulan musim hujan untuk mencapai tingkat-tingkat Jhana. Jangan biarkan siapapun datang menemuiku, kecuali orang yang membawa makanan untukku.” “Lakukanlah apa yang kau inginkan, Maha Govinda.”

35. Setelah itu, ia pergi menemui empat puluh orang istriny yang semuanya mempunyai hak yang sama, dan mengatakan kepada mereka tentang berita yang telah tersiar mengenai dirinya, dan keinginannya untuk bersemedi. Dan merekapun memberikan jawaban yang sama seperti apa yang dikatakan oleh kawan-kawanya

36. Kemudian, untuk maksud tersebut, maka sebuah rumah peristerahatan didirikan disebelah timur kota untuk Maha Govinda. Dan di situlah ia bersemedi selama empat bulan musim hujan untuk mencapai tingkat-tingkat Jhana, dan tidak seorangpun yang menemuinya, kecuali orang yang membawa makanan untuknya. Tetapi, setelah empat bulan masa musim hujan berlalu, perasaan tidak puas dan kebosanan meliputi dirinya ketikaia berfikir: “saya telah mendengar dari orang-orang tua, para Brahmana terhormat, para guru dan siswa-siswa yangberkata bahwa orang yang bersemedi selama empat bulan masa musim hujan dengan mencapai tingkat-tingkat Jhana dapat melihat Brahma, bertemu dengan Brahma, bercakap-cakap dan mendapat bimbingan Brahma.” “Tetapi saya tidak melihat Brahma, tidak bertemu dengan Brahma, tidak bercakap-cakap ataupun mendapat bimbingan dari Brahma.”

37. Ketika Dewa Brahma Sanamkumara mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh Maha Givinda, ia lenyap dari alam Brahma bagaikan seorang yang gagah perkasa merentangkan kedua tangannya atau merapatkan tangannya, ia muncul didepan Maha Govinda.Ketika Maha Govinda melihat keadaan yang belum pernah dilihatnya ini, ia takut, gemetar bulu romanya berdiri. Lalu, ia walaupun ketakutan, gemetar dan bulu romanya berdiri berkata kepada Dewa Brahma Sanamkumara dengan Syair-syair ini:” “Siapakah anda yang nampak indah menarik dan gemilang. Kami bertanya karena mengenalmu, Dengan bertanya kami akan mengetahui.” “Di alam Brahma saya dikenal sebagai Sanamkumara semua dewa mengenalkan, demikian pula dengan Govinda.” “Seandainya air untuk mencuci kaki, bawalah madu kue dan minuman untuk Brahma. Kami menanyakan apa yang baik dan diperlukan olehmu. Semoga itu dinyatakan kepada kami.” “Dengan ini kami menerima pemberianmu yang seperti kamu katakan Givinda. Tanyakanlah apa yang kau butuhkan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan pada sekarang ini atau untuk masa yang akan datang.”

38. Lalu Maha Govinda berpikir : “Kesempatan yang baik telah diberikan padaku oleh Dewa Brahma Sanamkumara. Apakah yang akan saya minta kepadanya? Sesuatu yang bergunapada kehidupan ini atau sesuatu untuk kehidupan yang akan datang?” Selanjutnya pikiran ini pun muncul : “Saya akhli dalam hal yang berguna pada kehidupan seklarang ini. Karena orang lainpun datang untuk meminta nasehatku. Bukankah lebih baik saya meminta sesuatu yang berguna dari Dewa Brahma Sanamkumara untuk kehidupan yang akan datang? Maka ia berkata kepada Dewa Brahma Sanamkumara dengan syair ini: “O,Brahma Sanamkumara, saya meminta kepadamu, untuk melenyapkan keragu-raguanku, saya menayakan hal-hal yang orang lain pun ingin sekali ketahui: Dengan melaksanakan cara apakah maka orang yang tidak kekal dapat mencapai kekekalan alam Brahma ?” “O, Brahmana, orang yang membuang rasa’ keakuan” dan milikku, dia yang batinnya berada dalam ketenangan, penuh dengan kasih sayang, bebas dari bau busuk manusia, hidup dalam kesucian 1). Inilah cara yang dilaksanakan oleh orang yang tidak kekal untuk mencapai kekekalan di alam Brahma.”

39. “Apa yang dimaksud dengan meninggalkan rasa, ke-akuan, dan milikku, saya mengerti. Itu maksudnya adalah meninggalkan semua harta, apakah itu besar maupunkecil, meninggalkan hidup berkeluarga apakah itu besar maupun kecil, dan dengan mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa, demikianlah yang saya mengerti. Apa yang dimaksud dengan batin berada dalam ketenangan. Saya mengerti itu maksudnya adalah bila seseorang tinggal di tempat yang tenang di hutan, dibawah pohon, di lereng gunung, dalam gua, di lekukan tebing, di kuburan, atau di atas timbunan rumput yang berada di lapangan terbuka. Demikianlah yang saya mengerti. Apa yang dimaksud dengan penuh kasih sayang, saya mengerti. Itu maksudnya, adalah bila seseorang menyebarkan kasih sayang ke sebuah arah, ke dua arah, ke tiga arah, ke empat arah dari alam sekelilingnya. Lebih lanjut, dengan hati yang penuh kasih sayang mendalam, yang luas sekali, tanpa batas, tanpa kebencian dan tanpa permusuhan, ia memancarkan kasih sayang keseluruh dunia, di atas, dibawah, di sekeliling dan di manapun juga. Demikianlah yang saya mengerti. Tetapi, hanya yang dimaksud dengan bau busuk manusia yang saya tidak mengerti. “O brahma, apakah yang dimaksud dengan bau busuk manusia?’ Hal ini saya tidak mengerti. Katakanlah apa maksudnya, o Maha tahu karena diliputi dan dipengaruhi oleh bau busuk manusia.” Maka neraka menjadi pahalanya, dan tertutup dari surga alam Brahma.” “Kemarahan, bohong, menipu berkianat, egois, sombong, iri loba, ragu-ragu, mengancam, penuh nafsu inderia, benci, membanggakan diri, dan dungu. Dan oleh karena diliputi oleh hal-hal ini maka manusia berbau busuk sehingga neraka yang menjadi pahalanya, dan alam Brahma tertutup baginya.” Saya mengerti maksud dari kata-kata yang berkenaan dengan bau busuk manusia, tetapi hal itu tidak mudah dilenyapkan bila saya tetap hidup berumah tangga, maka saya akan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa.””Laksanakanlah apa yang kau inginkan, Givinda.”

40. Maka Maha Govinda pergi menghadap raja Ranu dan berkata : “Baginda, dapatkah baginda mencari pembantu yang lain untuk mengurus administrasi kerajaan? Saya mau meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi pertapa. Saya mau jadi pertapa seperti yang dinasehatkan oleh Dewa Brahma karena bau busuk manusia yang tidak mudah dilenyapkan jika saya tetap hidup dalam kehidupan duniawi.” “Raja Ranu penguasa kerajaan, dengan ini saya menyatakan: “Urusilah kerajaanmu ini, saya tidak dapat mengurusinya lagi” “Bila kau merasa inderiamu tidak terpuaskan, saya akan memenuhinya, bila kau merasa terluka, saya sebagai panglima perang dan penakluk akan menyembuhkannya. Govinda, engkau ayahku, saya anakmu, tinggallah dengan kami, jangan pergi.” “Saya tidak merasa kekurangan dan tidak ada seorangpun yang melukaiku, tetapi karena saya telah mendengar suara dari a-manusso 1).maka hidup berkeluarga tidak dapat menahanku lagi.” “Seperti apakah yang dimaksud dengan a-manusso itu?. Apakah yang telah ia katakan kepadamu sehingga kau mau meninggakan kehidupan duniawi, keluarga dan kami ?” “Karena saya telah menyelesaikan masa musim hijan, saya melaksanakan kehidupan sepiritual dengan menyalakan api-suci dan menebarkan rumput kusa, dan saya telah melihat Brahma Dewa yang kekal, dari alam Brahma. Saya bertanya, ia menjawab, dan saya mendengar. Dan sekarang kebosanan meliputi diriku.” “Govinda, saya percaya dengan apa yang kau katakan. Karena telah mendengar suara a-manusso maka tidak mungkin kau tidak menurutinya. Kami akan mengikutimu. Jadilah pembimbing kami, Jadilah guru kami. Bagaikan intan yang bersinar cemerlang, bersih dari kotoran, tanpa noda, dan tanpa cacad. Bagaikan intan cemerlang itulah, kami akan patuh pada apa yang kau katakan.” “Jka, Maha Govinda meninggalkan kehidupan duniawi menjadi pertapa, saya juga akan melakukannya, karena kemana saja kau pergi, saya akan mengikutimu.”

40. Kemudian, Brahmana Maha Govinda menemui keenam kesatria kawannya dan berkata: “Dapatkah anda sekalian mencari pembantu lain untuk mengurus administrasi kerajaan ? Saya mau meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi pertapa seperti yang dinasehatkan oleh dewa Brahma kerena bau busuk manusia yang tidak mudah dilenyapkan jika saya tetap hidup dalam kehidupan duniawi.” Lalu keenam kesatria itu pergi ke samping dan sama-sama berpendapat : “Brahmana ini mata duitan. Sebaiknya kita bujuk dia dengan memberikan uang.” Maka mereka menemukan Maha Govinda dan berkata : “Kawan, dalam tujuh kerajaan ini banyak harta, ambillah sebanyak yang kau sukai.’ “Cukup, kawan-kawan Saya memiliki banyak harta, terima kasih atas perhatian anda sekalian. Kemewahan itulah yang sekarang ini menyebabkan saya ingin meninggalkan kehidupan duniawi untu menjadi pertapa, seperti apa yang saya telah saya katakan itu.”

41. Kemudian, Brahmana Maha Govinda menemui keenam kesatria kawannya dan berkata : “Dapatkah anda sekalian mencari pembantu lain untuk mengurus administrasi kerajaan ? Saya mau meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi pertapa seperti yang dinasehatkan oleh dewa Brahma karena bau busuk manusia, yang tidak mudah dilenyapkan jika saya tetap hidup dalam kehidupan duniawi.” Lalu keenam kesatria itu pergi ke samping dan sama-sama berpendapat : “Brahmana ini mata duitan. Sebaiknya kita bujuk dia dengan memberikan uang.” Maka mereka menemui Maha Govinda dan berkata : “Kawan, dalam tujuh kerajaan ini banyak harta, ambillah sebanyak yang kau sukai.” “Cukup, kawan-kawan ! Saya memiliki banyak harta, terima kasih atas perhatian anda sekalian. Kemewhan itulah yang sekarang ini menyebabkan saya ingin meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi pertapa, seperti apa yang saya telah saya katakan itu.”

42. Lalu keenam kesatria itu pergi ke samping dan sama-sama berpendapat : “Brahmana ini senang wanita. Sebaiknya kita bujuk dia dengan wanita.” Maka, mereka menemui Maha Govinda dan berkata : “Kawan, dalam tujuh kerajaan ini banyak wanita. Ambillah sebanyak wanita yang kau sukai.” “Cukup, kawan-kawan ! Saya telah memiliki empat puluh istri yang sama hak mereka. Merka semua saya biarkan karena mau meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi pertapa, seperti yang telah saya katakan itu.”

43. Jika, Maha Govinda meninggakan kehidupan duniawi untuk menjadi pertapa, kami juga akan melakukannya, karena kemana saja kau pergi, kami akan mengikutimu.” “Jika kau meninggalkan pemuasan nafsu inderia yang meningkat hati manusia duniawi. Pertahankanlah dengan teguh kehendakmu itu, kuat dalam kesabaran. Inilah Jalan, Jalan yang lurus, jalan ke pantai seberang. Jalan kebenaran yang diikuti oleh orang yang baik, menuju ke kehidupan Brahma.”

44. “Govinda, kalau begitu, tunggu tujuh tahun lagi, dan bila masa itu telah berlaku, kami juga akan meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi pertapa, dan kemana saja kau pergi, kami akan mengikutimu.” “Kawan-kawan, tujuh tahun itu terlalu lama ! Saya tidak dapat menunggu sampai tujuh tahun, karena hidup ini tidak pasti. Kita mesti melihat ke depan, kita mesti belajar dengan menggunakan kebijaksanaan, kita mesti berbuat baik, kita mesti mengikuti kebenaran, karena bagi siapa saja yang terlahir tidak dapat terhindar dari kematian. Sekarang saya mau jadi pertapa, seperti yang dinasehatkan oleh Dewa Brahma karena bau busuk manusia yang tidak mudah dilenyapkan jika saya tetap hidup dalam kehidupanduniawi.”

45. “Govinda, baiklah bila demikian tunggu enam tahun ….. tunggu lima tahun …. Tunggu empat tahun…… tiga tahun….. dua tahun…… satu tahun…… bila masa setahun telah berlalu kami juga akan meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi pertapa, dan kemana saja kau pergi kami akan mengikutimu.”

46. “Kawan-kawan, setahun itu terlalu lama. Saya tidak dapat menunggu sampai setahun, karena hidup ini tidak pasti. Kita mesti melihat kedepan, kita mesti belajar dengan menggunakan kebijaksanaan, kita mesti berbuat baik, kita mesti mengikuti kebenaran, karena bagi siapa saja yang terlahir tidak dapat terhindar dari kematian. Sekarang saya mau jadi pertapa, seperti yang dinasehatkan oleh Dewa Brahma karena bau busuk manusia yang tidak mudah dilenyapkan jika saya tetap hidup dalam kehidupan duniawi.”

47. “Govinda, bila demikian tunggu tujuh bulan … enam bulan ….lima ….empat…tiga…dua …..satu bulan.

48. ‘Govinda, bila demikian tunggu setengah bulan …tujuh hari hingga kami telah menyerahkan tahta kerajaan kepada putra-putra dan saudara-saudara kami. Dan bila tujuh hari telah berlalu, kami akan meninggalkan kehidupan duniaawi dan menjadi pertapa, dan ke mana saja kau pergi, kami akan mengikutimu.”

49. Selanjutnya Brahmana Maha Govinda menemui tujuh orang Brahma kaya dan tujuh ratus siswa, dan berkata : “Sekarang, sebaiknya kamu sekalian mencari guru lain yang mengajarkan mantra-mantra. Saya akan meninggalkan kehidupan duniawai untuk menjadi pertapa. Saya mau menjadi pwertapa seperti yang dinasehatkan oleh Dewa Brahma, karena bau busuk manusia yang tidakj mudah dilenyapkan jika saya tetap hidup dalam kehidupan duniawi.” “Maha Govinda, sebaiknya jangan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa. Karena hidup sebagai pertapa hanya memiliki kekuasaan sedikit dan berpenghasilan banyak.” “Saudara-saudara, jangan berkata begitu mengenai kehidupan pertapa ataupun kehidupan mengenai sebagai brahmana. Siapkah yang lebih berkuasa dan kaya dari pada saya ? Saya telah pernah menjadi raja dari para raja, menjadi Brahma dari para Brahmana, dan menjadi dewa dari keluarga. Dalam hal ini, semua itu saya tinggalkan untuk menjadi pertapa. Saya mau menjadi pertapa seperti yang dinasehatkan oleh Dewa Brahma, karena bau busuk manusiayang tidak mudah dilenyapkan jika saya tetap hidup dalam kehidupan duniawi.” “Jika, Maha Govinda menjadi pertapa, kami juga akan melakukannya, dan kemana saja kau pergi saya akan mengikutimu.”

50. yang semuanya mempunyai hak yang sama, dan berkata: “Bila di antara Sesudah itu, Brahmana Maha Govinda menemui ke empat puluh istrinya kamu ada yang mau, maka ia dapat kembali ke keluarganya dan kawin lagi. Saya mau jadi pertapa seperti yang dinasehatkan oleh Dewa Brahma, karena bau busuk manusia yang tidak mudah dilenyapkan jika saya tetap hidup dalam kehidupan duniawi.” “Walaupun kami mencintai keluarga kami, tetapi kau adalah suami yang kami cintai. Jika kau menjadi pertapa, kami juga akan melakukannya, dan kemana saja kau pergi, kami akan mengikutimu.”

51. Demikianlah setelah tujuh hari berselang, Brahmana Maha Govinda mencukur rambut kepalanya dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan duniawi menjadi pertapa. Setelah ia berbuat demikian, tujuh raja kesatria yang telah dimahkotai, tujuh brahmana kaya, tujuh ratus siswa, empat puluh istri yang mempunyai hak yang sama, beberapa ribu kesatria, beberapa ribu brahmana, beberapa ribu pria dan wanita mencukur rambut mereka, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan kehidupan duniawi menjadi pertapa. Dengan disertai rombongan ini, Brahmana Maha Govinda mengembara masuk desa, kampung dan kota. Bilamana ia tiba di desa, kampung atau kota, di situ ia menjadi raja di raja, menjadi Brahma dari para Brahmana, menjadi dewa dari keluarga. Dan pada waktu itu bila ada orang yang bersin atau tergelincir, mereka menyebutkan : “Termulialah Brahmana Maha Govinda ! Termulialahmentri dari tujuh raja.”

52. Pada waktu itu, Brahmana Maha Govinda, selalu memancarkan cinta kasihnya, kasih sayangnya…. Simpatinya… dan keseimbanganbatinnya 1) ke empat penjuru. Lebih lanjut, dengan batin yang penuh keseimbangan yang mendalam, yang luas sekali, tanpa batas, tanpa kebencian, dan tanpa permusuhan, ia pancarkan keatas, ke bawah, ke sekeliling, ke mana-mana dan keseluruh dunia. Dan ia mengajarkan kepada murid-muridnya jalan untuk mencapai alam Brahma.

53. Bagi murid-murid Maha Govinda yang mengerti semua yang diajarkannya, setelah mereka meninggal, mereka semua terlahir kembali di alam surga Brahma. Dan bagi mereka yang tidak mengerti semua ajarannya, setelah meninggal, ada di antara mereka yang terlahir kembali sebagai dewa di alam surga Parinimmitavasavatti, ada yang terlahir kembali sebagai dewa di alam surga Nimmanarati, ada yang terlahir kembali sebagai dewa di alam surga Tusita, ada yang terlahir kembali sebagai dewa di alam surga Yama, ada yang terlahir kembali sebagai dewa dialamsurga Tavatimsa, dan ada yang terlahir kembali sebagai dewa dialam surga Catummaharajika, sedangkan mereka yang pencapainnya paling rendah, terlahir kembali sebagai Gandhabba. Demikianlah mereka semua yang ikut jadi pertapa ternyata tidak sia-sia, karena masing-masing menikmati hasil dan mendapat kemajuan.”

54. “Apakah Sang Bhagava mengingatnya?” “Ya, saya mengingatnya, Pancasikha. Pada waktu itu saya adalah Maha Govinda. Saya mengajarkan kepada Murid-ku jalan untuk mencapai alam Brahma. Tetapi, Pancasikha, kehidupan spiritual itu tidak menghasilkan penglihatan, tidak menghasilkan kedamaian, tidak menghasilkan pengertian luhur dan tidak menghasilkan penerangan dan Nibbana. “Pancasikha, tetapi sekarang, dengan cara kehidupan spiritual-ku dapat menghasilkan penglihatan, pengertian, kedamaian, pengertian luhur, penerangan dan Nibbana1). Cara ini adalah Jalan luhur berunsur delapan 2) yaitu: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, penghidupan benar,usaha benar, perhatian benar, dan semadi benar 3).

55. Pancasikha, murid-murid-ku yang mengerti semua yang diajarkan, setelah mereka melenyapkan semua kekotoran batin 4), menembus kebenaran, merealisasikan dan mencapainya, sehingga pada masa kehidupan ini pun mereka bebas dari kekotoran batin, batin mereka menjadi suci, penuh kebijaksanaan dan mereka mencapai kesempernaan. Dan bagi mereka yang tidak mengerti semua apa yang saya ajarkan, di antara mereka ada yang telah melenyapkan lima samyojana pertama 5), setelah mereka meninggal langsung terlahir kembali 6) dan di alam kelahiran itu, mereka akan mencapai nibbana dan tidak akan terlahir di alam kehidupan kita ini. Diantara mereka ada yang telah melenyapkan tiga samyojana dan melemahkan rasa ketidaksenangan, nafsu inderia dan kebodohan, mereka menjadi Sakadagami 7 ) yang akan terlahir sekali lagi dialam ini dan melenyapkan penderitaan. Di antara mereka yang telah melenyapkan tiga semyojana dan menjadi Sotapanna, yang tidak akan pernah terlahir lagi di alam yang menyedihkan,dan telah pasti akan mencapai penerangan sempurna nanti. Pancasikha, demikianlah, mereka semua yang meninggalkan kehidupan duniawi ternyata tidak sia-sia, karena masing-masing menikmati hasil dan mendapat kemajuan.” Demikianlah sabda Sang Bhagava, dan Pansasikha Gandhaba bersuka cita atas uraian Sang Bhagava, dan dengan kegembiraan dan suka cita ia menghormat Sang Bhagava, lalu ia meninggalkan tempat itu dengan berjalan di sebelah kanan.

TEVIJJA SUTTA

[13]




1— Demikianlah yang saya dengar.
Pada suatu waktu Bhagava bersama sekelompok besar bhikkhu, berjumlah lima ratus orang dalam perjalanan melalui Kosala, tiba di Manasakata, sebuah desa milik seorang Brahmana di Kosala. Bhagava tinggal di taman mangga yang terletak di tepi sungai Aciravati di sebelelah utara Manasakata.

2— Ketika itu banyak Brahmana sangat terkenal dan kaya tinggal di Manakata. Di antara mereka adalah Brahmana Canki, Brahmana Tarukkho, Brahmana Pokkharasadi, Brahmana Janussoni, Brahmana Todeyya, dan lain-lain.

3— Sementara itu, ketika sedang berjalan bolak balik di tepi sungai, terjadi percakapan serius antara Vasettha dan Bharadvaja tentang jalan benar dan jalan salah.

4— Pemuda Vasettha berkata: ‘Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma. (Brahma sahavyataya). Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Pokkharasadi’.

5— Sedangkan pemuda Bharadvaja berkata: ‘Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma. (Brahma sahavyataya). Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Tarukkho’.

6— Namun pemuda Vasettha tidak dapat meyakinkan pemuda Bharadvaja, begitu pula pemuda Bharadvaja tidak dapat meyakinkan pemuda Vasettha.

7— Kemudian pemuda Vasettha berkata kepada pemuda Bharadvaja: ‘Bharadvaja, Samana Gotama, putra suku Sakya, telah meninggalkan keluarga Sakya menjadi petapa, sekarang ada di Manasakata, tinggal di taman mangga di tepi sungai Aciravati, tepatnya di utara Manasakata. Sehubungan dengan Samana Gotama telah tersebar berita yang baik yaitu: ‘Demikianlah Bhagava, maha suci, telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuan serta tidak-tanduknya, sempurna menempuh jalan, pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan manusia, yang sadar dan patut dimuliakan’. Bharadvaja, marilah kita menemui Samana Gotama, bilamana kita telah menemuinya, kita tanyakan persoalan kita ini kepada beliau. Apa yang Samana Gotama uraikan kepada kita, kita perhatikan dengan baik’.
‘Baiklah, kawan!’ jawab pemuda Bharadvaja menyetujui saran pemuda Vasettha.

8— ‘Selanjutnya, pemuda Vasettha dan pemuda Bharadvaja pergi ke tempat Bhagava berada’. Setelah sampai, mereka memberi hormat kepada Bhagava dan saling menyapa dengan kata-kata santun, lalu duduk di tempat yang telah tersedia. Setelah duduk, pemuda Vasettha berkata kepada Bhagava: ‘Gotama, ketika kami sedang berjalan bolak-balik (di tepi sungai) muncul percakapan tentang jalan benar dan jalan salah. Saya berkata : ‘Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma. (Brahma sahavyataya). Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Pokkharasadi’.

Sedangkan pemuda Bharadvaja mengatajkan : ‘Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma. (Brahma sahavyataya). Hal ini telah dinyatakan oleh Brahma-na Tarukkho’. Gotama, sehubungan dengan masalah ini terjadi perdebatan, pertentangan dan perbedaan pandangan di antara kami’.

9— ‘Vasettha, anda mengatakan: ‘Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma. (Brahma sahavyataya). Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Pokkharasadi’. Sedangkan Bharadvaja mengatakan: ‘Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma (Brahma sahavyataya). Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Tarukkho’. ‘Vasettha, karena itu terjadi perdebatan, pertanyangan dan perbedaan pandangan di antara anda berdua?’

10— ‘Mengenai jalan benar dan jalan salah, Gotama. Gotama banyak Brahmana mengajar bermacam-macam jalan, seperti para Brahmana Addhariya, para Brahmana Tittiriya, para Brahmana Chandoka, para Brahmana Chandava dan para Brahmana Brahma-cariya. Apakah semua itu jalan-jalan keselamatan? Apakah semua jalan itu membimbing seseorang yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma?’
“Gotama, bagaikan di sekitar desa atau kota banyak dan bermacam-macam jalan, namun semua jalan itu bertemu di desa – demikian pula cara itu bahwa semua macam jalan yang diajarkan oleh para Brahmana, seperti para Brahmana Addhariya, para Brahmana Tittiriya, para Brahmana Chandoka, para Brahmana Chandava dan para Brahmana Brahmacariya. Apakah semua itu jalan-jalan keselamatan? Apakah semua jalan itu membimbing seseorang yang melaksanakan-nya untuk bersatu dengan Brahma?

11— ‘Vasettha, anda mengatakan semua jalan ke arah benar’?
‘Ke arah benar, Gotama’.
‘Vasettha, anda mengatakan semua jalan ke arah benar’?
‘Ke arah benar, Gotama’.
‘Vasettha, anda mengatakan semua jalan ke arah benar’?
‘Ke arah benar, Gotama’.

12— ‘Bagaimana Vasettha? Apakah ada seorang Brahmana dari para Brahmana yang menguasai tevijja pernah melihat langsung Brahma?’
‘Tidak ada, Gotama?’
‘Vasettha, atau apakah ada seorang guru dari para Brahmana yang menguasai tevijja pernah melihar langsung Brahma?’
‘Tidak ada, Gotama?’
‘Vasettha, atau apakah ada seorang guru di antara guru-guru dari para guru Brahmana yang menguasai tevijja pernah melihar langsung Brahma?’
‘Tidak ada, Gotama?’
‘Vasettha, atau apakah ada seorang Brahmana sampai tujuh generasi yang telah melihat langsung Brahma?
‘Tidak ada, Gotama?’
13— ‘Vasettha, baiklah, para reshi dari para Brahmana yang lampau, yang telah mnguasai tevijja, para penulis mantra-mantra, para pengucap mantra-mantra, yang mantra-mantra kunonya dilafalkan, diucapkan atau disusun, yang olah para Brahmana masa kini dilafalkan kembali atau berulang-ulang kali; dintonasikan atau lafalkan secara tepat seperti yang telah dintonasikan atau dilafalkan – seperti Atthaka, Vamako, Vamadevo, Vessamitto, Yamataggi, Angiraso, Bharadvajo, Vasettho, Kassapa dan Bhagu – mereka mengucapkan itu dengan berkata: ‘Kami mengetahuinya, kami telah melihatnya, di mana Brahma berada, dari mana Brahma atau ke mana Brahma?’
‘Tidak, Gotama?’

14— ‘Vasettha, anda mengatakan bahwa tidak ada dari para Brahmana, atau para guru mereka, atau dari murid-murid mereka, sampai tujuh generasi yang pernah melihat langsung Brahma. Begitu pula dengan para rishi dari para Brahmana yang lampau, yang telah menguasai tevijja, para penulis mantra-mantra, para pengucap mantra-mantra, yang mantra-mantra kuno-nya dilafalkan, diucapkan atau disusun, yang olah para Brahmana masa kini dilafalkan kembali atau berulang-ulang kali; dintonasikan atau lafalkan secara tepat seperti yang telah dintonasikan atau dilafalkan – seperti Atthaka, Vamako, Vamadevo, Vessamitto, Yamataggi, Angiraso, Bharadvajo, Vasettho, Kassapa dan Bhagu. Mereka tidak mengatakan: ‘Kami mengetahuinya, kami telah melihat, di mana Brahma berada, dari mana Brahma atau ke mana Brahma?’ Sehingga para Brahmana yang menguasai tevijja dengan benar berkata: ‘Apa yang kita tidak tahu, apa yang kita tidak lihat, keadaan bersatu yang jalannya kita ajarkan, dengan berkata: ‘Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma’.
‘Vasettha, bagaimana pendapatmu? Bila begitu, bukankah cerita mengenai para Brahmana yang walaupun mereka menguasai tevijja, ternyata mereka menyatakan hal yang bodoh?’
‘Gotama, sesungguhnya demikian bahwa para Brahmana yang menguasai tevijja ternyata menyatakan hal yang bodoh.

15— ‘Vasettha, sebenarnya para Brahmana yang menguasai tevijja dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan sesuatu yang mereka tidak tahu dan mereka tidak lihat – maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi. ‘
‘Vasettha, bagaikan beberapa orang buta yang saling berdekatan, yang di depan tidak dapat melihat, yang di tengah tidak dapat melihat, begitu pula yang di belakang tidak dapat melihat – Vasettha, saya berpendapt begitu pula dengan para Brahmana yang menguasai tevijja tetapi menceritakan hal yang buta: yang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, begitu pula yang di belakang tidak melihat. . Maka uraian dari para Brahmana yang menguasai tevijja ini, ternyata konyol, hanya kata-kata, hampa dan kosong!.

16— ’Vasettha, bagaimana pendapatmu? Dapatkah para Brahmana yang menguasai tevijja – seperti orang-orang lain yang awam dan biasa – melihat bulan dan matahari lalu mereka sembayang, memuja dan memuji, berputar dengan beranjali ke arah bulan dan matahari terbit maupun terbenam?’
‘Tentu mereka dapat, Gotama’.

17— Vasettha, bagaimana pendapatmu? Para Brahmana yang menguasai tevijja, yang dengan baik – seperti orang-orang lain yang awam dan biasa – melihat bulan dan matahari lalu mereka sembayang, memuja dan memuji, berputar dengan beranjali ke arah bulan dan matahari terbit maupun terbenam – adalah para Brahmana yang menguasai tevijja, dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan bulan dan matahari, dengan berkata: ‘‘Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan bulan dan matahari”.
‘Tentu tidak, Gotama!’

18— ‘Vasettha, anda berkata bahwa para Brahmana tidak dapat menunjukkan jalan bersatu dengan hal yang telah mereka lihat; lebih lanjut anda mengatakan tidak ada seorang pun dari mereka, atau siswa mereka, atau para pendahulu mereka hingga tujuh generasi yang telah melihat Brahma. Lagi pula anda mengatakan para rishi yang lampau, yang teguh meyakini ucapan mereka, tidak berpura-pura mengetahui atau telah melihat di mana, dari mana atau ke mana Brahma itu. Namun para Brahmana yang menguasai tevijja ini mengatakan bahwa mereka dapat menunjukkan jalan bersatu, padahal mereka tidak tahu maupun belum melihatnya’. Vasettha, sekarang bagimana pendapat-mu?. Bila demikian, bukankah kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja ini adalah omong kosong saja?’
‘Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja ternyata omong kosong’.

19— ‘Vasettha, baiklah. Vasettha ternyata, para Brahmana yang menguasai tevijja yang dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan sesuatu yang mereka tidak tahu maupun mereka tidak lihat – maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi!’
‘Vasettha, bagaikan seorang pria berkata: ‘Betapa saya rindu, betapa saya mencintai wanita tercantik di dunia ini!’
‘Orang-orang bertanya kepadanya: ‘Baiklah kawan. Wanita tercantik di dunia ini, yang anda rindukan dan cintai, apakah anda mengetahui bahwa wanita cantik itu bangsawan (khattiya), Brahmana, pedagang (vessa) atau kalangan bawah (sudda)?’
‘Ketika ditanya seperti itu, ia menjawab: ‘Tidak’.
‘Lalu orang-orang berkata kepadanya: ‘Jadi, ia yang anda rindukan dan cintai adalah orang yang belum anda tahu dan lihat?’
‘Setelah ditanya begitu, ia menjawab: ‘Ya’.
‘Vasettha, bagaimana pendapatmu?. Bila demikian, bukankah apa yang dikatakan orang itu ternyata omong kosong?’
‘Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka apa yang dikatakan orang itu ternyata omong kosong’.

20— ‘Vasettha, begitu pula, anda berkata bahwa para Brahmana tidak dapat menunjukkan jalan bersatu dengan hal yang telah mereka lihat; lebih lanjut anda mengatakan tidak ada seorang pun dari mereka, atau siswa mereka, atau para pendahulu mereka hingga tujuh generasi yang telah melihat Brahma. Lagi pula anda mengatakan para rishi yang lampau, yang teguh meyakini ucapan mereka, tidak berpura-pura mengetahui atau telah melihat di mana, dari mana atau ke mana Brahma itu. Namun para Brahmana yang menguasai tevijja ini mengatakan bahwa mereka dapat menunjukkan jalan bersatu, padahal mereka tidak tahu maupun belum melihatnya’. Vasettha, sekarang bagimana pendapatmu? Bila demikian, bukankah kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja ini adalah omong kosong saja?’
‘Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja adalah omong kosong’.
‘Vasettha, baiklah. Vasettha ternyata, para Brahmana yang menguasai tevijja yang dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan sesuatu yang mereka tidak tahu maupun mereka tidak lihat – maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi!’

21— ‘Vasettha, bagaikan seseorang yang membuat sebuah tangga untuk naik ke istana di suatu tempat di persimpangan jalan. Lalu orang-orang bertanya kepadanya: ‘Kawan, baiklah, untuk naik ke istana itu anda buatkan tangga, apakah istana itu di sebelah, timur, selatan, barat atau utara? Apakah istana itu tinggi, rendah atau menengah?’
‘Ketika ditanya seperti itu, ia menjawab: ‘Tidak’.
‘Lalu orang-orang berkata kepadanya: ‘Kawan, jadi anda membuat tangga untuk naik ke sesuatu – apakah itu istana -- yang anda tidak tahu dan belum lihat?.
‘Setelah ditanya begitu, ia menjawab: ‘Ya’.
‘Vasettha, bagaimana pendapatmu?. Bila demikian, bukankah apa yang dikatakan orang itu ternyata omong kosong?’
‘Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka apa yang dikatakan orang itu ternyata omong kosong’.

22— ‘Vasettha, begitu pula, anda berkata bahwa para Brahmana tidak dapat menunjukkan jalan bersatu dengan hal yang telah mereka lihat; lebih lanjut anda mengatakan tidak ada seorang pun dari mereka, atau siswa mereka, atau para pendahulu mereka hingga tujuh generasi yang telah melihat Brahma. Lagi pula anda mengatakan para rishi yang lampau, yang teguh meyakini ucapan mereka, tidak berpura-pura mengetahui atau telah melihat di mana, dari mana atau ke mana Brahma itu. Namun para Brahmana yang menguasai tevijja ini mengatakan bahwa mereka dapat menunjukkan jalan bersatu, padahal mereka tidak tahu maupun belum melihatnya’.Vasettha, sekarang bagimana pendapatmu?. Bila demikian, bukankah kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja ini adalah omong kosong saja?’
‘Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja adalah omong kosong’.

23— ‘Vasettha, baiklah. Vasettha ternyata, para Brahmana yang menguasai tevijja yang dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan sesuatu yang mereka tidak tahu maupun mereka tidak lihat – maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi!’

24— ‘Vasettha, bilamana sungai Aciravati penuh dengan air hingga ke tepi dan meluap, kemudian ada seorang yang mempunyai kegiatan di tepi seberang, mau menyeberang, berusaha ke seberang, datang ke tepi dan ingin menyeberang. Selagi ia berdiri di tepi sini, ia memohon ke tepi sebelah dengan berkata: ‘Wahai tepi seberang sana, datang ke sini!, datanglah ke seberang sini!’
‘Vasettha bagaimana pendapatmu? Apakah tepi seberang sungai Aciravati, karena permohonan, doa, pujian dan harapan orang itu akan datang ke tepi sebelah sini?’
‘Gotama, tentu saja tidak’.

25— ‘Vasettha, begitulah caranya para Brahmana yang menguasai tevijja – dengan meninggalkan pelaksanaan berkualitas yang dapat membuat seseorang menjadi Brahmana, dan melaksanakan hal berkualitas yang dapat membuat orang-orang menjadi non-Brahmana - berkata: ‘Kami mohon Inda, kami mohon Soma, kami mohon Varuna, kami mohon Isana, kami mohon Pajapati, kami mohon Brahma, kami mohon Mahiddhi kami kami mohon Yama.
‘Vasettha, para Brahmana yang menguasai tevijja – meninggalkan pelaksanaan berkualitas yang dapat membuat seseorang menjadi Brahmana, dan melaksanakan hal berkualitas yang dapat membuat orang-orang menjadi non-Brahmana – bahwa mereka, berdasarkan pada permohonan, doa, pujian dan harapan, bila mereka meninggal dunia akan menyatu dengan Brahma – maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi!’

26— ‘Vasettha, bagaikan bilamana sungai Aciravati penuh dengan air hingga ke tepi dan meluap, kemudian ada seorang yang mempunyai kegiatan di tepi seberang, mau menyeberang, berusaha ke seberang, datang ke tepi dan ingin menyeberang. Selagi ia di tepi sini, tangannya, punggungnya terikat erat oleh rantai kuat, dan bagaimana pendapatmu, Vasettha, dapatkah orang itu menyeberang ke tepi sana dari sungai Aciravati?
‘Gotama, tentu saja tidak’.

27— ‘Vasettha, dengan cara yang sama, ada lima hal yang mengarah pada nafsu, yang disebut dalam vinaya-ariya sebagi rantai atau ikatan’.
‘Apakah lima hal itu?’
‘Pertama adalah benda-benda (rupa) yang dilihat mata, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai oleh nafsu dan menyebab-kan kesenangan.
Kedua adalah Suara-suara yang didengar telinga, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai oleh nafsu dan menyebabkan kesenangan.
Ketiga adalah Bebauan yang dicium oleh hidung, diinginkan, sesuai, menyenang-kan, menarik yang disertai oleh nafsu dan menyebabkan kesenangan.
Keempat adalah Rasa-rasa yang dikecap oleh lidah, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai oleh nafsu dan menyebabkan kesenangan.
Kelima adalah Sentuhan-sentuhan yang dirasakan oleh tubuh, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai oleh nafsu dan menyebkan kesenangan. Lima hal ini berkecenderungan pada nafsu disebut dalam Vinaya ariya sebagai rantai atau ikatan’.
‘Vasettha, lima hal berkecenderungan pada nafsu, apakah para Brahmana yang menguasai tevijja terantai, terangsang, terikat pada hal-hal itu, dan mereka tidak melihat bahaya pada hal-hal itu, tidak mengetahui bahwa hal-hal itu didak dapat dijadikan tumpuan, namun menikmati hal-hal itu’.

28— ‘Vasettha, sesungguhnya para Brahmana yang menguasai tevijja – dengan meninggalkan pelaksanaan berkualitas yang dapat membuat seseorang menjadi Brahmana, dan melaksanakan hal berkualitas yang dapat membuat orang-orang menjadi non-Brahmana – terikat pada hal-hal itu, dan mereka tidak melihat bahaya pada hal-hal itu, tidak mengetahui bahwa hal-hal itu tidak dapat dijadikan tumpuan, namun menikmati hal-hal itu. --- bahwa para Brahmana ini setelah meninggal, akan bersatu dengan Brahma – kondisi seperti ini tidak mungkin terjadi!’

29— ‘Vasettha, bagaikan bilamana sungai Aciravati penuh dengan air hingga ke tepi dan meluap, kemudian ada seorang yang mempunyai kegiatan di tepi seberang, mau menyeberang, berusaha ke seberang, datang ke tepi dan ingin menyeberang. Selagi ia di tepi sini, ia membungkus dirinya hingga ke kepalanya, ia berbaring untuk tidur. ‘Vasettha, bagaimana pendapatmu, dapatkah orang itu menyeberang ke tepi sana dari sungai Aciravati?
‘Gotama, tentu saja tidak’.

30— ‘Vasettha, dengan cara yang sama, ada lima rintangan (nivarana), yang dalam vinaya-ariya disebut perintang, penghalang, pengganggu atau jerat.
‘Apakah lima hal itu?’
Pertama ‘Nafsu indera sebagai perintang’.
Kedua ‘Kebencian sebagai perintang’.
Ketiga ‘Malas dan ngantuk sebagai perintang’.
Keempat ‘Keragu-raguan sebagai perintang’.
Kelima ‘Kegelisahan sebagai perintang’.
‘Vasettha, inilah lima perintang yang dalam vinaya ariya disebut perintang, penghalang, pengganggu atau jerat’.
‘Vasettha, sesungguhnya para Brahmana yang menguasai tevijja – dengan meninggalkan pelaksanaan berkualitas yang dapat membuat seseorang menjadi Brahmana, dan melaksanakan hal berkualitas yang dapat membuat orang-orang menjadi non-Brahmana – terintang, terhalang, terganggu dan terjerat oleh lima rintangan ini -- bahwa para Brahmana ini setelah meninggal, akan bersatu dengan Brahma – kondisi seperti ini tidak mungkin terjadi!’

31— ‘Vasettha, bagaimana pendapatmu dan apakah anda pernah mendengar dari para Brahmana tua dan telah berpengalaman, dan ketika para ahli dan para guru bercakap-cakap bersama? Apakah Brahma memiliki istri dan kekayaan atau tidak?’
‘Tidak, Gotama’.
‘Apakah ia diliputi bahaya atau bebas dari bahaya?’
‘Bebas dari bahaya, Gotama’.
‘Apakah ia diliputi kebencian atau bebas dari kebencian?’
‘Bebas dari kebencian, Gotama’.
‘Apakah ia ternoda atau suci?’
‘Suci, Gotama?’
‘Apakah ia menguasai dirinya atau tidak?’
‘Menguasai dirinya, Gotama’.

32— ‘Vasettha, bagaimana pendapatmu, apakah para Brahmana yang menguasai tevijja memiliki istri dan kekayaan atau tidak?’
‘Memiliki, Gotama’.
‘Apakah mereka diliputi kemarahan atau bebas dari kemarahan?’
‘Diliputii kemarahan, Gotama’.
‘Apakah mereka diliputi kebencian atau bebas dari kebencian?’
‘Diliputi kebencian, Gotama’.
‘Apakah batin mereka suci atau tidak?’
‘Tidak suci, Gotama’.
‘Apakah mereka menguasai diri mereka atau tidak?’
‘Tidak menguasai mereka, Gotama’.

33— ‘Vasettha, anda mengatakan bahwa para Brahmana memiliki istri dan kekayaan, namun Brahma tidak memiliki. Dapatkan disesuaik-an atau disamakan Brahmana yang memiliki istri dan harta dengan Brahma yang tidak memiliki istri dan harta?’
‘Tentu tidak, Gotama’.

34— Vasettha, baiklah. Tetapi sesungguhnya para Brahmana yang menguasai tevijja ini, yang hidup dalam perkawinan dan memiliki harta, setelah meninggal dunia akan bersatu dengan Brahma yang tidak memiliki istri dan harta – keadaan seperti ini tidak mungkin terjadi’.

35— ‘Vasettha, anda mengatakan bahwa para Brahmana diliputi kemarahan, kebencian, ternoda, dan tak menguasai diri; sedangkan Brahma tidak diliputi oleh kemarahan, tidak diliputi kebencian, suci dan menguasai diri. Dapatkah disesuaikan atau disamakan para Brahmana dan para Brahma?’
‘Tentu tidak, Gotama?’

36— ‘Vasettha, baiklah. Bahwa para Brahmana yang menguasai tevijja ini yang masih diliputi kemarahan, kebencian, ternoda dan tidak menguasai diri, setelah meninggal dunia akan bersatu dengan Brahma yang bebas dari kemarahan dan kebencian, suci dan menguasai diri – keadaan seperti ini tidak mungkin terjadi.
Vasettha, demikianlah, walaupun para Brahmana menguasai tevijja, mereka meyakininya, namun mereka tenggelam (dalam upacara); karena tenggelam mereka tiba hanya pada kepuasaan, sementara mereka mengira bahwa mereka menyeberang ke tanah bahagia’.
Maka tiga kebijaksanaan para Brahmana yang menguasai tevijja disebut padang tanpa berair; tiga kebijaksanaan mereka disebut hutan tanpa jalan; tiga kebijakanaan mereka disebut kegagalan’.

37— ‘Ketika beliau selesai berkata, pemuda Brahmana Vasettha berkata kepada Bhagava: ‘Gotama, telah dikatakan kepadaku bahwa Samana Gotama mengetahui jalan untuk bersatu dengan Brahma’.
‘Vasettha, bagaimana pendapatmu, bukankah Manasakata dekat dan tak jauh dari tempat ini?’
‘Begitulah, Gotama. Manasakata dekat, tidak jauh dari tempat ini’.
‘Vasettha, bagaimana pendapatmu, misalnya ada seseorang yang lahir di Manasakata dan belum pernah meninggalkan Manasakata, lalu orang-orang bertanya kepadanya tentang jalan yang menuju Manasakata. Apakah orang itu yang lahir dan dibesarkan di Manasakata akan ragu-ragu dan mendapat kesulitan untuk menjawab?’
‘Tentu tidak Gotama. Mengapa? Jika seseorang lahir dan dibesarkan di Manasakata, maka setiap jalan yang mengarah ke Manasakata diketahuinya dengan baik’.

38— ‘Vasettha, orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Manasakata mungkin saja ia akan ragu-ragu dan mendapat kesulitan untuk menjawab bila ditanya jalan yang menuju ke Manasakata; tetapi Tathagata, bila ditanya mengenai jalan yang mengarah ke alam Brahma, ia tidak akan ragu-ragu atau mendapat kesulitan untuk menjawab. Vasettha, karena saya tahu Brahma, alam Brahma, dan jalan yang mengarah ke alam Brahma. Ya, saya mengetahui itu karena saya sebagai seorang yang telah memasuki alam Brahma dan telah terlahir di dalamnya’.

39— ‘Setelah beliau berkata begitu, pemuda Brahmana Vasettha berkata kepada Bhagava: ‘Gotama, begitulah dikatakan kepada saya bahwa samana Gotama mengetahui jalan untuk bersatu dengan Brahma. Itu bagus sekali. Mohon yang mulia Gotama menunjukkan jalan untuk bersatu dengan Brahma, mohon yang mulia Gotama menyelamatkan ras Brahmana’.
‘Vasettha, perhatikanlah dan dengarkanlah dengan baik, saya akan bicara!’
‘Baiklah,’ jawab pemuda Brahmana Vasettha menyetujuinya’.

40— ‘Kemudian Bhagava berkata: ‘Vasettha, ketahuilah di dunia ini muncul seorang Tathagata, Yang Maha Suci, Yang Telah mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak tanduk-Nya, sempurna menempuh Jalan, Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, Guru para dewa dan manusia, Yang sadar, Yang Patut dimuliakan. Beliau mengajarkan pengetahuan yang telah diperoleh melalui usaha-Nya sendiri kepada orang-orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, dan manusia, Yang Sadar, Yang Patut dimuliakan. Beliau mengajarkan pengetahuan yang telah di peroleh melalui usahanya sendiri kepada orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, mara dan Brahmana; para petapa, Brahmana, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan kebenaran (Dhamma) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan, indah pada akhir dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan penghidupan suci (Brahmacariya) yang sempurna dan suci’.

41— ‘Kemudian, seorang yang berkeluarga atau salah seorang dari anak-anaknya atau seorang dari keturunan keluarga rendah datang mendengarkan Dhamma itu, dan setelah mendengarnya ia mem-peroleh keyakinan terhadap Sang Tathagata. Setelah ia memiliki keyakinan itu, timbullah perenungan ini dalam dirinya: ‘Sesungguhnya, hidup berkeluarga itu penuh dengan rintangan, jalan yang penuh dengan kekotoran nafsu. Bebas seperti udara bagi seorang yang hidup berkeluarga untuk menempuh hidup Brahmacariya secara sungguh-sungguh, suci serta dalam seluruh kegemilangan kesempurnaannya. Maka, biarlah aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan meninggal-kan hidup keluarga untuk menempuh hidup tak berkeluarga (pabbajja).
Maka tidak lama kemudian ia meninggalkan hartanya, apaka itu besar atau kecil; meninggalkan lingkungan keluaerganya, apakah banyak atau sedikit, ia mengenakan jubah kuning, meninggalkan kehidupan berkeluarga dan menjadi tak berkeluarga (pabbajja).

42— ‘Setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan peraturan-peraturan bhikkhu (patimokkha), sempurna kelakuan dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekalipun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya. Ia memiliki perhatian-perhatian seksama dan pengertian jelas (sati sampajjana); dan hidup puas’.

43— ‘Vasettha, bagaimanakah seorang bhikkhu yang sempurna silanya? Vasettha, dalam hal ini seorang bhikkhu menjauhi pembunuhan, menahan diri dari pembunuhan mahkluk-makhluk. Setelah membuang alat pemukul dan pedang, malu dengan perbuatan kasar; ia hidup dengan penuh cinta kasih, kasih sayang dan bajik terhadap semua makhluk, semua yang hidup, inilah sila yang dimilikinya.
‘Menjauhi pencurian, menahan diri dari memiliki apa yang tidak diberikan; ia hanya mengambil apa yang tidak diberikan; ia hanya mengambil apa yang diberikan dan tergantung pada pemberian; ia hidup jujur dan suci. Inilah sila yang dimilikinya’.
‘Menjauhi hubungan kelamin, menjalankan penghidupan suci atau selibat (Brahmacariya); ia menahan diri dari perbuatan-perbuatan rendah dan hubungan kelamin. Inilah sila yang dimilikinya’.

44— ’Menjauhi kedustaan, menahan diri dari dusta, ia berbicara benar, tidak menyimpang dari kebenaran, jujur dan dapat dipercaya, serta tidak mengingkari kata-katanya sendiri di dunia’. Inilah sila yang dimilikinya’.
‘Menjauhi ucapan fitnah, menahan diri dari memfitnah; apa yang ia dengar di sini tidak akan diceritakannya di tempat lain sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sini. Inilah sila yang dimilikinya’.
Apa yang ia dengar di tempat lain tidak akan diceritakannya di sini sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sana. Ia hidup menyatukan mereka yang terpecah-belah, pemersatu, mencintai persatuan, mendambakan persatuan; persatuan merupakan tujuan pembicaraannya. Inilah sila yang dimilikinya’.
Menjauhi ucapan kasar, menahan diri dari penggunaan kata-kata kasar; ia hanya mengucapkan kata-kata yang tidak tercela, menyenangkan, menarik, berkenan di hati, sopan, enak didengar dan disenangi orang. Inilah sila yang dimilikinya
‘Menjauhi pembicaraan sia-sia, menahan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat; ia berbicara pada saat yang tepat, sesuai dengan kenyataan, berguna, tentang dhamma dan vinaya. Pada saat yang tepat, ia mengucapkan kata-kata yang berharga untuk didengar, penuh dengan gambaran yang tepat, memberikan uraian yang jelas dan tidak berbelit-belit. Inilah sila yang dimilikinya’.

45— ‘Ia menahan diri untuk tidak merusak benih-benih dan tumbuh-tumbuhan.
Ia makan sehari sekali, tidak makan setelah tengah hari.
Ia menahan diri dari menonton pertunjukkan-pertunjukkan, tari-tarian, nyanyian dan musik.
Ia menahan dari penggunaan alat-alat kosmetik, karangan-karangan bunga, wangi-wangian dan perhiasan-perhiasan.
Ia menahan diri dari penggunaan tempat tidur yang besar dan mewah. Ia menahan diri dari menerima emas dan perak.
Ia menahan diri dari menerima gandum (padi) yang belum dimasak.
Ia menahan diri dari menerima daging yang belum dimasak.
Ia menahan diri dari menerima wanita dan perempuan-perempuan muda.
Ia menahan diri dari menerima budak belian lelaki dan budak belian perempuan.
Ia menahan diri dari menerima biri-biri atau kambing,
Ia menahan diri dari menerima bagi dan unggas,
Ia menahan diri dari menerima gajah, sapi dan kuda.
Ia menahan diri dari menerima tanah-tanah pertanian.
Ia menahan diri dari menipu dengan timbangan, mata uang maupun ukuran-ukuran.
Ia menahan diri dari perbuatan menyogok, menipu dan penggelapan.
Ia menahan diri dari perbuatan melukai, membunuh, memperbudak, merampok, menodong dan menganiaya.
Inilah sila yang dimilikinya’.

46— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan, seperti: tumbuhan yang berkembang biak dari akar-akaran, tumbuhan yang berkembang biak dari tetangkaian, tumbuhan yang berkembang biak dari ruas-ruas atau tumbuhan yang berkembang biak dari kecambah-kecambahan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan. Inilah sila yang dimilikinya’

47— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan barang-barang yang ditimbun, simpanan, seperti: bahan makanan simpanan, minuman simpanan, jubah simpanan, perkakas-perkakas simpanan, bumbu makanan simpanan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari menggunakan barang-barang yang ditimbun semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

48— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih menonton aneka macam pertunjukkan, seperti: tari-tarian, nyanyian-nyanyian musik, pertunjukkan panggung, opera, musik yang diiringi dengan tepuk tangan, pembacaan deklamasi, permainan tambur, drama kesenian, permainan akrobat di atas galah, adu gajah, adu kuda, adu sapi, adu banteng, pertandingan tinju, pertandingan gulat, perang perangan, pawai, inspeksi, parade; namun seorang bhikkhu menahan diri dari menonton aneka macam pertunjukkan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

49— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terikat dengan aneka macam permainan dan rekreasi, seperti: permianan catur dengan papan berpetak delapan baris, permainan catur dengan papan berpetak sepuluh baris, permainan dengan mem-bayangkan papan catur tersebut di udara, permainan melangkah satu kali pada diagram yang digariskan di atas tanah, permainan dengan cara memindahkan benda-benda atau orang dari satu tempat ke lain tempat tanpa menggoncangkannya, permainan lempar dadu, permainan memukul kayu pendek dengan meng-gunakan kayu panjang, permainan mencelup tangan ke dalam air berwarna dan menempelkan telapak tangan ke dinding, permainan bola, permainan meniup sempritan yang dibuat dari daun palem, permainan meluku dengan bajak mainan, permainan jungkir balik (salto), permainan dengan kitiran yang dibuat dari daun palem, bermain dengan timbangan mainan yang dibuat dari daun palem, bermain dengan kereta perang mainan, bermain dengan panah-panah mainan, menebak tulisan-tulisan yang digoreskan di udara atau pada punggung seseorang, menebak pikiran teman bermain, seorang bhikkhu menahan diri dari aneka macam permainan dan rekreasi semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’

50— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah, seperti: dipan tinggi yang dapat dipindah-pindahkan yang panjangnya enam kaki, dipan dengan tiang-tiang berukiran gambar binatang-binatang seprei dari bulu kambing atau bulu domba yang tebal, seprei dengan bordiran warna warni, selimut putih, seprei dari wol yang disulam dengan motif bunga-bunga, selimut yang diisi dengan kapas dan wol, seprei yang disulam dengan gambar harimau dan singa, seprei dengan bulu binatang pada kedua tepinya, seprei dengan bulu binatang pada salah satu tepinya, seprei dengan sulaman permata, seprei dari sutra, selimut yang dapat dipergunakan oleh enam belas orang, selimut gajah, selimut kuda atau selimut kereta, selimut kulit kijang yang dijahi, selimut dari kulit sebangsa kijang, permadani dengan tutup kepala dan kaki; namun seorang bhikkhu menahan diri untuk tidak mempergunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

51— “Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih memakai perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri, seperti: melumuri, mencuci dan menggosok tubuhnya dengan bedak wangi; memukuli tubuhnya dengan tongkat perlahan-lahan seperti ahli gulat; memakai kaca, minyak mata (bukan obat), bunga-bunga, pemerah pipi, kosmetika, gelang, kalung, tongkat jalan (untuk bergaya), tabung bambu untuk menyimpan obat, pedang, alat penahan sinar matahari, sandal bersulam, sorban, perhiasan dahi, sikat dari ekor binatang yak, jubah putih panjang yang banyak lipatannya; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari pemakaian perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

52— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam percakapan-percakapan yang rendah, seperti: percakapan tentang raja-raja, percakapan tentang mencuri, percakapan tentang menteri-menteri, percakapan tentang angkatan-angkatan perang, percakapan tentang pembunuhan-pembunuhan, percakapan tentang pertempuran pertempuran, percakapan tentang makanan, percakapan tentang minuman, percakapan tentang pakaian, percakapan tentang tempat tidur, percakapan tentang karangan-karangan bunga, percakapan tentang wangi-wangian, pembicaraan-pembicaraan tentang keluarga, percakapan tentang kendaraan, percakapan tentang desa, percakapan tentang kampung, percakapan tentang kota, percakapan tentang negara, percapakan tentang wanita, percakapan tentang lelaki, percakapan di sudut-sudut jalanan, percakapan tentang hantu-hantu jaman dahulu, percakapan yang tidak ada ujung pangkalnya, spekulasi tentang terciptanya daratan, spekulasi tentang terciptanya lautan, percakapan tentang perwujudan dan bukan perwujudan (eksistensi dan non eksistensi); namun seorang bhikkhu menahan diri dari percakapan-percakapan yang rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.

53— ‘Meskipun beberapa petapa Brahmana hidup dari makanan yang disedikanan oleh umat yang berbakti, mereka disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam kata-kata perdebatan, seperti: ‘Bagaimana seharusnya engkau mengerti Dhamma Vinaya ini? ‘Engkau menganut pandangan-pandangan keliru, tetapi aku menganut pandangan-pandangan benar’. ‘Aku berbicara langsung pada pokok persoalan, tetapi engkau tidak berbicara langsung pada pokok persoalan’. Engkau membicarakan di bagian akhir tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian permulaan; dan membicarakan di bagian permulaan tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian akhir’. Apa yang lama telah engkau persiapkan untuk dibicarakan, semuanya itu telah usang’. Kata-kata bantahanmu itu telah ditentang, dan engkau ternyata salah’. ‘Berusahalah untuk menjernihkan pandangan-pandanganmu; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari kata-kata perdebatan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

54— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih berlaku sebagai pembawa berita, pesuruh dan bertindak sebagai perantara dari raja-raja, menteri-menteri negara, kesatria, Brahmana,orang berkeluarga atau pemuda-pemuda,yang berkata: “Pergilah ke sana, pergilah ke situ, bawalah ini, ambilkan itu dari sana’; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari tugas-tugas sebagai pembawa berita, pesuruh dan perantara semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

55— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih melakukan tindakan-tindakan penipuan dengan cara: merapalkan kata-kata suci, meramal tanda-tanda dan mengusir dengan tujuan mem-peroleh keuntungan setelah memperlihatkan sedikit kemam-puannya; namun seorang bhikkhu menahan diri dari tindakan-tindakan penipuan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

56— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disedikan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti meramal dengan melihat guratan-guratan tangan, meramal melalui tanda-tanda dan alamat-alamat, menujumkan sesuatu dari halilintar atau keanehan-keanehan benda langit lainnya, meramal dengan mengartikan mimpi-mimpi, meramal dengan melihat tanda-tanda pada bagian tubuh, meramal dari tanda-tanda pada pakaian yang digigit tikus, mengadakan korban pada api, mengadakan selamatan yang dituang dari sendok, memberikan persembahan dengan sekam untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan bekatul untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan mentega untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan minyak untuk dewa, mempersembahkan biji wijen dengan menyemburkannya dari mulut ke api, mengeluarkan darah dari lutut kanan sebagai tanda persembahan kepada dewa-dewa, melihat dan meramalkan apakah orang itu mujur, beruntung atau sial; menentukan apakah letak rumah itu baik atau tidak menasehati cara-cara pengukuran tanah; mengusir setan-setan di kuburan; mengusir hantu, mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mantra untuk kelajengking, mantra tikus, mantra burung, mantra burung gagak, meramal umur, mantra melepas panah, keahlian untuk mengerti bahasa binatang; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-limu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

57— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: pengetahuan tentang tanda-tanda atau alamat-alamat baik atau buruk dari benda-benda, yang menyatakan kesehatan atau keberuntungan dari pemiliknya, seperti: batu-batu permata, tongkat, pedang, panah, busur, senjata-senjata lainnya; wanita, laki-laki, anak lelaki, anak perempuan, budak lelaki, budak perempuan gajah, kuda, kerbau , sapi jantan, sapi betina, burung nasar, kura-kura, dan binatang-binatang lainnya; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

58— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramal dengan akibat: pemimpin akan maju, pemimpin akan mundur, pemimpin kita akan menyerang dan musuh-musuh akan mundur, pemimpin musuh akan menyerang dan pemimpin kita akan mundur, pemimpin kita akan menang dan pemimpin musuh akan kalah, pemimpin musuh akan menang dan pemimpin kita akan kalah; jadi kemenangan ada di pihak ini dan kekalahan ada di pihak itu; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.

59— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan adanya gerhana bulan, gerhana matahari, gerhana bintang, matahari atau bulan akan menyimpang dari garis edarnya, matahari atau bulan akan kembali pada garis edarnya, adanya bintang yang menyimpang dari garis edahnya, bintang akan kembali pada garis edarnya, meteor jatuh, hutan terbakar, gempa bumi, halilintar, matahari, bulan dan bintang akan terbit, terbenam, bersinar dan suram; atau meramalkan lima belas gejala tersebut akan terjadi yang akan mengakibatkan sesuatu; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

60— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan turun hujan yang berlimpah-limpah, turun hujan yang tidak mencukupi, hasil panen yang baik, masa paceklik (kekurangan bahan makanan), keadaan damai, keadaan kacau, akan terjadi wabah sampar, musim baik; meramal dengan menghitung jari, tanpa menghitung jari; ilmu menghitung jumlah besar, menyusun lagu, sajak, nyanyian rakyat yang popular dan ada kebiasaan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

61— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: mengatur hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk dibawa pulang, mengatur hari baik baik mempelai pria atau wanita untuk dikirim pergi, menentukan saat baik untuk menentukan perjanjian damai (atau mengikat persaudaraan dengan meng-gunakan mantra), menentukan saat yang baik untuk meletuskan permusuhan, menentukan saat baik untuk menagih hutang, menentukan saat baik untuk memberi pinjaman, menggunakan mantra untuk membuat orang beruntung, menggunakan mantra untuk membuat orang sial, menggunakan mantra untuk meng-gugurkan kandungan, menggunakan mantra untuk mendiamkan rahang seseorang, menggunakan mantra untuk membuat orang lain mengangkat tangannya, menggunakan mantra untuk menimbulkan ketulian, mencari jawaban dengan melihat-lihat kaca ajaib, mencari jawaban melalui seorang gadis yang kerasukan, mencari jawaban dari dewa, memuja matahari memuja maha ibu (dewa tanah) mengeluarkan api dari mulut, memohon kepada dewi Sri, atau dewi keberuntungan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

62— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: berjanji akan memberikan persembahan-persembahan kepada para dewa apabila keinginan nya terkabul, melaksanakan janji-janji semacam itu, mengucapkan mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mengucapkan mantra untuk menimbulkan kejantanan, membuat pria menjadi impotent, menentukan letak yang tepat untuk membangun rumah, mengucapkan mantra untuk membersihkan tempat, melakukan upacara pembersihan mulut, melakukan upacara mandi, mempersembahkan korban, memberikan obat bersin untuk mengobat sakit kepala, meminyaki telinga orang lain, merawat mata mata orang, memberikan obat melalui hidung, memberi collyrium di mata, memberikan obat tetes pada mata, menjalankan praktek sebagai okultis, menjalankan praktek sebagai dokter anak-anak, meramu obat-obatan dari bahan-bahan akar-akaran, membuat obat-obatan; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

63— ’Vasettha, selanjutnya seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat adanya bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenan dengan pengendalian terhadap sila, Vasettha, sama seperti seorang kesatria yang patut dinobatkan menjadi raja, yang musuh-musuh telah di kalahkan, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan musuh-musuh; demikian pula, seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian-sila. Dengan memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan suatu kebahagiaan murni (anavajja sukkham). Vasettha, demikianlah seorang bhikkhu yang memiliki sila sempurna’.

64— ’Vasettha, bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki penjagaan atas pintu-pintu inderanya? Vasettha, bilamana seorang bhikkhu melihat suatu obyek dengan matanya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penglihatannya. Ia menjaga indera penglihatannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengelihatannya. Bilamana ia mendengar suara dengan telinganya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pendengarnya. Ia menjaga indera pendengarannya, danmemiliki pengendalian terhadap indera pendengarannya.
Bilamana ia mencium bau dengan hidungnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penciumannya. Ia menjaga indera penciumannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera penciumannya.
Bilamana ia mengecap rasa lidahnya, Ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pengecapannya. Ia menjaga indera pengecapannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengecapannya.
Bilamana ia merasakan suatu sentuhan dengan tubuhnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera perabanya. Ia menjaga indera perabanya, dan memiliki pengendalian terhadap indera perabanya.
Bilamana ia mengetahui sesuatu (dhamma) dengan pikirannya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk; keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera pikirannya. Ia menjaga indera pikirannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pikirannya.
Dengan memiliki pengendalian diri yang mulia ini terhadap indera-inderanya, ia merasakan suatu kebahagiaan yang tidak dapat diterobos oleh noda apapun. Vasettha, demikianlah seorang bhikkhu yang memiliki pengendalian atas pintu-pintu inderanya’

65— ’Vasettha, bagaimankah seorang bhikkhu memilki perhatian-seksama dan pengerti jelas? Vasettha, dalam hal ini seorang bhikkhu mengerti dengan jelas sewaktu ia pergi atau sewaktu kembali; ia mengerti denganjelas sewaktu melihat ke depan atau melihat ke samping; ia mengerti dengan jelas sewaktu mengenakan jubah atas (sanghati), jubah luar (civara) atau mengambil mangkuk-makan (patta); ia mengerti dengan jelas sewaktu makan, minum, mengunyah atau menelan; ia mengerti dengan jelas sewaktu buang air atau sewaktu kencing; ia mengerti dengan jelas sewaktu dalam keadaan berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun, berbicara atau diam. Vasettha, demikianlah seorang bhikkhu yang memiliki perhatian seksama murni dan pengertian jelas’

66— ’Vasettha, bagaimanakah seorang bhikkhu merasa puas? Vasettha, dalam hal ini seorang bhikkhu merasa puas dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Dan kemana pun ia akan pergi, ia pergi hanya dengan membawa hal-hal ini. Vasettha, sama seperti seekor burung dengan sayap-nya, ke manapun akan terbang, burung itu terbang hanya dengan membawa sayapnya. Vasettha, demikian pula seorang bhikkhu merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Maka, ke mana pun ia akan pergi, ia hanya dengan membawa hal-hal ini. Vasettha, demikianlah seorang bhikkhu merasa puas’

67— ‘Setelah memiliki kelompok sila yang mulia ini, memiliki pengendalian terhadap indera-indera yang mulia ini, memiliki perhatian seksama dan pengertian jelas yang mulia ini, memiliki kepuasan yang mulia ini, ia memilih tempat-tempat sunyi di hutan, di bawah pohon, di lereng bukit, di celah gunung, di gua karang, di tanah-kubur, di dalam hutan lebat, di lapangan terbuka, di atas tumpukan jerami untuk berdiam. Setelah pulang dari usahanya mengumpulkan dana makanan dan selesai makan; ia duduk bersila, badan tegak, sambil memusatkan perhatiannya ke depan’.

68— ’Dengan menyingkirkan kerinduan terhada dunia, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari kerinduan, membersihkan pikirannya dari nafsu-nafsu. Dengan menyingkirkan itikad jahat, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari itika jahat, dengan pikiran bersahabat serta penuh kasih sayang terhadap semua makhluk, semua yang hidup, ia membersihkan pikirannya dari itikad jahat. Dengan menyingkirkan kemalasan dan kelambanan, ia berdiam dalam keadaan bebas dari kemalasan dan kelambanan; dengan memusatkan perhatiannya pada pencerapan terhadap cahaya (alokasanni), ia membersihkan pikirannya dari kemalasan dan kelambanan. Dengan menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatir-an, ia berdiam bebas dari kekacauan; dengan batin tenang, ia membersihkan pikirannya dari kegelisahan dan kekhawatiran. Dengan menyingkirkan keragu-raguan,ia berdiam mengatasi keragu-raguan; dengan tidak lagi ragu-ragu terhadap apa yang baik, ia membersihkan pikirannya dari keragu-raguan’.

69— ’Vasettha, sama halnya seperti seseorang, yang setelah berhutang, ia berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja ia mampu membayar kembali pinjaman hutangnya, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri. Lalu ia berpikir: ‘Dahulu aku berhutang dan berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja aku dapat membayar kembali pinjaman hutangku, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri”. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu’.

70— ’Vasettha, sama halnya seperti seorang yang diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaannya, tidak dapat mencerna makanannya, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam dirinya; namun setelah beberapa waktu ia sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanannya sehingga kekuatannya pulih. Lalu ia berpikir: ‘Dahulu aku diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaanku, tidak dapat mencerna makananku, sehinga tidak ada lagi kekuatan dalam diriku; namun, sekarang aku telah sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanan sehingga kekuatanku pulih’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu’.

71— ’Vasettha, sama halnya seperti seorang yang ditahan dalam rumah penjara, dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari tahanannya, aman dan sehat, barang-barangnya tidak ada yang dirampas. Lalu ia berpikir: ‘Dahulu aku ditahan dalam rumah penjara, dan sekarang aku telah bebas dari tahanan, aman dan sehat, barang-barangku tidak ada yang dirampas’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu’

72— ’Vasettha, sama halnya seperti seseorang yang menjadi budak, bukan tuan bagi dirinya sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana ia suka; dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari perbudakan itu, menjadi tuan bagi dirinya sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas pergi ke mana ia suka. Lalu ia berpikir: ‘Dahulu aku seorang budak, bukan tuan bagi diriku sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana aku suka; dan sekarang aku telah bebas dari perbudakan, menjadi tuan bagi diriku sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas, bebas ke mana aku suka’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu’.

73— ’Vasettha, sema halnya seperti seorang yang dengan membawa kekayaan dan barang-barang, melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan setelah beberapa waktu ia berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desanya, suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya. Lalu ia berpikir: ‘Dahulu, dengan membawa kekayaan dan barang-barang, aku melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan sekarang akut elah berhasil keluar daripadang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desaku, suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu’.

74— ’Vasettha, demikianlah selama lima rintangan-batin (panca nivarana) belum disingkirkan, seorang bhikkhu merasakan dirinya seperti orang yang berhutang, terserang penyakit, dipenjara, menjadi budak, melakukan perjalanan di padang pasir. Vasettha, tetapi setelah lima rintangan batin itu disingkirkan, maka seorang bhikkhu merasa dirinya seperti orang yang telah bebas dari hutang, bebas dari penyakit, keluar dari penjara, bebas dari pebudakan, sampai di tempat yang aman.

75— ’Apabila ia menyadari bahwa lima rintangan batin itu telah disingkirkan dari dalam dirinya, maka timbullah kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti), karena batin tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa nyaman, karena tubuh menjadi nyaman, maka ia merasa bahagia, karena bahagia, maka pikirannya menjadi terpusat. Kemudian, setelah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk dan berdiam dalam Jhana pertama; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (piti sukha), yang timbul dari kebebas-an, yang masih disertai dengan pengarahan pikiran pada obyek (vitakka) dan mempertahankan pikiran pada obyek (vicara). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari kebebesan (viveka).

76— ‘Kemudian ia mengembangkan batinnya dengan pikirannya yang penuh cinta kasih (metta) ke seperempat bagian dunia, ke setengah dunia, ke tigaperempat dunia dankeseluruh dunia. Dengan demikian seluruh dunia, di atas, di bawah, di sekeliling dan di mana saja, ia secara terus menerus mengembangkan cinta kasihnya, hingga jauh, bertambah luas dan tak terterbatas’.

77— ‘Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengar-kan suara – tanpa kesulitan – di semua empat penjuru; begitu pula semua bentuk dan berbagai ukuran makhluk, tanpa salah satunya dikecualikan, namun dengan memperhatikan mereka semua dikembangkannya pikiran yang bebas dan penuh cinta-kasih’.
‘Vasettha, inilah jalan untuk bersatu dengan Brahma’.

78— ‘‘Kemudian ia mengembangkan batinnya dengan pikirannya yang penuh cinta kasih (metta) ke seperempat bagian dunia, ke setengah dunia, ke tigaperempat dunia dan ke seluruh dunia. Dengan demikian seluruh dunia, di atas, di bawah, di sekeliling dan di mana saja, ia secara terus menerus mengembangkan cinta kasihnya, hingga jauh, bertambah luas dan tak terterbatas’.
‘Kemudian ia mengembangkan batinnya dengan pikirannya yang penuh kasih-sayang (karuna) ke seperempat bagian dunia, ke setengah dunia, ke tigaperempat dunia dan ke seluruh dunia. Dengan demikian seluruh dunia, di atas, di bawah, di sekeliling dan di mana saja, ia secara terus menerus mengembangkan kasih-sayangnya, hingga jauh, bertambah luas dan tak terterbatas’.
‘Kemudian ia mengembangkan batinnya dengan pikirannya yang penuh empati (mudita) ke seperempat bagian dunia, ke setengah dunia, ke tigaperempat dunia dan ke seluruh dunia. Dengan demikian seluruh dunia, di atas, di bawah, di sekeliling dan di mana saja, ia secara terus menerus mengembangkan empatinya, hingga jauh, bertambah luas dan tak terterbatas’.
‘Kemudian ia mengembangkan batinnya dengan pikirannya yang penuh keseimbangan batin (upekkha) ke seperempat bagian dunia, ke setengah dunia, ke tigaperempat dunia dan ke seluruh dunia. Dengan demikian seluruh dunia, di atas, di bawah, di sekeliling dan di mana saja, ia secara terus menerus mengembang-kan keseimbangan batinnya, hingga jauh, bertambah luas dan tak terterbatas’.

79— ‘Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memper-dengarkan suara – tanpa kesulitan – di semua empat penjuru; begitu pula semua bentuk dan berbagai ukuran makhluk, tanpa salah satunya dikecualikan, namun dengan memperhatikan mereka semua dikembangkannya pikiran yang bebas dan penuh kasih sayang’.
‘Vasettha, inilah jalan untuk bersatu dengan Brahma’.
‘Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengarkan suara – tanpa kesulitan – di semua empat penjuru; begitu pula semua bentuk dan berbagai ukuran makhluk, tanpa salah satunya dikecualikan, namun dengan memperhatikan mereka semua dikembangkannya pikiran yang bebas dan penuh empati’.
‘Vasettha, inilah jalan untuk bersatu dengan Brahma’.
‘Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memper-dengarkan suara – tanpa kesulitan – di semua empat penjuru; begitu pula semua bentuk dan berbagai ukuran makhluk, tanpa salah satunya dikecualikan, namun dengan memperhatikan mereka semua dikembangkannya pikiran yang bebas dan penuh keseimbangan batin’.
‘Vasettha, inilah jalan untuk bersatu dengan Brahma’.

80— ‘Vasettha, bagaimana pendapatmu, akankah bhikkhu yang hidup seperti itu memiliki istri dan kekayaan atau tidak?’
‘Ia tidak akan, Gotama’
‘Apakah ia akan dipenuhi kemarahan atau bebas dari kemarahan?’
‘Ia akan bebas dari kemarahan, Gotama’.
‘Apakah ia akan diliputi kebencian atau bebas dari kebencian?’
‘Ia bebas dari kebencian, Gotama’.
‘Apakah pikirannya akan ternoda atau suci?’
‘Pikirannya akan suci, Gotama’.
‘Apakah ia akan menguasai dirinya atau tidak akan?’
‘Ia akan menguasai dirinya, Gotama’.

81— ‘Vasettha, anda mengatakan bahwa bhikkhu itu bebas dari kehidupan berumah tangga dan keduniawian, dan Brahma bebas dari kehidupan berumah tangga dan keduniawian. Apakah ada persesuaian atau persamaan antara bhikkhu dan Brahma?’
‘Ya, Gotama’.
Vasettha, baiklah. Vasettha bila demikian, bhikkhu yang bebas dari kehidupan berumah tangga dan keduniawian bilamana meninggal dunia akan bersatu dengan Brahma, karena ada persamaannya – keadaan seperti mungkin terjadi’.

‘Vasettha, seperti yang anda katakan bahwa bhikkhu adalah bebas dari kemarahan, bebas dari kebencian, pikirannya suci dan menguasai dirinya; dan Brahma adalah bebas dari kemarahan, bebas dari kebencian, suci dan menguasai dirinya.
Vasettha, dengan demikian sesunggunya bhikkhu yang bebas dari kemarahan. Bebas dari kebencian, pikiran suci dan dapat menguasai dirinya, bila ia meninggal dunia, ia dapat bersatu dengan Brahma, yang ada persamaannya – keadaan seperti ini mungkin terjadi’.

82— Setelah beliau berkata begitu, kemudian pemuda Brahmana Vasettha dan Bharadvaja berkata kepada Bhagava: ‘Mengagumkan kata-kata yang diucapkan Gotama. Menakjubkan! Bagaikan orang yang menegakkan benda yang tergeletak, atau menemukan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan yang benar bagi mereka yang tersesat, atau menerangi tempat yantg gelap sehingga orang yang mempunyai mata dapat melihat benda; -- begitu pula, Gotama telah membabarkan dhamma kepada kami dalam banyak cara. Kami menyatakan berlindung kepada Bhagava, Dhamma dan bhikkhu Sangha. Mohon Bhagava menerima kami sebagai pengikut (upasaka) sejak hari ini hingga akhir hayat’.