Selasa, 16 Maret 2010

KEVADDHA SUTTA

1— Demikianlah yang saya dengar.
Pada suatu ketika Bhagava berada di di Pavarikambavana, Nalanda. Waktu itu seorang perumah-tangga muda bernama Kevaddha pergi menemui Bhagava, ia menghormati beliau dan duduk di tempat yang telah tersedia. Setelah duduk ia berkata kepada Bhagava:
“Bhante, kota Nalanda kami ini sangat makmur dan ber-pengaruh, penuh dengan penduduk, banyak orang yang menjadi pengikut Bhagava. Baik sekali bilamana Bhagava memberikan perintah kepada beberapa Bhikkhu untuk mempertunjukan kekuatan batin yang melebihi kemampuan manusia biasa. Maka keyakinan penduduk Nalanda kami ini kepada Bhagava akan lebih bertambah”
Setelah ia berkata begitu, Bhagava berkata kepadanya: “Kevaddha, tetapi bukan dengan cara begitu saya mengajar para Bhikkhu: ‘Para Bhikkhu, pertunjukkanlah kekuatan batin yang melebihi kemampuan manusia biasa kepada para umat awam’”

2— Untuk kedua kali Kevaddha memohon hal yang sama kepada Bhagava, namun ia mendapat jawaban yang sama.

3— Untuk ketiga kali Kevaddha berkata kepada Bhagava: “Saya tidak bermaksud melukai kepada Bhagava. Saya hanya berkata bahwa 'Kota Nalanda kami ini sangat makmur dan berpengaruh, penuh dengan penduduk, banyak orang yang menjadi pengikut Bhagava. Baik sekali bilamana Sang Bhagava memberikan perintah kepada beberapa Bhikkhu untuk mempertunjukkan kekuatan batin yang melebihi kemampuan manusia biasa. Maka keyakinan penduduk Nalanda kami ini kepada Bhagava akan bertambah’”.
[Bhagava]: “Kevaddha, ada tiga macam keajaiban (patihariya) yang saya sendiri telah mengerti dan realisasikan, dan telah saya ajarakan kepada orang lain”.
“Apakah tiga macam keajaiban, yaitu: 'keajaiban kekuatan-batin fisik (iddhi patihariya), keajaiban kemampuan-batin mengetahui-pikiran orang lain (adesana patihariya) dan keajaiban ajaran (anusasana patihari)`”.

4— [Bhagava]: “Kevaddha, apakah yang dimaksud dengan keajaiban kekuatan-batin fisik (iddhi patihariya)?
“Kevaddha, dalam hal ini seandainya seorang Bhikkhu memiliki dan dalam berbagai cara menikmati keajaiban kekuatan-batin fisik yaitu: merubah diri dari seorang menjadi banyak; dari banyak orang menjadi seorang saja; menghilangkan diri atau sebaliknya; berjalan menembus dinding, benteng atau gunung tanpa ada hambatan; ia menyelam ke dalam dan keluar tanah bagaikan dalam air; berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas tanah; dengan duduk bersila ia melayang di angkasa bagaikan burung terbang; menyentuh dan merasakan bulan dan matahari yang perkasa dengan tangannya; dengan tubuhnya ia dapat mengunjungi alam-alam dewa Brahma. Mereka yang melihat itu percaya dan yakin ia melakukannya”.

5— [Selanjutnya Bhagava berkata] “Mereka yang berkeyakinan harus menyatakan fakta kepada yang tak berkeyakinan, dengan berkata: ‘Saudara-saudara, mengagumkan dan menakjubkan kekuatan dan kemampuan seorang Bhikkhu yang memiliki keajaiban-batin fisik. Karena saya sendiri melihat Bhikkhu itu dalam berbagai cara menikmati keajaiban kekuatan-batin fisik, yaitu: merubah diri dari seorang menjadi banyak; dari banyak orang menjadi seorang saja; meng-hilangkan diri atau sebaliknya; berjalan menembus dinding, benteng atau gunung tanpa ada hambatan; ia menyelam ke dalam dan keluar tanah bagaikan dalam air; berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas tanah; dengan duduk bersila ia melayang di angkasa bagaikan burung terbang; menyentuh dan merasakan bulan dan matahari yang perkasa dengan tangannya; dengan tubuhnya ia dapat mengunjungi alam-alam dewa Brahma’”.

[Bhagava]: “Mungkin orang tak berkeyakinan itu akan mengatakan: ‘Saudara, namun ada mantra Gandhari. Berdasarkan pada kemanjuran mantra itu maka Bhikkhu itu dalam berbagai cara menikmati keajaiban kekuatan-batin fisik, yaitu: merubah diri dari seorang menjadi banyak; dari banyak orang menjadi seorang saja; menghilangkan diri atau sebaliknya; berjalan menembus dinding, benteng atau gunung tanpa ada hambatan; ia menyelam ke dalam dan keluar tanah bagaikan dalam air; berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas tanah; dengan duduk bersila ia melayang di angkasa bagaikan burung terbang; menyentuh dan merasakan bulan dan matahari yang perkasa dengan tangannya; dengan tubuhnya ia dapat mengunjungi alam-alam dewa Brahma’”.
“Kevaddha, bagaimana pendapatmu? Mungkinkan orang tak berkeyakinan berkata begitu?”
[Kevaddha]: “Bhante, ia akan mengatakan itu”.
[Bhagava]: ‘Kevaddha, baiklah. Karena saya melihat bahaya dalam mempraktikkan keajaiban kekuatan-batin fisik, maka saya enggan, bosan dan malu melakukannya.’

6— [Bhagava]: “Kevaddha, apakah yang dimaksud dengan keajaiban kemampuan-batin mengetahui pikiran orang lain (adesana-patihariya)?”
[Selanjutnya Bhagava menjelaskan ]: “Kevaddha, dalam hal ini seorang Bhikkhu mengetahui isi hati nurani dan perasaan, pikiran dan pendapat makhluk-makhluk lain atau orang-orang lain, dengan berkata: ‘Pikiran anda begini dan begitu. Anda sedang berpikir tentang hal ini dan itu. Perasaan anda begini dan begitu.’ Orang-orang yang berkeyakinan dan percaya melihatnya berbuat seperti itu.”

7— [Bhagava]: ”Orang yang berkeyakinan harus menyatakan fakta kepada orang tak berkeyakinan, dengan berkata: ‘Saudara-saudara, mengagumkan dan menakjubkan kekuatan dan kemampuan seorang Bhikkhu yang memiliki keajaiban kemampuan-batin mengetahi pikiran orang lain’. Karena saya sendiri melihat Bhikkhu itu mengetahui perasaan-perasaan, pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat makhluk-makhluk lain dan orang-orang lain, dengan berkata: ‘Pikiran anda begini dan begitu. Anda sedang berpikir tentang hal ini dan itu. Perasaan anda begini dan begitu. Mungkin orang tak berkeyakinan itu akan mengatakan: ‘Saudara, namun ada mantra Manika. Berdasarkan pada kemanjuran mantra itu maka Bhikkhu itu mempunyai kemampuan untuk mengetahui isi pikiran makhluk-makhluk lain atau orang-orang lain.’
‘Kevaddha, bagaimana pendapatmu? Mungkinkan orang tak berkeyakinan berkata begitu?’
[Kevaddha]: “Bhante, ia akan mengatakan itu.”
[Bhagava]: “Kevaddha, baiklah. Karena saya melihat bahaya dalam mempraktikkan keajaiban memampuan-batin mengetahui pikiran orang lain, maka saya enggan, bosan dan malu melakukannya”.

8— [Bhagava]: “Kevaddha, apa yang dimaksud dengan keajaiban ajaran (anusasana-patihariya)?’
‘Kevaddha, misalnya seorang Bhikkhu mengajar: ‘Berpikirlah seperti ini, dan jangan berpikir seperti itu. Berpikiranlah yang jernih seperti ini, jangan berpikiran tidak jernih seperti itu. Lenyapkanlah hal-hal ini, latihlah diri anda seperti ini, dan tetap melakukannya seperti ini. ‘Kevaddha inilah yang dimaksud dengan keajaiaban ajaran.’

9(40)— ’Kevaddha , seandainya di dunia ini muncul seorang Tathagata, Yang Maha Suci, Yang Telah mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak tanduknya, sempurna menempuh Jalan, Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, Guru para dewa dan manusia, Yang sadar, Yang Patut dimuliakan. Beliau mengajarkan pengetahuan yang telah diperoleh melalui usahanya sendiri kepada orang-orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, dan manusia, Yang Sadar, Yang Patut dimuliakan. Beliau mengajarkan pengetahu-an yang telah di peroleh melalui usahanya sendiri kepada orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, mara dan Brahmanya; para petapa, Brahmana, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan kebenaran (Dhamma) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan, indah pada akhir dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan penghidupan suci (Brahmacariya) yang sempurna dan suci.

10(41)— “Kemudian, seorang yang berkeluarga atau salah seorang dari anak-anaknya atau seorang dari keturunan keluarga rendah datang mendengarkan Dhamma itu, dan setelah mendengar-nya ia memperoleh keyakinan terhadap Sang Tathagata. Setelah ia memiliki keyakinan itu, timbullah perenungan ini dalam dirinya: ‘sesungguhnya, hidup berkeluarga itu penuh dengan rintangan, jalan yang penuh dengan kekotoran nafsu. Bebas seperti udara bagi seorang yang hidup berkeluarga untuk menempuh hidup Brahmacariya secara sungguh-sungguh, suci serta dalam seluruh kegemilangan kesem-purnaannya. Maka, biarlah aku mencukur rambut dan janggut-ku, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk menempuh hidup pabbajja.

11(42)— “Setelah menjadi Bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan peraturan-peraturan Bhikkhu (patimokkha), sempur-na kelakuan dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekalipun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya. Ia memiliki perhatian-perhatian seksama dan pengertian jelas (sati sampajjana); dan hidup puas”

(12)43— “Kevaddha, bagaimanakah seorang Bhikkhu yang sempurna silanya? Kevaddha, dalam hal ini seorang Bhikkhu [menjalankan sila]:
‘menjauhi pembunuhan’,
‘menahan diri dari pembunuhan mahkluk-makhluk’.
‘Setelah membuang alat pemukul dan pedang, malu dengan perbuatan kasar’;
‘ia hidup dengan penuh cinta kasih, kasih sayang dan bajik terhadap semua makhluk, semua yang hidup’,
‘inilah sila yang dimilikinya’,
‘Menjauhi pencurian’,
‘menahan diri dari memiliki apa yang tidak diberikan’,
‘ia hanya mengambil apa yang tidak diberikan’,
‘ia hanya mengambil apa yang diberikan dan ’,
‘tergantung pada pemberian’,
‘ia hidup jujur dan suci’,
‘Inilah sila yang dimilikinya’,

‘Menjauhi hubungan kelamin’,
‘menjalankan penghidupan suci atau selibat (Brahmacariya) ’,
‘ia menahan diri dari perbuatan-perbuatan rendah dan hubungan kelamin’,
‘Inilah sila yang dimilikinya’.

(13)44— ’Menjauhi kedustaan’,
‘menahan diri dari dusta’,
‘ia berbicara benar’,
‘tidak menyimpang dari kebenaran’,
‘jujur dan dapat dipercaya’,
‘serta tidak mengingkari kata-katanya sendiri di dunia’,
‘Menjauhi ucapan fitnah’,
‘menahan diri dari memfitnah’,
‘apa yang ia dengar di sini tidak akan diceritakannya di tempat lain sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sini’,
‘Apa yang ia dengar di tempat lain tidak akan diceritakannya di sini sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sana’,
‘Ia hidup menyatukan mereka yang terpecah-belah’,
‘pemersatu dan mencintai persatuan’,
‘mendambakan persatuan; persatuan merupakan tujuan pembicaraannya’,
‘Inilah sila yang dimilikinya’,
‘Menjauhi ucapan kasar’,
‘menahan diri dari penggunaan kata-kata kasar; ia hanya mengucapkan kata-kata yang tidak tercela, menyenangkan, menarik, berkenan di hati, sopan, enak didengar dan disenangi orang’,
‘Inilah sila yang dimilikinya
‘Menjauhi pembicaraan sia-sia’,
‘menahan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat’,
‘ia berbicara pada saat yang tepat’,
‘sesuai dengan kenyataan, berguna, tentang Dhamma dan vinaya’,
‘Pada saat yang tepat, ia mengucapkan kata-kata yang berharga untuk didengar, penuh dengan gambaran yang tepat, memberikan uraian yang jelas dan tidak berbelit-belit. Inilah yang dimilikinya’,

(14)45— ‘Ia menahan diri untuk tidak merusak benih-benih dan tumbuh-tumbuhan’,
‘Ia makan sehari sekali’,
‘tidak makan setelah tengah hari’,
‘Ia menahan diri dari menonton pertunjukkan-pertunjukkan’,
‘tari-tarian, nyanyian dan musik.
Ia menahan dari penggunaan alat-alat kosmetik’,
‘karangan-karangan bunga, wangi-wangian dan perhiasan-perhiasan’,
‘Ia menahan diri dari penggunaan tempat tidur yang besar dan mewah. ’,
‘Ia menahan diri dari menerima emas dan perak’,
‘Ia menahan diri dari menerima gandum (padi) yang belum dimasak. Ia menahan diri dari menerima daging yang belum dimasak’,
‘Ia menahan diri dari menerima wanita dan perempuan-perempuan muda’,
‘Ia menahan diri dari menerima budak belian lelaki dan budak belian perempuan’,
‘Ia menahan diri dari menerima biri-biri atau kambing, Ia menahan diri dari menerima bagi dan unggas’,
‘Ia menahan diri dari menerima gajah, sapi dan kuda’,
‘Ia menahan diri dari menerima tanah-tanah pertanian’,
‘Ia menahan diri dari menipu dengan timbangan, mata uang maupun ukuran-ukuran’,
‘Ia menahan diri dari perbuatan menyogok, menipu dan penggelapan’,
‘Ia menahan diri dari perbuatan melukai, membunuh, memperbudak, merampok, menodong dan menganiaya. Inilah sila yang dimilikinya’,

(15)46— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan, seperti: tumbuhan yang berkembang biak dari akar-akaran, tumbuhan yang berkembang biak dari tetangkaian, tumbuhan yang berkembang biak dari ruas-ruas atau tumbuhan yang berkembang biak dari kecambah-kecambahan; namun, seorang Bhikkhu menahan diri dari merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan. Inilah sila yang dimilikinya’
(16)47— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan barang-barang yang ditimbun, simpanan, seperti: bahan makanan simpanan, minuman simpanan, jubah simpanan, perkakas-perkakas simpanan, bumbu makanan simpanan; namun, seorang Bhikkhu menahan diri dari menggunakan barang-barang yang ditimbun semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

(17)48— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih menonton aneka macam pertunjukkan, seperti:
‘tari-tarian, nyanyian-nyanyian musik, pertunjukkan panggung, opera, musik yang diiringi dengan tepuk tangan, pembacaan deklamasi, permainan tambur, drama kesenian, permainan akrobat di atas galah, adu gajah, adu kuda, adu sapi, adu banteng, pertandingan tinju, pertandingan gulat, perang perangan, pawai, inspeksi, parade;
‘namun seorang Bhikkhu menahan diri dari menonton aneka macam pertunjukkan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’.

(18)49-- ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terikat dengan aneka macam permainan dan rekreasi, seperti:
‘permianan catur dengan papan berpetak delapan baris’,
‘permainan catur dengan papan berpetak sepuluh baris’,
‘permainan dengan membayangkan papan catur tersebut di udara’,
‘permainan melangkah satu kali pada diagram yang digariskan di atas tanah’,
‘permainan dengan cara memindahkan benda-benda atau orang dari satu tempat ke lain tempat tanpa menggoncang-kannya’,
‘permainan lempar dadu’,
‘permainan memukul kayu pendek dengan menggunakan kayu panjang’,
‘permainan mencelup tangan ke dalam air berwarna dan menempelkan telapak tangan ke dinding’,
‘permainan bola’,
‘permainan meniup sempritan yang dibuat dari daun palem’,
‘permainan meluku dengan bajak mainan’,
‘permainan jungkir balik (salto) ’,
‘permainan dengan kitiran yang dibuat dari daun palem’,
‘bermain dengan timbangan mainan yang dibuat dari daun palem’,
‘bermain dengan kereta perang mainan’,
‘bermain dengan panah-panah mainan’,
‘menebak tulisan-tulisan yang digoreskan di udara atau pada punggung seseorang’,
‘menebak pikiran teman bermain’,
‘seorang Bhikkhu menahan diri dari aneka macam permainan dan rekreasi semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya’

(19)50— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah, seperti:
‘dipan tinggi yang dapat dipindah-pindahkan yang panjangnya enam kaki’,
‘dipan dengan tiang-tiang berukiran gambar binatang-binatang’,
‘seprei dari bulu kambing atau bulu domba yang tebal’,
‘seprei dengan bordiran warna warni’,
‘selimut putih’,
‘seprei dari wol yang disulam dengan motif bunga-bunga’,
‘selimut yang diisi dengan kapas dan wol’,
‘seprei yang disulam dengan gambar harimau dan singa’,
‘seprei dengan bulu binatang pada kedua tepinya’,
‘seprei dengan bulu binatang pada salah satu tepinya’,
‘seprei dengan sulaman permata’,
‘seprei dari sutra’,
‘selimut yang dapat dipergunakan oleh enam belas orang’,
‘selimut gajah’,
‘selimut kuda atau selimut kereta’,
‘selimut kulit kijang yang dijahi’,
‘selimut dari kulit sebangsa kijang’,
‘permadani dengan tutup kepala dan kaki’,
‘namun seorang Bhikkhu menahan diri untuk tidak memper-gunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah semacam itu’.
‘Inilah sila yang dimilikinya.’

(20)51— “Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih memakai perhiasan-perhiasan dan alat-alat memper-indah diri, seperti:
‘melumuri, mencuci dan menggosok tubuhnya dengan bedak wangi’,
‘memukuli tubuhnya dengan tongkat perlahan-lahan seperti ahli gulat’,
‘memakai kaca’,
‘memakai minyak mata (bukan obat) ’,
‘memakai bunga-bunga’,
‘memakai pemerah pipi, kosmetika, gelang, kalung’,
‘memakai tongkat jalan (untuk bergaya) ’,
‘memakai tabung bambu untuk menyimpan obat, pedang’,
‘memakai alat penahan sinar matahari’,
‘memakai sandal bersulam’,
‘memakai sorban’,
‘memakai perhiasan dahi’,
‘memakai sikat dari ekor binatang yak’,
‘memakai jubah putih panjang yang banyak lipatannya;
‘namun, seorang Bhikkhu menahan diri dari pemakaian perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri semacam itu.
Inilah sila yang dimilikinya’.

(21)52— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam percakapan-percakapan yang rendah, seperti:
‘percakapan tentang raja-raja’,
‘percakapan tentang mencuri’,
‘percakapan tentang menteri-menteri’,
‘percakapan tentang angkatan-angkatan perang’,
‘percakapan tentang pembunuhan-pembunuhan’,
‘percakapan tentang pertempuran pertempuran’,
‘percakapan tentang makanan’,
‘percakapan tentang minuman’,
‘percakapan tentang pakaian’,
‘percakapan tentang tempat tidur’,
‘percakapan tentang karangan-karangan bunga’,
‘percakapan tentang wangi-wangian’,
‘pembicaraan-pembicaraan tentang keluarga’,
‘percakapan tentang kendaraan’,
‘percakapan tentang desa’,
‘percakapan tentang kampung’,
‘percakapan tentang kota’,
‘percakapan tentang negara’,
‘percapakan tentang wanita’,
‘percakapan tentang lelaki’,
‘percakapan di sudut-sudut jalanan’,
‘percakapan tentang hantu-hantu jaman dahulu’,
‘percakapan yang tidak ada ujung pangkalnya’,
‘spekulasi tentang terciptanya daratan’,
‘spekulasi tentang terciptanya lautan’,
‘percakapan tentang perwujudan dan bukan perwujudan (eksistensi dan non eksistensi);
‘namun seorang Bhikkhu menahan diri dari percakapan-percakapan yang rendah semacam itu.
Inilah sila yang dimilikinya.

(22)53— ‘Meskipun beberapa petapa Brahmana hidup dari makanan yang disedikanan oleh umat yang berbakti, mereka disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam kata-kata perdebatan, seperti:
‘Bagaimana seharusnya engkau mengerti Dhamma Vinaya ini?’
‘Engkau menganut pandangan-pandangan keliru, tetapi aku menganut pandangan-pandangan benar’,
‘Aku berbicara langsung pada pokok persoalan, tetapi engkau tidak berbicara langsung pada pokok persoalan’,
‘Engkau membicarakan di bagian akhir tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian permulaan; dan membicarakan di bagian permulaan tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian akhir’,
‘Apa yang lama telah engkau persiapkan untuk dibicarakan, semuanya itu telah usang’,
‘Kata-kata bantahanmu itu telah ditentang, dan engkau ternyata salah’,
‘Berusahalah untuk menjernihkan pandangan-pandanganmu; namun’,
‘seorang Bhikkhu menahan diri dari kata-kata perdebatan semacam itu’,
‘Inilah sila yang dimilikinya’.

(23)54— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih berlaku sebagai pembawa berita, pesuruh dan bertindak sebagai perantara dari raja-raja, menteri-menteri negara, kesatria, Brahmana,orang berkeluarga atau pemuda-pemuda,yang berkata: “Pergilah ke sana, pergilah ke situ, bawalah ini, ambilkan itu dari sana’; namun, seorang Bhikkhu menahan diri dari tugas-tugas sebagai pembawa berita, pesuruh dan perantara semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’

(24)55— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih melakukan tindakan-tindakan penipuan dengan cara: merapalkan kata-kata suci, meramal tanda-tanda dan mengusir dengan tujuan memperoleh keuntungan setelah memperlihatkan sedikit kemampuannya; namun seorang Bhikkhu menahan diri dari tindakan-tindakan penipuan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’

(25)56— “Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disedikan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti:
‘meramal dengan melihat guratan-guratan tangan’,
‘meramal melalui tanda-tanda dan alamat-alamat’,
‘menujumkan sesuatu dari halilintar atau keanehan-keanehan benda langit lainnya’,
‘meramal dengan mengartikan mimpi-mimpi’,
‘meramal dengan melihat tanda-tanda pada bagian tubuh’,
‘meramal dari tanda-tanda pada pakaian yang digigit tikus’,
‘mengadakan korban pada api’,
‘mengadakan selamatan yang dituang dari sendok’,
‘memberikan persembahan dengan sekam untuk dewa-dewa’,
‘memberikan persembahan dengan bekatul untuk dewa-dewa’,
‘memberikan persembahan dengan mentega untuk dewa-dewa’,
‘memberikan persembahan dengan minyak untuk dewa’,
‘mempersembahkan biji wijen dengan menyemburkannya dari mulut ke api’,
‘mengeluarkan darah dari lutut kanan sebagai tanda persembahan kepada dewa-dewa’,
‘melihat dan meramalkan apakah orang itu mujur, beruntung atau sial’,
‘menentukan apakah letak rumah itu baik atau tidak’,
‘menasehati cara-cara pengukuran tanah’,
‘mengusir setan-setan di kuburan’,
‘mengusir hantu’,
‘[menggunakan] mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah’,
‘[menggunakan] mantra untuk kelajengking’,
‘[menggunakan] mantra tikus’,
‘[menggunakan] mantra burung’,
‘[menggunakan] mantra burung gagak’,
‘[menggunakan] meramal umur’,
‘[menggunakan] mantra melepas panah’,
‘[memamerkan] keahlian untuk mengerti bahasa binatang;
‘namun seorang Bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-limu rendah semacam itu’.

Inilah sila yang dimilikinya”.

(26)57— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti:
‘pengetahuan tentang tanda-tanda atau alamat-alamat baik atau buruk dari benda-benda, yang menyatakan kesehatan atau keberuntungan dari pemiliknya, seperti: batu-batu permata, tongkat, pedang, panah, busur, senjata-senjata lainnya; wanita, laki-laki, anak lelaki, anak perempuan, budak lelaki, budak perempuan gajah, kuda, kerbau , sapi jantan, sapi betina, burung nasar, kura-kura, dan binatang-binatang lainnya’,
‘namun, seorang Bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu’.

‘Inilah sila yang dimilikinya.’

(27)58— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramal dengan akibat: pemimpin akan maju, pemimpin akan mundur, pemimpin kita akan menyerang dan musuh-musuh akan mundur, pemimpin musuh akan menyerang dan pemimpin kita akan mundur, pemimpin kita akan menang dan pemimpin musuh akan kalah, pemimpin musuh akan menang dan pemimpin kita akan kalah; jadi kemenangan ada di pihak ini dan kekalahan ada di pihak itu;
‘namun seorang Bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu.
Inilah sila yang dimilikinya.

(28)59— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan adanya gerhana bulan, gerhana matahari, gerhana bintang, matahari atau bulan akan menyimpang dari garis edarnya, matahari atau bulan akan kembali pada garis edarnya, adanya bintang yang menyimpang dari garis edahnya, bintang akan kembali pada garis edarnya, meteor jatuh, hutan terbakar, gempa bumi, halilintar, matahari, bulan dan bintang akan terbit, terbenam, bersinar dan suram; atau meramalkan lima belas gejala tersebut akan terjadi yang akan mengakibatkan sesuatu’;
‘namun seorang Bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu rendah semacam itu.
Inilah sila yang dimilikinya.’

(29)60— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan turun hujan yang berlimpah-limpah, turun hujan yang tidak mencukupi, hasil panen yang baik, masa paceklik (kekurangan bahan makanan), keadaan damai, keadaan kacau, akan terjadi wabah sampar, musim baik; meramal dengan menghitung jari, tanpa menghitung jari; ilmu menghitung jumlah besar, menyusun lagu, sajak, nyanyian rakyat yang popular dan ada kebiasaan’;
‘namun, seorang Bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu’.
‘Inilah sila yang dimilikinya’.

(30)61— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti:
‘mengatur hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk dibawa pulang’,
‘mengatur hari baik baik mempelai pria atau wanita untuk dikirim pergi’,
‘menentukan saat baik untuk menentukan perjanjian damai (atau mengikat persaudaraan dengan menggunakan mantra) ’,
‘menentukan saat yang baik untuk meletuskan permusuhan’,
‘menentukan saat baik untuk menagih hutang’,
‘menentukan saat baik untuk memberi pinjaman’,
‘menggunakan mantra untuk membuat orang beruntung’,
‘menggunakan mantra untuk membuat orang sial’,
‘menggunakan mantra untuk menggugurkan kandungan’,
‘menggunakan mantra untuk mendiamkan rahang seseorang’,
‘menggunakan mantra untuk membuat orang lain mengangkat tangannya’,
‘menggunakan mantra untuk menimbulkan ketulian’,
‘mencari jawaban dengan melihat-lihat kaca ajaib’,
‘mencari jawaban melalui seorang gadis yang kerasukan’,
‘mencari jawaban dari dewa’,
‘memuja matahari memuja maha ibu (dewa tanah) ’,
‘mengeluarkan api dari mulut, memohon kepada dewi Sri atau dewi keberuntungan’,

‘namun, seorang Bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu’.

‘Inilah sila yang dimilikinya’.

(31)62— ‘Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti:
‘berjanji akan memberikan persembahan-persembahan kepada para dewa apabila keinginan nya terkabul’,
‘melaksanakan janji-janji semacam itu’,
‘mengucapkan mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah’,
‘mengucapkan mantra untuk menimbulkan kejantanan’,
‘mengucapkan mantrea untuk membuat pria menjadi impotent’,
‘menentukan letak yang tepat untuk membangun rumah’,
‘mengucapkan mantra untuk membersihkan tempat’,
‘melakukan upacara pembersihan mulut’,
‘melakukan upacara mandi’,
‘mempersembahkan korban’,
‘memberikan obat bersin untuk mengobat sakit kepala’,
‘meminyaki telinga orang lain’,
‘merawat mata mata orang’,
‘memberikan obat melalui hidung’,
‘memberi collyrium (minyak mata bukan obat) di mata’,
‘memberikan obat tetes pada mata’,
‘menjalankan praktek sebagai okultis’,
‘menjalankan praktek sebagai dokter anak-anak’,
‘meramu obat-obatan dari bahan-bahan akar-akaran’,
‘membuat obat-obatan’;
‘namun seorang Bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu’,
‘Inilah sila yang dimilikinya’.

(32)63— ’Kevaddha, selanjutnya seorang Bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat adanya bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenan dengan pengendalian terhadap sila’,
‘Kevaddha, sama seperti seorang kesatria yang patut dinobatkan menjadi raja, yang musuh-musuh telah di kalahkan, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan musuh-musuh; demikian pula, seorang Bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian-sila.
‘Dengan memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan suatu kebahagiaan murni (anavajja sukkham). Kevaddha, demikianlah seorang Bhikkhu yang memiliki sila sempurna”.

(33)64— ’Kevaddha, bagaimanakah seorang Bhikkhu memiliki penjagaan atas pintu-pintu inderanya?
‘Kevaddha, bilamana seorang Bhikkhu melihat suatu obyek dengan matanya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya [sebagian] Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penglihatannya, Ia menjaga indera penglihatannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengelihatannya.
‘Bilamana ia mendengar suara dengan telinganya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pendengarnya. Ia menjaga indera pendengarannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pendengarannya.
Bilamana ia mencium bau dengan hidungnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penciumannya. Ia menjaga indera penciumannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera penciumannya.
Bilamana ia mengecap rasa lidahnya, Ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pengecapannya. Ia menjaga indera pengecapannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengecapannya.
Bilamana ia merasakan suatu sentuhan dengan tubuhnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera perabanya. Ia menjaga indera perabanya, dan memiliki pengendalian terhadap indera perabanya.
Bilamana ia mengetahui sesuatu (Dhamma) dengan pikirannya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk; keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera pikirannya. Ia menjaga indera pikirannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pikirannya.
Dengan memiliki pengendalian diri yang mulia ini terhadap indera-inderanya, ia merasakan suatu kebahagiaan yang tidak dapat diterobos oleh noda apapun. Kevaddha, demikianlah seorang Bhikkhu yang memiliki pengendalian atas pintu-pintu inderanya’

(34)65— ’Kevaddha, bagaimankah seorang Bhikkhu memilki perhatian-seksama dan pengerti jelas?
‘Kevaddha, dalam hal ini seorang Bhikkhu mengerti dengan jelas sewaktu ia pergi atau sewaktu kembali; ia mengerti denganjelas sewaktu melihat ke depan atau melihat ke samping; ia mengerti dengan jelas sewaktu mengenakan jubah atas (sanghati), jubah luar (civara) atau mengambil mangkuk-makan (patta); ia mengerti dengan jelas sewaktu makan, minum, mengunyah atau menelan; ia mengerti dengan jelas sewaktu buang air atau sewaktu kencing; ia mengerti dengan jelas sewaktu dalam keadaan berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun, berbicara atau diam. Kevaddha, demikianlah seorang Bhikkhu yang memiliki perhatian seksama murni dan pengertian jelas’

(36)66— ’Kevaddha, bagaimanakah seorang Bhikkhu merasa puas? Kevaddha, dalam hal ini seorang Bhikkhu merasa puas dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Dan kemana pun ia akan pergi, ia pergi hanya dengan membawa hal-hal ini. Kevaddha, sama seperti seekor burung dengan sayapnya, ke manapun akan terbang, burung itu terbang hanya dengan membawa sayapnya. Kevaddha, demikian pula seorang Bhikkhu merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Maka, ke mana pun ia akan pergi, ia hanya dengan membawa hal-hal ini. Kevaddha, demikianlah seorang Bhikkhu merasa puas’

(37)67— ’Setelah memiliki kelompok sila yang mulia ini, memiliki pengendalian terhadap indera-indera yang mulia ini, memiliki perhatian seksama dan pengertian jelas yang mulia ini, memiliki kepuasan yang mulia ini, ia memilih tempat-tempat sunyi di hutan, di bawah pohon, di lereng bukit, di celah gunung, di gua karang, di tanah-kubur, di dalam hutan lebat, di lapangan terbuka, di atas tumpukan jerami untuk berdiam. Setelah pulang dari usahanya mengumpulkan dana makanan dan selesai makan; ia duduk bersila, badan tegak, sambil memusatkan perhatiannya ke depan’.

(38)68— ’Dengan menyingkirkan kerinduan terhadap dunia, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari kerinduan, membersihkan pikirannya dari nafsu-nafsu. Dengan menyingkirkan itikad jahat, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari itika jahat, dengan pikiran bersahabat serta penuh kasih sayang terhadap semua makhluk, semua yang hidup, ia membersihkan pikirannya dari itikad jahat.
‘Dengan menyingkirkan kemalasan dan kelambanan, ia berdiam dalam keadaan bebas dari kemalasan dan kelambanan; dengan memusatkan perhatiannya pada pencerapan terhadap cahaya (alokasanni), ia membersihkan pikirannya dari kemalasan dan kelambanan.
‘Dengan menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatiran, ia berdiam bebas dari kekacauan; dengan batin tenang, ia membersihkan pikirannya dari kegelisahan dan kekhawatiran.
‘Dengan menyingkirkan keragu-raguan,ia berdiam mengatasi keragu-raguan; dengan tidak lagi ragu-ragu terhadap apa yang baik, ia membersihkan pikirannya dari keragu-raguan’.

(39)69— ’Kevaddha, sama halnya seperti seseorang, yang setelah berhutang, ia berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja ia mampu membayar kembali pinjaman hutangnya,tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri. Lalu ia berpikir: ‘Dahulu aku berhutang dan berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja aku dapat membayar kembali pinjaman hutangku, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri”. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu’.

(40)70— ’Kevaddha, sama halnya seperti seorang yang diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaannya, tidak dapat mencerna makanannya, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam dirinya; namun setelah beberapa waktu ia sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanannya sehingga kekuatannya pulih. Lalu ia berpikir: ‘Dahulu aku diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaanku, tidak dapat mencerna makananku, sehinga tidak ada lagi kekuatan dalam diriku; namun, sekarang aku telah sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanan sehingga kekuatanku pulih’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu’.

(41)71— ’Kevaddha, sama halnya seperti seorang yang ditahan dalam rumah penjara, dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari tahanannya, aman dan sehat, barang-barangnya tidak ada yang dirampas. Lalu ia berpikir: ‘Dahulu aku ditahan dalam rumah penjara, dan sekarang aku telah bebas dari tahanan, aman dan sehat, barang-barangku tidak ada yang dirampas’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu’

(42)72— ’Kevaddha, sama halnya seperti seseorang yang menjadi budak, bukan tuan bagi dirinya sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana ia suka; dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari perbudakan itu, menjadi tuan bagi dirinya sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas pergi ke mana ia suka. Lalu ia berpikir: ‘Dahulu aku seorang budak, bukan tuan bagi diriku sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana aku suka; dan sekarang aku telah bebas dari perbudakan, menjadi tuan bagi diriku sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas, bebas ke mana aku suka’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu.’

(43)73— ’Kevaddha, sema halnya seperti seorang yang dengan membawa kekayaan dan barang-barang, melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan setelah beberapa waktu ia berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desanya, suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya. Lalu ia berpikir: ‘Dahulu, dengan membawa kekayaan dan barang-barang, aku melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan sekarang akut elah berhasil keluar daripadang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desaku, suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu’.

(44)74-- ’Kevaddha, demikianlah selama lima rintangan-batin (panca nivarana) belum disingkirkan, seorang Bhikkhu merasakan dirinya seperti orang yang berhutang, terserang penyakit, dipenjara, menjadi budak, melakukan perjalanan di padang pasir. Kevaddha, tetapi setelah lima rintangan batin itu disingkirkan, maka seorang Bhikkhu merasa dirinya seperti orang yang telah bebas dari hutang, bebas dari penyakit, keluar dari penjara, bebas dari pebudakan, sampai di tempat yang aman.

(45)75— ’Apabila ia menyadari bahwa lima rintangan batin itu telah disingkirkan dari dalam dirinya, maka timbullah kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti), karena batin tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa nyaman, karena tubuh menjadi nyaman, maka ia merasa bahagia, karena bahagia, maka pikirannya menjadi terpusat. Kemudian, setelah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk dan berdiam dalam Jhana pertama; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (piti sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai dengan pengarahan pikiran pada obyek (vitakka) dan mempertahankan pikiran pada obyek (vicara).
‘Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari kebebesan (viveka).

(46)76— ’Kevaddha, sama halnya seperti tukang memandikan yang pandai atau pembantunya akan menebarkan bubuk sabun wangi dalam sebuah mangkuk logam, memercikinya dengan air setetes demi setetes dan kemudian ia meramasnya bersama sehingga bubukan sabun itu dapat menyerap seluruh cairan; dibasahi, diserapi dan diliputi dengannya, baik dalam maupun luar, dan tidak ada yang mengalir keluar’.
‘Kevaddha, demikian pula Bhikkhu itu seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia,yang timbul dari kebebasan itu’.
‘Kevaddha, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu’.

(47)77— ’Kevaddha, selanjutnya seorang Bhikkhu yang telah membebaskan diri dari vitakka dan vicara, memasuki dan berdiam dalam Jhana kedua; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan vitakka dan vicara, keadaan batin yang memusat. Demikianlah seluruh tubuhnya di penuhi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari konsentrasi, dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari konsentrasi’.

(48)78— ’Kevaddha, bagaikan sebuah kolam yang dalam, yang mempunyai sumber air di bawahnya, tanpa lubang masuk dari timur atau barat, waktu ke waktu tidak turun hujan; namun arus air yang sejuk, yang berasal dari sumber itu akan tetap memenuhi, menggenangi, meresapi dan meliputi kolam itu, sehingga tidak ada satu bagian pun dari kolam itu, yang tidak diliputi oleh air yang sejuk itu’
‘Kevaddha, demikian pula Bhikkhu itu seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari konsentrasi; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari konsentrasi itu’.
‘Kevaddha, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu’.

(49)79— ’Kevaddha, selanjutnya seorang Bhikkhu yang telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, berdiam dalam keadaan seimbang yang disertai dengan perhatian murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh para ariya sebagai ‘kebahagiaan yang dikatakan oleh para ariya sebagai ‘kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan penuh perhatian murni’; ia memasuki dan berdiam dalam Jhana ketiga.
‘Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur itu’

(50)80— ’Kevaddha, seperti dalam sebuah kolam yang berisi bunga-bunga teratai: merah, putih atau biru, yang beberapa di antaranya bunga-bunga teratai merah, putih atau biru yang bersemi dalam air, tumbuh dalam air, tidak muncul di atas permukaan air serta menghisap makanan dari dalam air itu adalah dipenuhi, digenangi diresapi serta diliputi dengan air dingin: sehingga tidak ada satu bagian pun dari bunga-bunga teratai merah, putih atau biru itu mulai dari ujung daun sampai ke akarnya yang tidak diliputi dengannya’.
‘Kevaddha, demikian pula Bhikkhu itu seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur itu’.
‘Kevaddha, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu’.

(51)81— ’Kevaddha, selanjutnya dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, Bhikkhu itu memasuki dan berdiam dalam Jhana seimbang, yang memilki perhatian seksama yang suci (satiparisuddhi), bebas dari perasaan bahagia dan tidak bahagia. Demikianlah ia duduk di sana, meliputi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih’.

(52)82— ‘Kevaddha, sama seperti seorang yang sedang duduk, diselubungi denganjubah putih mulai dari kepala sampai ke kaki, sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak bersentuhan dengan jubah putih itu’.
‘Kevaddha, demikian pula Bhikkhu itu duduk di sana, meliputi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi dengan perasaan batin yang bersih dan jernih itu’.
‘Kevaddha, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu’.
(53)83--’ ‘Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dantidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari pengetahuan karena pengalaman (ñäna dassana). Demikianlah ia mengerti: ‘tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri atas empat unsur pokok (mahabhuta rupa), berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran, dan kematian; begitu pula halnya dengan kesadaran (vinñäna) yang terikat dengannya’.

(54)84— ’Kevaddha, sama seperti halnya dengan permata veluriya, yang gemerlapan, bersih, mempunyai delapan sudut yang terpotong rapi, jernih, murni, tanpa cacat, sempurna dalam keadaan apa pun. Di tengahnya dimasuki seutas benang, yang berwarna biru, jingga, merah, putih atau kuning. Seandainya seseorang yang memiliki mata meletakannya di atas tangannya, maka ia akan merenung: ‘Permata veluriya ini adalah gemerlapan, bersih, mempunyai delapan sudut yang terpotong rapi, jernih, murni, tanpa cacat, sempurna dalam keadaan apa pun. Sekarang permata itu diikatkan pada seutas benang yang berwarna biru, jingga, merah, putih atau kuning.’
‘Kevaddha, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari pengetahuan. Demikianlah ia mengerti: ‘Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri empat unsur pokok, berasal ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran dan kematian. Begitu pula halnya dengan kesadaranku yang terikat dengannya’.
‘Kevaddha, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.’

(55)85— ’Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan tubuh-ciptaan-batin (mano-maya-kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan tubuh-ciptaan-batin melalui pikirannya; yang memiliki bentuk, memilki anggauta-anggauta dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu apapun’.

(56)86— ‘Kevaddha, sama seperti halnya seseorang menarik sebatang ilalang keluar dari pelepahnya. Maka ia akan mengerti: ‘Inilah ilalang, inilah pelepah. Ilalang adalah satu hal. Pelepah adalah hal yang lain. Adalah dari pelepah bahwasanya ilalang itu telah ditarik ke luar’.
‘Kevaddha, sama seperti halnya seorang mengeluarkan ular dari selongsongnya. Maka ia akan tahu: ‘Inilah ular, inilah selonsong. Ular adalah satu hal, selongsong adalah hal yang lain. Adalah dari selongsong adalah hal lain. Dari selongsong, ular itu telah dikeluarkan’.
‘Kevaddha, sama seperti halnya seseorang menghunus pedang dari sarungnya. Maka ia akan tahu: ‘Inilah pedang, inilah sarung pedang, Pedang adalah satu hal, sarung pedang adalah hal yang lain. Dari sarung pedang, pedang itu telah dihunus’.
‘Kevaddha, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan tubuh-ciptaan-batin (mano maya kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan ‘tubuh ciptaan batin melalui pikirannya; yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun’.
‘Kevaddha, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu’.

(57)87-- ’Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan; ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk perbuatan-perbuatan gaib (iddhi), Ia melakukan iddhi dalam aneka ragam bentuknya: dari satu ia menjadi banyak, atau dari banyak kembali menjadi satu; ia menjadikan dirinya dapat dilihat atau tidak dapat dilihat; tanpa merasa terhalang, ia berjalan menembusi dinding, benteng atau gunung, seolah-olah berjalan melalui ruang kosong; ia menyelam dan timbul melalui tanah, seolah-olah berjalan di atas tanah; dengan duduk bersila ia melayang laying di udara, seperti seekor burung dengan sayapnya; dengan tangan ia dapat menyentuh dan meraba bulan dan matahari yang dahsyat dan perkasa; ia dapat pergi mengunjungi alam-alam dewa Brahma dengan membawa tubuh kasarnya’.

(58)88— ’Kevaddha, sama seperti halnya seorang pembuat barang-barang tembikar atau pembantunya, dapat membuat, berhasil menciptakan berbagai bentuk barang tembikar yang mengkilap menurut keinginannya’.
‘Kevaddha, sama seperti halnya pemahat gading atau pembantunya, dapat memilih gading serta berhasil memahatnya menjadi berbagai bentuk pahatan-gading menurut keinginannya’.
‘Kevaddha, sama seperti halnya tukan gemas atau pembantunya, dapat menjadikan, berhasil membuat berbagai bentuk barang dari emas, menurut keinginannya’.
‘Kevaddha, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk kemampuan batin fisik (iddhi).
Demikianlah ia melakukan iddhi dalam aneka ragam bentuknya: dari satu ia menjadi banyak, atau dari banyak kembali menjadi satu; ia menjadikan dirinya dapat dilihat atau tidak dapat dilihat; tanpa merasa terhalang, ia berjalan menembus dinding, benteng atau gunung, seolah olah berjalan melalui ruang kosong; Ia menyelam dan timbul melalui tanah, seolah-olah berenang, seolah-olah berjalan di atas tanah; dengan duduk bersila ia melayang-layang di udara, seperti seekor burung dengan sayapnya; dengan tangan ia dapat menyentuh dan meraba bulan dan matahari yang begitu dahsyat dan perkasa; ia pergi mengunjungi alam-alam dewa Brahma dengan membawa tubuh kasarnya’.
‘Kevaddha, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu’.

(59)89— ’Dengan pikirannya yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan mendengar sebagai telinga dewa (dibbasota). Dengan kemampuan-kemampuan dibbasotta yang jernih, yang melebihi telinga manusia, ia mendengar suara-suara manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat’.

(60)90— Kevaddha, sama seperti halnya seseorang yang sedang berada di jalan raya, dapat mendengar suara genderang besar, suara tembur, suara tiupan terompet kulit kerang, suara genderang kecil. Maka ia akan tahu: ‘Inilah suara genderang besar, ini suara tambur, ini suara tiupan terompet kulit kerang, ini suara gendering kecil’.
‘Kevaddha, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan dibbasotta (telinga dewa). Dan dengan kemampuan-kemampuan dibbasotta yang jernih, yang melebihi telinga manusia, ia mendengar suara-suara manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat.’
‘Kevaddha, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.’

(61)91— ’Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan mengetahui pikiran orang lain (cetopariyañäna). Dengan pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain atau pikiran orang-orang lain.
Ia mengetahui:
‘Pikiran yang disertai sebagai pikiran yang disertai nafsu’.
‘Pikiran tanpa nafsu sebagai tanpa nafsu’.
‘Pikiran yang disertai kebencian sebagai pikiran yang disertai kebencian’.
‘Pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian’.
‘Pikiran yang disertai ketidaktahuan sebagai pikiran yang disertai ketidaktahuan’.
‘Pikiran tanpa ketidaktahuan sebagai pikiran tanpa ketidaktahuan’.
‘Pikiran yang teguh sebagai pikiran yang teguh’.
‘Pikiran yang ragu-ragu sebagai pikiran yang ragu-ragu’.
‘Pikiran yang berkembang sebagai pikiran yang berkembang’.
‘Pikiran yang tidak berkembang sebagai pikiran yang tidak berkembang’.
‘Pikiran yang rendah sebagai pikiran yang rendah’.
‘Pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur’.
‘Pikiran yang terpusat sebagai pikiran yang terpusat’.
‘Pikiran yang berhamburan (kacau) sebagai pikiran yang berhamburan (kacau)’.
‘Pikiran yang bebas sebagai pikiran yang bebas’.
‘Pikiran yang tidak bebas sebagai pikiran yang tidak bebas.’

(62)92— ‘Kevaddha, sama halnya seperti seorang wanita, lelaki atau anak kecil, yang ingin memperindah diri dengan melihat wajahnya pada permukaan sebuah kaca yang bersih dan jernih atau pada sebuah tempayan yang berisikan air jernih; maka apabila wajahnya memiliki tahi lalat, ia tahu bahwa wajahnya memiliki tahi lalat; apabila wajahnya tidak memiliki tahi lalat, ia tahu bahwa wajahnya tidak memiliki tahi lalat.’
‘Kevaddha, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto pariyañäna (pengetahuan mengetahui pikiran orang lain). Dengan menembus melalui pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain, pikiran orang-orang lain dan ia mengetahui:
‘Pikiran yang disertai nafsu sebagai pikiran yang disertai nafsu’.
‘Pikiran tanpa napsu sebagai pikiran tanpa nafsu’.
‘Pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian’.
‘Pikiran yang disertai ketidaktahuan sebagai pikiran yang disertai ketidaktahuan’.
‘Pikiran tanpa ketidaktahuan sebagai pikiran tanpa ketidaktahuan’.
‘Pikiran yang teguh sebagai pikiran yang teguh’.
‘Pikiran yang ragu-ragu sebagai pikiran yang ragu-ragu’.
‘Pikiran yang berkembang sebagai pikiran yang berkembang’.
‘Pikiran yang tidak berkembang sebagai pikiran yang tidak berkembang’.
‘Pikiran yang rendah sebagai pikiran yang rendah’.
‘Pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur’.
‘Pikiran yang terpusat sebagai pikiran yang terpusat’.
‘Pikiran yang berhamburan (kacau) sebagai pikiran yang berhamburan (kacau)’.
‘Pikiran yang bebas sebagai pikiran yang bebas’.
‘Pikiran yang tidak bebas sebagai pikiran yang tidak bebas’.

‘Kevaddha, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu’.

(63)93— ‘Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang kemampuan mengingat kelahiran-kelahiran lampau (pubbenivasanussati).
Demikialah ia ingat tentang bermacam-macam kelahirannya yang lampau, seperti: satu kelahiran, dua kelahiran, sepuluh kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, melalui banyak masa perkembangan menjadi bumi (samvatta-kappa), melalui banyak masa perkembangan-kehancuran bumi (samvata-vivatta-kappa). ‘Di suatu tempat demikian, suku bangsaku adalah demikian aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku berlalu dari keadaan itu, aku lahir kembali di suatu tempat demikian: di sana namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu, kemudian aku lahir kembali di sini’. Demikianlah ia mengingat kembali tentang bermacam-macam kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk beluknya dalam seluruh macamnya’.

(64)94— ‘Kevaddha, sama halnya seperti seseorang yang pergi dari desanya menuju ke lain desa, dan dari desa itu ia pergi ke desa lainnya lagi, serta dari desa itu ia pulang kembali ke desanya sendiri; maka ia akan tahu: ‘Dari desaku sendiri, aku pergi ke lain desa. Di sana aku berdiri di tempat-tempat demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian. Dari tempat itu aku datang ke desa lainnya; di sana aku berdiri di tempat-tempat demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian. Dan sekarang, dari desa itu aku pulang ke desaku sendiri!.
‘Kevaddha, demikian pula dengan pikirannya yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang pubbenivasanussati (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Demikianlah ia ingat tentang bermacam-macam kelahirannya yang lampau, seperti: satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, duapuluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, melalui banyak masa-perkembangan (samvatta kappa), melalui banyak masa kehancuran (vivatta-kehancuran), dan melalui banyak masa perkembangan kehancuran (samvata-vivatta-kappa). ‘Di suatu tempat kelahiran, namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku berlalu dari keadaan itu, aku lahir kembali di suatu tempat demikian; di sana, namaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu, kemudian aku lahir kembali di sini’.
Demikianlah ia mengingat kembali tentang bermacam-macam kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk beluknya, dalam seluruh macamnya.’
‘Kevaddha, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu’.

(65)95— ‘Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya mahkluk-makhluk (cutupapatta ñäna).
Dengan kemampuan mata dewa (dibbacakkhu) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk makhluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya: ‘Saudara, makhluk-makhluk ini memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang jahat, penghina para suci, pengikut pandangan-pandangan keliru, dan melakukan perbuatan menurut pandangan keliru. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati mereka terlahir kembali dalam alam celaka, alam sengsara, alam neraka. Tetapi, makhluk-makhluk yang lain, saudara, memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang baik, bukan penghina para suci, pengikut pandangan-pandangan bensar dan melakukan perbuatan menurut pandangan benar. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam bahagia, alam surga’.
Demikianlah, dengan kemampuan dibbacakku yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah jelek, bahagia dan menderita’.

(66)96— ‘Kevaddha, sama halnya seperti di sana terdapat sebuah rumah bertingkat, terletak di suatu tempat yang menghadap ke perempatan jalan; dan seandainya seseorang yang memilki mata berdiri di atasnya, mengamati orang-orang memasuki rumah, keluar dari rumah, berjalan hilir mudik sepanjang jalan, duduk di tengah perempatan jalan; maka ia akan tahu: ‘Orang-orang itu memasuki rumah; orang-orang itu keluar dari rumah; orang-orang itu berjalan hilir mudik sepanjang jalan; orang-orang itu duduk di tengah perempatan jalan’.
‘Kevaddha, demikian pula dengan pikirannya yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk (cutupapata ñäna). Dan dengan kemampuan mata dewa (dibbacakku) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk-makhluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya: ‘Saudara, makhluk-makhluk ini memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang jahat, penghina para suci, pengikut pandangan-pandangan keliru, dan melakukan perbuatan-perbuatan menurut pandangan-pandangan keliru.
Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam cela, alam sengsara, alam neraka. Tetapi, makhluk-makhluk lain, saudara, memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang baik, bukan penghina para suci, pengikut perbuatan menurut tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam bahagia, alam surga. Demikianlah, dengan kemampuan mata dewa (dibbacakkhu) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita’.
‘Kevaddha, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang peta dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu’.
(67)97— ‘Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda batin (asava).
Demikianlah,
‘ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah dukkha’.
‘Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah sebab dukkha’.
‘Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah akhir dukkha’.
‘Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya dukkha’.
‘Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah asava’.
‘Ia mengetahui sebagaimana adanya: Inilah akhir akhir asava’.
‘Ia mengetahui sebagaimana adanya: Inilah jalan yang menuju pada lenyapnya asava’.
‘Dengan mengetahui, melihat demikian, maka pikirannya terbebas dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda perwujudan (bhavasana) dan noda-noda ketidaktahuaan (avijjasava). Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya, dan ia mengetahui: ‘Berakhirlah kelahiran kembali, terjalani kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini’.
‘Kevaddha, inilah yang disebut keajaiban ajaran (anusasani-patiariya).’

(68) (67)— ‘Kevaddha, inilah tiga keajaiban yang telah saya mengerti dan realisasikan serta telah saya ajarkan kepada orang lain.
Pada suatu ketika di antara para Bhikkhu sangha ada seorang Bhikkhu yang menjadi ragu-ragu tentang: ‘Ke manakah empat unsur (mahabhutarupa) padat, cair, panas dan udara lenyap, tanpa meninggalkan bekas.’ Kevaddha, Bhikkhu itu mengembangkan batinnya dengan melakukan meditasi hingga ia mencapai tingkat meditasi tertentu dan memiliki kemampuan batin untuk mengunjungi alam para dewa.

(69)(68)— ‘Kevaddha, kemudian Bhikkhu itu pergi ke alam surga Catummaharajika, dan bertanya kepada para dewa: ‘Kawan-kawan, ke mana empat unsur itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?
Ketika ia telah berkata seperti itu, para dewa di alam surga Catummaharajika menjawab: ‘Bhikkhu, kami pun tidak tahu. Namun ada Empat Raja Dewa yang lebih tinggi dan berkuasa daripada kami. Mereka mengetahuinya.

(70)(69) ‘Kevaddha, Bhikkhu itu pergi menemui Empat Raja Dewa dan bertanya: ‘Saudara-saudara, ke mana empat unsur itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?
Ketika ia telah berkata seperti itu, Empat Raja Dewa di alam surga Catummaharajika menjawab: ‘Bhikkhu, kami pun tidak tahu. Namun ada para dewa di alam surga Tavatimsa yang lebih tinggi dan berkuasa daripada kami. Mereka mengetahuinya.’

(71)(70) ‘Kevaddha, Bhikkhu itu pergi menemui para dewa di alam surga Tavatimsa dan bertanya: ‘Saudara-saudara, ke mana empat unsur itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?
Ketika ia telah berkata seperti itu, para dewa di alam surga Tavatimsa menjawab: ‘Bhikkhu, kami pun tidak tahu. Namun ada Sakka, raja para dewa alam surga Tavatimsa, yang lebih tinggi dan berkuasa daripada kami. Ia mengetahuinya.’

(72)(71)— ‘Kevaddha, Bhikkhu itu pergi menemui Sakka, raja dewa dan bertanya: ‘Saudara ke mana empat unsur itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?
Ketika ia telah berkata seperti itu, Sakka, raja dewa menjawab: ‘Bhikkhu, saya pun tidak tahu. Namun ada para dewa di alam surga Yama yang lebih tinggi dan berkuasa daripada kami. Mereka mengetahuinya.’

(73)(72)— ‘Kevaddha, Bhikkhu itu pergi menemui para dewa di alam surga Yama dan bertanya: ‘Saudara-saudara, ke mana empat unsur itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?
Ketika ia telah berkata seperti itu, para dewa di alam surga Yama menjawab: ‘Bhikkhu, kami pun tidak tahu. Namun ada dewa Suyama, raja para dewa di alam surga Yama, yang lebih tinggi dan berkuasa daripada kami. Ia mengetahuinya.’

(74)(73)— ‘Kevaddha, Bhikkhu itu pergi menemui Suyama, raja para dewa alam surga Yama dan bertanya: ‘Saudara-saudara, ke mana empat unsur itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas? Ketika ia telah berkata seperti itu, Suyama, raja para dewa di alam surga Yama menjawab: ‘Bhikkhu, saya pun tidak tahu. Namun ada para dewa di alam surga Tusita yang lebih tinggi dan berkuasa daripada kami. Mereka mengetahuinya.’

(75)— ‘Kevaddha, Bhikkhu itu pergi menemui para dewa di alam dewa surga Tusita dan bertanya: ‘Saudara-saudara, ke mana empat unsur itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?
Ketika ia telah berkata seperti itu, para dewa di alam surga Tusita menjawab: ‘Bhikkhu, kami pun tidak tahu. Namun ada Santusita dewa-putta yang lebih tinggi dan berkuasa daripada kami. Ia mengetahuinya.’

(76)— ‘Kevaddha, Bhikkhu itu pergi menemui Santusita, raja para dewa alam surga Tusita, dan bertanya: ‘Saudara, ke mana empat unsur itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?
Ketika ia telah berkata seperti itu, Santusita, raja para dewa alam surga Tusita, menjawab: ‘Bhikkhu, saya pun tidak tahu. Namun ada para dewa di alam surga Nimmanarati yang lebih tinggi dan berkuasa daripada kami. Mereka mengetahuinya.’

(77)— ‘Kevaddha, Bhikkhu itu pergi menemui para dewa di alam surga Nimmanarati dan bertanya: ‘Saudara-saudara, ke mana empat unsur itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?
Ketika ia telah berkata seperti itu, para dewa di alam surga Nimmanarati menjawab: ‘Bhikkhu, kami pun tidak tahu. Namun ada Sunimmita, raja para dewa alam surga Nimmanarati, yang lebih tinggi dan berkuasa daripada kami. Ia mengetahuinya.’

(78)— ‘Kevaddha, Bhikkhu itu pergi menemui Sunimmita, raja para dewa alam surga Nimmanarati, dan bertanya: ‘Saudara, ke mana empat unsur itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?
Ketika ia telah berkata seperti itu, Sunimmita deva-putta menjawab: ‘Bhikkhu, saya pun tidak tahu. Namun ada para dewa di alam surga Paranimmita-vasavatti yang lebih tinggi dan berkuasa daripada kami. Mereka mengetahuinya.’

(79)— ‘Kevaddha, Bhikkhu itu pergi menemui para dewa di alam surga Paranimmita-vasavatti dan bertanya: ‘Saudara-saudara, ke mana empat unsur itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?
Ketika ia telah berkata seperti itu, para dewa di alam surga Paranimmita-vasavatti menjawab: ‘Bhikkhu, kami pun tidak tahu. Namun ada Vasavatti, raja dewa alam surga Parinimmita-vasavatti, yang lebih tinggi dan berkuasa daripada kami. Ia mengetahuinya.’

(80)— ‘Kevaddha, Bhikkhu itu pergi menemui Vasavatti, raja dewa alam surga Parinimmita-vasavatti dan bertanya: ‘Saudara, ke mana empat unsur itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?
Ketika ia telah berkata seperti itu, Vasavatti raja para dewa alam surga Parimmita-vasavatti menjawab: ‘Bhikkhu, saya pun tidak tahu. Namun ada para dewa Brahma yang lebih tinggi dan berkuasa daripada kami. Mereka mengetahuinya.’

(81)— ‘Kevaddha, Bhikkhu itu pergi menemui para dewa di alam Brahma dan bertanya: ‘Saudara-saudara, ke mana empat unsur itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?
Ketika ia telah berkata seperti itu, para dewa di alam Brahma menjawab: ‘Bhikkhu, kami pun tidak tahu. Namun ada Brahma, maha Brahma, maha agung, maha kuasa, maha tahu, penguasa, tuan dari semua, pembuat, pencipta, kepala dari semua, penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula segala sesuatu, ayah dari semua telah ada dan yang akan ada. Ia yang lebih tinggi dan berkuasa daripada kami. Ia mengetahui-nya.’
‘Saudara-saudara, di manakah Maha Brahma itu?’
‘Bhikkhu, kami tidak tahu di mana Brahma berada, ia bagaimana maupun ia ke mana. Bhikkhu, tetapi bila tanda kedatangannya muncul, ketika sinar muncul dan kegemilangan bercahaya, maka ia ada. Karena sinar dan kegemilangan itu merupakan tanda keberadaan Brahma.’

(82)— ‘Kevaddha, tidak lama kemudian Maha Brahma muncul. Bhikkhu itu mendekati beliau dan bertanya: ‘Saudara, ke mana empat unsur dasar (mahabhuta) – padat, cair, panas dan udara- itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?
Ketika ia telah berkata seperti itu, Maha Brahma menjawab: ‘Saya Brahma, maha Brahma, maha agung, maha kuasa, maha tahu, penguasa, tuan dari semua, pembuat, pencipta, kepala dari semua, penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula segala sesuatu, ayah dari semua telah ada dan yang akan ada.’

(83)— ‘Kevaddha, untuk kedua kalinya Bhikkhu itu bertanya kepada Maha Brahma: ‘Saudara, saya tidak bertanya apakah anda adalah Brahma, maha Brahma, maha agung, maha kuasa, maha tahu, penguasa, tuan dari semua, pembuat, pencipta, kepala dari semua, penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula segala sesuatu, ayah dari semua telah ada dan yang akan ada. Tetapi yang saya bertanya : “Ke mana empat unsur dasar (mahabhuta) – padat, cair, panas dan udara- itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?”

(84)— ’Kevaddha, Maha Brahma memberikan jawaban yang sama pula. Bhikkhu itu, untuk ketiga kalinya bertanya kepada Maha Brahma: ‘Saudara, ke mana empat unsur dasar (mahabhuta) – padat, cair, panas dan udara-- itu lenyap, tanpa meninggalkan bekas?’
‘Kevaddha, kemudian Maha Brahma memegang tangan Bhikkhu itu dan membawanya ke sampingnya dan berkata: ‘Bhikkhu, para dewa pengikut Brahma ini berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang tidak saya tidak tahu, tidak ada yang tidak saya mengerti, tidak ada yang saya tidak realisasikan. Maka saya tidak menjawab di depan mereka. Bhikkhu saya tidak tahu ke mana empat unsur-dasar itu pergi, lenyap tanpa bekas. Bhikkhu, anda telah berbuat salah, telah bertindak salah karena anda telah melupakan Bhagava, anda telah bersusah payah mencari tahu hal ini, di antaranya mencari jawaban untuk pertanyaanmu. Sekarang, kembalilah kepada Bhagava, tanyakan pertanyaan kepada beliau, dan terimalah jawaban apa pun yang akan dikatakannya.’

(85)— ‘Kevaddha, kemudian Bhikkhu itu dalam sekejap lenyap dari alam Brahma dan muncul di hadapan saya, ia memberi hormat dan duduk. Setelah duduk ia bertanya kepada saya: "Bhante, ke manakah empat unsur dasar (mahabhuta)–padat, cair, panas dan udara-- lenyap tanpa bekas?’

(86)— ‘Kevaddha, setelah ia berkata, saya menjawab: ’Bhikkhu, pertanyaan itu jangan tanyakan seperti yang kau katakan. Tetapi sebaliknya anda harus bertanya:
'Di manakah unsur padat, cair, panas dan udara, ‘panjang dan pendek, halus dan kasar, ‘bersih dan tak bersih, tidak di temukan?”
‘Di manakah jasmani dan batin dari orang meninggal, pergi tanpa bekas?'
Jawabannya:
'Kebijakan Arahat, yang tak tampak, tanpa akhir, yang dapat dicapai dari beberapa sisi -- Di situlah unsur padat, cair, panas dan udara, panjang dan pendek, kasar dan halus, bersih dan tak bersih, tidak di temukan. Di situlah jasmani dan batin dari orang yang meninggal pergi tanpa bekas.
Bilamana kesadaran lenyap, hal-hal itu pun lenyap.
Di akhir khotbah, Upasaka Kevaddha menjadi senang dan gembira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar