Selasa, 16 Maret 2010

PAYASI

[23]



Demikian telah ku dengar
1— Pada suatu ketika Bhikkhu Kumara Kassapa bersama-sama dengan sekelompok besar bhikkhu-sangha, berjumlah 500 bhikkhu, sedang dalam perjalanan di daerah kerajaan, Kosala, menuju ke sebuah kota dan kerajaan Kosala pula yang bernama kota Setabya, dan ia tinggal di situ, di hutan Sinsapa di sebelah utara Kota. Pada waktu itu pangeran Payasi tinggal di Setabya, kota yang banyak penduduknya, banyak rumput dan hutannya, banyak sawah dan ladang, suatu daerah milik raja yang dihadiahkan kepadanya oleh Raja Pasenadi Kosala, untuk diperintahnya dan dia sendiri yang menjadi raja di daerah itu.

2— Pada waktu itu, muncul pandangan salah pada Pangeran Payasi: "Tidak ada alam (kehidupan) lain, tidak ada makhluk yang lahir tanpa melalui rahim ibu, tidak ada buah atau akibat perbuatan baik maupun perbuatan buruk.
Pada saat itu, para brahmana dan penduduk lainnya mendengar berita: "Pertapa Kumara Kassapa murid Samana Gotama, disertai sekelompok besar bhikkhu, berjumlah 500 bhikkhu telah tiba di Setabya, dan berada di sebelah utara kota, di hutan Sinsapa”. Dan mereka telah mengetahui pula reputasi yang tersiar tentang Bhikkhu Kumara Kassapa, yaitu: Beliau bijaksana ahli ber-pengetahuan luas, terdidik, fasih, pandai berkhotbah, telah matang dan arahat. Bermanfaat sekali bila bercakap-cakap dengan arahat seperti dia”. Maka para brahmana dengan penduduk lainnya, dengan jumlah yang banyak keluar dari gerbang utara kota Setabya menuju ke hutan Sinsapa.

3— Ketika itu, Pangeran Payasi naik ke teras atas untuk istirahat di siang hari. Di teras itu ia melihat orang-orang keluar kota Setabya melalui gerbang utara yang menuju ke hutan Sinsapa, maka ia bertanya kepada penjaga pintu: “Mengapa penduduk Setabya berangkat dengan jumlah sebanyak itu ke hutan sinsapa? Penjaga puntu kepadanya apa masksud mereka itu. Lalu Pangeran Payasi berkata: Kalau begitu, pergilah kepada para brahmana dan orang-orang tersebut, katakan kepada mereka: “Kalau begitu, pergilah kepada para brahmana dan orang-orang tersebut, katakan kepada mereka, “Tuan-tuan Pangeran Payasi meminta kepada anda sekalian untuk menunggu sebentar, karena pertapa kumara Kassapa akan menang bila berhadapan dengan para brahmana dan orang-orang bodoh itu, sebab mereka itu berpendapat, “Ada alam (kehidupan) lain, ada makhluk yang terlahir tanpa melalui rahim itu, ada buah atau skibat dari perbuatan baik maupun perbuatan buruk”. Penjaga pintu yang baik, ketiga hal ini sesungguhnya tidak ada”
“Baiklah, tuanku,” jawab penjaga pintu, dan ia pergi menyampaikan pesan itu.

4— Demikianlah, Pangeran Payasi dengan disertai oleh para brahmana dan penduduk lainnya pergi ke hutan Simsapa, menemui bhikkhu Kumara Kassapa, dan setelah saling menyapa dengan sopan, dia duduk di samping. Sedangkan para brahmana dan penduduk lainnya yang dari kota Setabya, ada yang menghormat bhikkhu Kumara Kassapa dan duduk di samping, ada yang seteleh saling menyapa dengan beliau dan duduk di samping, ada yang menghormat beliau dengan beranjali dan duduk di samping, ada yang telah menyebut nama sendiri dan nama keluarga mereka dan duduk di samping, dan ada pula yang langsung duduk dengan tenang di samping.

5— Setelah pangeran Payasi duduk, ia berkata kepada Bhikkhu Kumara Kassapa sebagai berikut: “O, Kassapa, saya berpendapat dan juag berpandangan, “Tidak ada alam (kehidupan) lain, tidak ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik atau perbuatan buruk!”
O”, Pangeran, saya tidak melihat atau mendengar ada orang yang berpendapat demikian. Bagaimanakah anda dapat menyatakan pernyataan bahwa tidak ada alam (kehidupan) lain, tidak ada makhluk yang dilahirkan secara langsung, dan tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik atau perbuatan buruk. Bagaimanakah pendapatmu, apakah bukan dan matahari ada di alam ini atau di alam lain, dan apakah bukan dan matahari adalah dewa atau manusia?”
“O, Kassapa, bulan dan matahari ada di alam lain, bukan di alam ini, bulan dan matahari adalah dewa-dewa dan bukan manusia”.
“O pangeran, baiklah, hal ini kita jadikan bukti bahwa ada alam lain, dan ada makhluk yang di lahirkan secara langsung, dan ada buah atau akibat dari perbuatan baik atau perbuatan buruk”.

6— “O, Kassapa, walaupun telah diterangkan demikian, itu bagiku tetap, ‘tidak ada alam (kehidupan) lain, tidak ada makhluk yang dilahirkan secara langsung, dan tidak ada buah atau akibat dari perbuatan atau perbuatan buruk!”
O Pangeran, apakah anda mempunyai bukti bahwa hal-hal itu tidak ada?
“Ada, Kassapa”.
“Bagaimana?”
“O Kassapa, begini, saya mempunyai teman-teman, sanak keluarga yang telah membunuh, mencuri, berzinah, berdusta, memfitnah, mengumpat, menceritakan kabar angin, serakah, dendam dan berpandangan salah. Ketika mereka menderita sakit atau diserang sakit parah, dan pada waktu saya mengetahui bahwa mereka tidak dapat sembuh lagi, saya mengunjungi mereka dan berkata: "Saudara-saudara, menurut pandangan dan pendapat dari beberapa brahmana dan pertapa bahwa bagi mereka yang telah membunuh, mencuri, berzinah, berdusta, memfitnah, mengumpat, menceritakan kabar angin, serakah, dendam, dan berpandangan salah, bila mereka meninggal dunia, mereka akan terlahir kembali di alam Niraya yang penuh penderitaan dan duka nestapa. Saudara-saudara telah melanggar sila-sila tersebut. Bilamana yang dikatakan para brahmana dan pertapa itu benar, maka saudara-saudara akan terlahir kembali di alam Niraya. Bilamana anda sekalian mengalami hal ini, datanglah dan beritahukan kepadaku, 'ada alam (kehidupan) lain, ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan ada buah atau akibat perbuatan baik atau perbuatan buruk. ' Saudara-saudara, anda sekalian saya percayai, dan apa yang kamu katakan karena telah kamu saksikan, pasti benar. Mereka mengiakan akan melakukannya dengan berkata, 'Baiklah' tetapi mereka sendiri tidak pernah kembali atau memberikan kabar kepadaku. 0, Kassapa, inilah alasan bagiku bahwa tidak ada alam (kehidupan) lain, tidak ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan tidak ada buah atau hasil perbuatan baik atau perbuatan buruk”.

7— "0, Pangeran, baiklah, namun saya akan bertanya dan jawablah seperti apa yang kau pikirkan. Bagaimanakah pendapatmu misalnya ada pencuri yang telah tertangkap dan diadili: "Tuan, pencuri ini tertangkap basah, hukumlah dia seperti yang anda kehendaki. ' la menjawab. 'Baiklah, ikatlah dia erat-erat dengan tali yang kuat dengan tangannya di belakang, cukur rambutnya, bawalah dia berkeliling diiringi tambur yang nyaring dari jalan satu ke jalan yang lain, keluarlah di gerbang selatan dan bunuh dia di selatan kota dengan kepalanya di pancung. ' Mereka menyetujuinya dengan menjawab, 'Baiklah', dan pergi untuk melaksanakan perintah, dan di tempat untuk memancungnya mereka mendudukkan dia. Apakah pencuri itu akan mendapat ijin dari algojo bila ia memohon seperti ini: "Tuan-tuan, tunggu sebentar, ijinkanlah saya mengunjungi semua teman-temanku, sanak keluargaku di desa-desa, dan di kota-kota, dan nanti saya kembali. Atau apakah para algojo akan segera memancung pencuri itu" "0, Kassapa, mereka tidak akan mengijinkannya, tetapi mereka akan segera memancung kepalanya”. "Pencuri ini adalah manusia, akan tetapi tidak dapat luput dari para algojo. Dan bagaimanakah kawan-kawanmu dan sanak-keluargamu, setelah meninggal dan terlahir kembali di alam Niraya yang penuh penderitaan dan duka nestapa, mendapat ijin dari Niraya-pala dengan memohon:
"Tuan-tuan niraya-pala, tunggulah hingga kami memberitahukan kepada pangeran Payasi bahwa ada alam (kehidupan) lain, ada makhluk yang dilahirkan secara langsung, dan ada buah atau hasil dari perbuatan baik atau perbuatan buruk”.

8— "0, Kassapa, walaupun telah diterangkan demikian, itu bagiku tetap, hal-hal itu tidak ada”.
"0, Pangeran, apakah anda mempunyai alasan lain yang menyatakan bahwa hal-hal itu tidak ada?"
"Ada, Kassapa”.
"Bagaimana?"
"0, Kassapa, begini, saya mempunyai teman-teman dan sanak-keluarga yang tidak: membunuh, mencuri, penjaga neraka, zinah, berdusta, memfitnah, mengumpat, menceritakan kabar angin, serakah, dendam dan berpandangan salah.
Ketika mereka menderita sakit atau diserang penyakit parah, dan pada waktu saya mengetahui bahwa mereka tidak dapat sembuh lagi, saya mengunjungi mereka dan berkata: "Saudara-saudara, menurut pandangan dan pendapat dari beberapa brahmana dan pertapa bahwa bagi mereka yang tidak: membunuh, mencuri, berzinah, berdusta, memfitnah, mengumpat, menceritakan kabar angin, serakah, dendam dan berpandangan salah, bila mereka meninggal dunia mereka akan terlahir kembali di alam surga yang penuh kenestapaan.
Saudara-saudara telah menjaga sila-sila itu. Bilamana yang dikatakan para brahmana dan pertapa itu benar, maka saudara-saudara akan terlahir-kembali di alam surga. Bila anda sekalian mengalami hal ini, datanglah dan beritahukan kepadaku, 'ada alam (kehidupan) lain, ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan ada buah atau hasil dari perbuatan baik atau perbuatan buruk. '
Saudara-saudara, anda sekalian saya percayai, dan apa yang kamu katakan karena telah kamu saksikan, pasti benar. Mereka mengiayakan akan melakukannya dengan berkata, 'baikiah', tetapi mereka sendiri tidak pernah kernbali atau memberikan kabar kepadaku, 0, Kassapa, inilah alasan bagiku karena tidak ada alam (kehidupan) lain, tidak ada buah atau hasil perbuatan baik atau perbuatan buruk”.

9— “0, Pangeran, baiklah kalau begitu, saya akan membuat perumpamaan untukmu karena dengan perumpamaan maka orang-orang yang pintar akan memahami makna dari apa yang dikatakan. Misalnya, ada seorang yang tercebur kedalam lobang lumpur dengan kepalanya terlebih dahulu, dan anda memerintahkan orang-orang lain: 'Saudara-saudara, tolong angkat orang itu'. Dan mereka menjawab:
'Baik, mengiakan dan menariknya keluar’. Lalu anda berkata kepada mereka: 'Saudara-saudara, sekarang kami bersihkan lumpur yang melekat di tubuhnya dengan serpihan bambu. ' Mereka menurutirnu, dan anda berkata pula: 'Saudara-saudara, sekarang tubuh orang itu bedaki tiga kali dengan bedak-kuning', Mereka melakukannya, dan anda berkata kepada mereka: 'Saudara-saudara, sekarang riaslah rambutnya. 'Mereka melakukannya. Dan anda berkata kepada mereka: 'Saudara-saudara sekarang kenakan pakaian yang mahal, gunakan wangi-wangian yang mahal, dan kalungkan padanya bunga-bunga. 'Mereka melakukan-nya, lebih lanjut anda berkata kepada mereka: 'Saudara-saudara, bawalah dia ke istana dan gembirakanlah dia dengan memuaskan ke lima inderia-nya. 'Mereka melakukannya’.
Pangeran, sekarang bagaimana pendapatmu? Apakah orang ini yang telah dimandikan, di minyaki dicukur dan disisir, didandani dengan pakaian bersih dan dikalungi bunga, dibawa ke istana, dilayani serta kelima inderianya dipuaskan, akan mau lagi diceburkan ke lubang lumpur?"
"Tidak mau”.
"Mengapa demikian?"
"0 Kassapa, lubang lumpur itu kotor bau busuk memuakkan, membosankan”.
"0, Pangeran demikian pula bagi para dewa manusia itu kotor bau busuk memuakkan, membosankan dan sebagainya. Karena bau manusia dapat mengganggu para dewa yang berada sejauh seratus yojana. Bagaimanakah teman-temanmu sanak-keluargamu yang telah menjaga sila-sila dengan baik, dan tetap terlahir kembali di alam surga yang penuh kesenangan. akan datang memberitahukan kepadamu bahwa ada alam (kehidupan) lain, ada makhluk yang terlahir secara langsung dan ada buah atau hasil dari perbuatan baik dan perbuatan buruk?
Pangeran, terimalah uraian ini sebagai bukti bagimu bahwa hal-hal itu ada”.

10— 0, Kassapa, walaupun telah diterangkan demikian, itu bagiku tetap, hal-hal itu tidak ada”.
"0, Pangeran, apakah kau mempunyai alasan lain yang menyatakan bahwa hal-hal itu tidak ada”.
"Ada Kassapa”.
"Bagaimana?"
"0, Kassapa, begini, saya mempunyai teman-teman dan sanak-keluarga yang menjaga sila-sila dengan tidak: membunuh, mencuri, berzinah, berdusta, dan minum-minuman yang memabukkan. Ketika mereka sakit parah, saya telah memberitahukan kepada mereka bahwa ada brahmana dan pertapa yang memiliki pandangan dan berpendapat bahwa bagi mereka yang telah menjaga sila-sila bila mereka meninggal dunia, mereka terlahir di alam surga Tavatimsa. Saudara-saudara telah menjaga sila-sila itu. Bilamana yang dikatakan para brahmana dan pertapa itu benar, maka saudara-saudara akan terlahir kembali di alam surga Tavatimsa. Bilamana anda sekalian mengalami hal ini, datanglah dan beritahukan kepadaku, ada alam (kehidupan) lain, ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan ada buah atau hasil dari perbuatan baik dan perbuatan buruk. ' Saudara-saudara, anda sekalian saya percayai, dan apa yang kamu katakan telah kamu saksikan, pasti benar. Mereka mengiakan akan melakukan-nya dengan berkata, 'Baiklah', tetapi mereka sendiri tidak pernah kembali atau memberikan kabar kepadaku.
“0, Kassapa, inilah bukti bagiku bahwa tidak ada alam (kehidupan) lain, tidak ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan tidak ada buah atau hasil dari perbuatan baik atau perbuatan buruk”.
0, Kassapa, inilah alasan bagiku bahwa hal-hal itu tidak ada.

11— "0, Pangeran, baiklah, namun saya akan bertanya dan jawablah seperti apa yang kau pikirkan. Seratus tahun bagi manusia, itu hanya sehari semalam bagi para dewa Tavatimsa, tiga puluh siang dan malam demikian adalah sebulan, dan dua belas bulan demikian adalah setahun, dan seribu tahun seperti itulah usia kehidupan. Mereka yang kau bicarakan seperti ini, telah lahir kernbali di surga Tavatimsa. Bila mereka berpikir:
"Marilah kita memuaskan kelima inderia kita pergi memberitahukan kepada Pangeran Payasi bahwa ada alam (kehidupan) lain, ada makhluk yang lahir secara langsung, ada buah atau hasil dari perbuatan baik dan perbuatan buruk. Maka, dapatkah mereka akan datang menemuimu untuk memberitahukan hal itu?"
"0, Kassapa, pasti tidak dapat, karena pada waktu itu pasti kita telah lama meninggal. Tetapi, siapakah yang mengetahui semua hal ini? Bahwa ada alam surga Tavatimsa, atau para dewa di alam Tavatimsa hidup sekian tahun? Kami tidak percaya bila ada yang mengatakan demikian”.
“0, Pangeran, bagaikan seorang buta yang tidak dapat melihat obyek yang hitam atau putih, biru; kuning, merah atau abu-abu; tidak dapat melihat barang yang halus atau kasar, bintang, bulan atau matahari. Dan bila ia berkata, 'Hal-hal itu tidak ada, karena tidak ada seorangpun yang dapat melihat hal-hal itu. Saya tidak tahu, saya tidak lihat, maka hal-hal itu tidak ada. ' Apakah orang berkata begitu itu benar?"
"Tidak, Kassapa. Obyek-obyek yang anda katakan itu ada dan kelihatan, demikian pula dengan inderia untuk melihat ada. Untuk mengatakan, 'Saya tidak tahu hal-hal itu, saya tidak melihat hal-hal itu, maka hal-hal itu tidak ada,' itu adalah pandangan yang salah”.
"0, Pangeran, dengan demikian, menurut pendapat saya, anda bagaikan orang buta yang ada dalam perumpamaanku, ketika kau berkata, '0, Kassapa, tetapi siapakah yang mengetahui ada alam surga Tavatimsa, atau siapakah yang mengetahui bahwa para dewa di alam surga Tavatimsa hidup sekian tahun?
Kami tidak percaya bila anda mengatakan demikian. 'Pangeran, karena alam kehidupan lain itu bukan seperti yang anda bayangkan yakni dapat dilihat dengan mata biasa.
Ada beberapa pertapa dan brahmana yang tinggal di tempat yang sunyi di hutan, tanpa keributan dan tanpa suara, berusaha dengan sungguh-sungguh, waspada dan bersemangat, mensucikan mata-dewa mereka, dengan mata-dewa mereka yang melampaui kemampuan manusia biasa, mereka dapat melihat alam ini dan alam kehidupan lain, dan makhluk-makhluk yang terlahir secara langsung.
Pangeran, dengan cara ini, alam kehidupan lain dapat dilihat, tetapi bukan seperti yang anda bayangkan dengan menggunakan mata biasa. Pangeran, terimalah uraian ini sebagai alasan bahwa hal-hal itu ada".

12— "0, Kassapa, walaupun telah diterangkan demikian, itu bagiku tetap, hal-hal itu tidak ada”.
"0, Pangeran, apakah anda mempunyai alasan lain yang menyatakan bahwa hal-hal itu tidak ada?"
"Ada, Kassapa”.
"Bagaimana?"
"0, Kassapa, begini, saya telah melihat para brahmana dan pertapa yang bermoral, bijak, menyenangi kehidupan, ingin supaya tidak mati, ingin berbahagia dan jauh dari penderitaan. Maka, saya berpendapat, 'Bila para brahmana dan pertapa yang baik ini mengetahui bahwa bila kita meninggal, kita akan hidup lebih baik lagi, maka orang-orang akan minum racun, atau menikam diri mereka, atau membunuh diri dengan menggantungkan diri atau menceburkan diri mereka ke dalam air. Dan, karena mereka tidak mengetahui apabila mereka meninggal, mereka akan hidup lebih baik lagi, maka mereka menyenangi kehidupan, ingin supaya tidak mati, ingin berbahagia dan jauh dari penderitaan. Ini merupakan alasan bagiku bahwa tidak ada alam (kehidupan) lain, tidak ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan tidak ada buah atau hasil dari perbuatan baik atau buruk”.

13— "0, Pangeran, baiklah kaiau begitu, saya akan membuat perumpamaan untukmu, karena dengan perumpamaan maka orang-orang yang pintar akan memahami dari makna apa yang dikatakan. Misalnya, pada suatu waktu, ada seorang brahmana yang mempunyai dua istri. Istri yang pertama telah mempunyai anak seorang putra, dan anak tersebut berusia kira-kira sepuluh atau dua belas tahun.
Sedangkan istri kedua tidak lama lagi akan melahirkan anak. Tetapi tidak lama kemudian brahmana meninggal.
Pada suatu hari anak tersebut berkata kepada ibu kedua: 'Harta apa saja yang ada, apakah itu padi-padian, perak atau emas, semuanya adalah milikku. Tidak ada bagian untukmu, berikanlah semua warisan itu kepadaku !" Lalu, istri kedua menjawab: "Nak, tunggulah bila anakku lahir.
Bila ia seorang putra maka ia berhak mendapat bagian dari warisan, tapi bila ia anak wanita, maka terserahlah kepadamu”.
Untuk kedua kali anak itu meminta warisannya dan mendapat jawaban yang sama dari istri kedua.
Untuk ketiga kalinya, anak tersebut meminta warisannya, maka istri kedua mengambil sebilah pedang, masuk kekamarnya, dengan berkata ia membelah perutnya: "Bila saya tahu dia anak perempuan atau laki”. Demikianlah, ia membunuh dirinya sendiri, akibatnya, bayinya yang belum lahir dan hartanyapun lenyap, karena kebodohan dan tanpa berpikir sebab ingin mendapat warisan, tetapi ternyata ia mendapat malapetaka.
Demikian pula, anda bodoh dan tidak menggunakan pikiran, akan menemui kegagalan dan malapetaka, karena mau membuktikan adanya alam kehidupan lain tanpa memiliki kebijaksanaan. Para brahmana dan pertapa yang bermoral dan bijak, tidak dapat memaksakan sesuatu yang belum matang untuk menjadi matang. Bagi mereka yang bijaksana akan menunggu hingga ia matang, sebab para brahmana dan pertapa yang bermoral dan bijak, sungguh-sungguh memanfaatkan hidup ini. Selama hidup mereka di alam ini, mereka banyak melakukan perbuatan yang berguna untuk kesejahteraan, kebahagiaan orang banyak, yang didasarkan pada kasih sayang mereka kepada dunia, demi kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Inilah uraian yang merupakan alasan bahwa ada alam (kehidupan) lain, ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan ada buah atau hasil dari perbuatan baik atau perbuatan buruk”.
14— "0, Kassapa, walaupun telah diterangkan demikian, itu bagiku tetap, hal-hal itu tidak ada”.
"0, Pangeran, apakah anda mempunyai alasan lain yang menyatakan bahwa hal-hal itu tidak ada?"
"Ada, Kassapa”.
"Bagaimana. "
"0, Kassapa, begini, misalnya ada seorang pencuri yang tertangkap basah dan diadili: "Tuan, pencuri ini tertangkap basah, hukumlah dia seperti yang anda kehendaki”. Dan saya akan menjawab: "Baiklah, masukkan orang ini hidup-hidup ke dalam tempayang, tutuplah mulut tempayang itu, dan bungkuslah itu dengan kulit basah, dan plasterlah itu dengan tanah liat yang tebal, setelah itu letakkanlah di atas tungku dan bakarlah”.
Mereka menjawab: "Baiklah", dan menuruti apa yang saya perintahkan. Ketika saya mengetahui bahwa orang yang dalam tempayan telah meninggal, kami mengangkat tempayan itu, melepaskan ikatan yang ada dan membuka penutupnya, dan dengan cepat kami melihat ke dalam dengan berpikir: "Barangkali kami dapat melihat jiwanya keluar. Tetapi kami tidak dapat melihat jiwanya keluar !" Ini merupakan alasan bagiku bahwa tidak ada alam (kehidupan) lain, tidak ada makhluk yang lahir secara langsung, dan tidak ada buah atau hasil dan perbuatan baik atau perbuatan buruk”.

15— "0, Pangeran, baiklah, namun saya akan bertanya dan jawablah seperti apa yang anda pikirkan. Apakah anda mengakui bahwa ketika anda beristirahat, anda bermimpi melihat pemandangan yang indah di kebun, di taman, di hutan atau di tepi danau?
"Ya, saya akui, Kassapa”.
"Apakah pada, waktu itu, anda ditunggui oleh pembantu wanita, bongkok dan kerdil, juga anak-anak wanita dan gadis-gadis?"
"Begitulah, Kassapa”.
"Apakah mereka melihat jiwamu keluar dan masuk ke dalam dirimu?"
"Tidak, Kassapa".
"Jadi, mereka yang hidup pun tidak melihat jiwamu yang hidup masuk atau meninggalkan dirimu ketika kau bermimpi. Bagaimanakah anda dapat melihat jiwa seseorang yang meninggal keluar dan masuk kedalam dirinya?
Inilah uraian yang merupakan alasan bahwa ada alam (kehidupan) lain, ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan ada buah atau hasil dari perbuatan baik atau perbuatan buruk”.

16— "0, Kassapa, walaupun telah diterangkan demikian, itu tetap bagiku, hal-hal itu tidak ada”.
"0, Pangeran, apakah anda mempunyai alasan lain yang menyatakan bahwa hal-hal itu tidak ada?"
"Ada, Kassapa”.
"Bagaimana”.
"0, Kassapa, misalnya, ada seorang pencuri yang tertangkap basah dan diadili: "Tuan, pencuri itu tertangkap basah, hukumlah dia seperti apa yang anda kehendaki”.
Dan saya menjawab:
"Baiklah, bawalah orang ini dan timbang beratnya; cekik dia dengan tali hingga mati, dan timbanglah ia kembali”. Mereka melaksanakannya. Sewaktu ia masih hidup, ia lebih ringan, lemas dan dapat menyesuaikan diri; tetapi setelah ia meninggal, ia menjadi lebih berat, kaku dan tidak dapat menyesuaikan diri. Ini merupakan alasan bagiku bahwa tidak ada alam (kehidupan) lain, tidak ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan tidak ada buah atau hasil dari perbuatan baik atau perbuatan buruk”.

17— "0, Pangeran, baiklah, saya akan membuat perumpamaan untukmu, karena dengan perumpamaan maka orang-orang pintar akan memahami makna dari apa yang dikatakan. Misalnya, ada seorang yang menimbang bola besi yang telah dipanaskan sepanjang hari, dan dibakar hingga membara; selanjutnya bola itu telah di dinginkan, tidak membara lagi, dan ditimbang pula. Di antara bola besi yang dipanaskan hingga membara, dan bola besi yang tidak membara lagi karena telah didinginkan, yang manakah yang lebih ringan, lebih lunak dan lebih elastis?"
"0, Kassapa, bola besi yang hangat dan berpijar karena telah dipanaskan hingga membara itulah yang ringan, lebih lunak dan lebih elastis. Sedangkan bola besi yang tidak hangat dan tidak berpijar karena telah dingin adalah lebih berat, keras dan tidak elastis”.
"0, Pangeran, demikian pula, bila tubuh ini hidup, hangat dan memiliki kesadaran, maka tubuh ini lebih ringan, lebih lemas dan elastis, tetapi bila tubuh ini tidak memiliki kehidupan, tidak hangat dan tanpa kesadaran, maka tubuh ini lebih berat, kaku dan tidak elastis. Inilah uraian yang merupakan alasan bahwa ada alam (kehidupan) lain, ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan ada buah atau hasil dari perbuatan baik atau perbuatan buruk”.

18— "0, Kassapa, walaupun telah diterangkan demikian, itu tetap bagiku, hal-hal itu tidak ada”.
"0, Pangeran, apakah anda mempunyai alasan lain yang menyatakan bahwa hal-hal itu tidak ada? "
"Ada, Kassapa”.
"Bagaimana”.
“0, Kassapa, misalnya, ada pencuri yang tertangkap dan diadili: "Tuan, pencuri itu tertangkap basah, hukumlah dia seperti apa yang anda kehendaki”.
Dan saya menjawab:
"Baiklah, bunuhlah dia dengan mengupas kulit ari kulitnya, keluarkan otot, urat, tulang dan sumsum-nya”. Mereka melakukannya.
Dan ketika ia hampir mati, saya berkata:
"Telentangkanlah dia, karena mungkin kita dapat melihat jiwanya keluar”. Mereka melaksanakannya, tetapi kami tidak melihat jiwa yang keluar.
Kemudian saya berkata:
"Kalau begitu, telungkupkanlah dia . … miringkanlah dia kekiri … miringkanlah dia kekanan … berdiri-kanlah dia … jungkir-balikkan dia … pukullah dia dengan tangan … pukulah dia dengan gada … pukullah dia dengan gada di sebelah kiri … pukullah dia dengan gada di sebelah kanan … pukullah seluruh tubuhnya, karena mungkin kita dapat melihat jiwanya keluar”. Mereka melaksanakannya, tetapi kami tidak melihat jiwanya keluar. la memiliki mata dan obyek pun ada, tetapi ia tidak dapat melihat; telinganya ada dan suara pun ada, tetapi ia tidak dapat mencium; lidahnya ada dan bahan untuk dikecap pun ada, tetapi ia tidak dapat mengecap; tubuhnya ada dan obyek menyentuh pun ada, tetapi ia tidak dapat merasa. Inipun merupakan alasan bagiku bahwa alam (kehidupan) lain tidak ada, tidak ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan tidak ada buah atau hasil dan perbuatan baik atau perbuatan buruk”.
19— "0, Pangeran, saya akan membuat perumpamaan bagimu karena dengan perumpamaan, maka orang-orang pintar akan memahami makna dari apa yang dikatakan, Misalnya, pada suatu waktu seorang peniup sangkakala, dengan membawa sangkakala ia pergi ke kampung di pedalaman negara. Ketika ia tiba di sebuah desa, ia datang ke sebuah desa dan meniup sangkakala tiga kali, setelah itu ia meletakkannya dan duduk di samping sangkakala. Lalu orang-orang pedalaman itu berpikir: "Suara apakah yang sangat merdu, menyenangkan, memukau, sedap didengar, mengesankan dan memikat hati ini, "Mereka pergi menjumpainya dan menanyainya. "Tuan-tuan, inilah yang dinamakan sangkakala, suaranya amat merdu, menyenangkan, memukau, sedap didengar, mempesona-kan dan memikat hati. " Mereka meletakkan sangkakala itu pada bagian belakangnya dan berkata: "Bicaralah sangkakala, bicaralah sangkakala !". Tidak ada suara yang keluar dari sangkakala. Mereka meletakkan sangkakala itu terbalik; diletakkan pada salah satu sisi, diletakkan pada posisi lain, ditegakkan, mereka membalik-baliknya, mereka memukul dengan tangan, memukulnya dengan tongkat "Memukulnya dengan gada, menebasnya dengan pedang pada salah satu sisi, pada posisi yang lain, dan menebasnya dengan pedang di semua bagian, dengan berkata: Bicaralah sangkakala !
Kemudian peniup sangkakala berpikir: "Betapa bodohnya orang-orang pedalaman ini. Mengapa mereka, mau mendengar suara sangkakala, tetapi tidak menggunakan pikiran?" Sementara orang-orang itu memperhatikan dia. Ia mengambil sangkakalanya, meniupnya tiga kali sesudah itu ia pergi. Kemudian orang-orang pedalaman itu berpikir:
"Sesungguhnya, bila ada orang, ada usaha, dan ada udara pada sangkakala itu, maka sangkakala mengeluarkan suara. Tetapi bila tidak ada orang, tidak ada usaha, tidak ada udara pada sangkakala itu, maka sangkakala tidak mengeluarkan suara”. Demikian pula, bila tubuh ini mempunyai kehidupan, hangat dan ada kesadaran maka tubuh ini dapat kesana-kemari, dapat berdiri, duduk dan berbaring, dapat melihat obyek-obyek dengan mata, mendengar suara suara dengan telinga, mencium bau dengan hidung, mengecap sesuatu dengan lidah, menyentuh sesuatu dengan tubuh, mengetahui sesuatu dengan pikiran. Dan bila kehidupan, kehangatan dan kesadaran tidak ada, maka tubuh tidak dapat berbuat apa-apa. Inilah uraian yang merupakan alasan bahwa alam (kehidupan) lain ada, ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan ada buah atau hasil dari perbuatan baik atau perbuatan buruk”.

20— "0, Kassapa, walaupun telah diterangkan demikian, itu tetap bagiku, hal-hal itu tidak ada”.
"0, Pangeran, apakah anda mempunyai alasan lain yang menyatakan bahwa hal-hal itu tidak ada? "
"Ada, Kassapa”.
"Bagaimana?"
"0, Kassapa, misalnya, ada seorang pencuri yang tertangkap dan diadili: "Tuan, pencuri ini tertangkap basah, hukumlah dia seperti apa yang anda kehendaki”. Saya menjawab: "Baiklah, saudara-saudara kuliti orang ini hidup-hidup, mungkin kita dapat melihat jiwanya keluar”. Mereka melaksanakannya, tetapi tidak melihat ada jiwa yang keluar. Ketika kulit, otot, urat-urat, tulang dan sumsum telah dikeluarkan, kami tetap tidak melihat jiwanya keluar. Inilah yang merupakan uraian bahwa tidak ada alam (kehidupan) lain, tidak ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan tidak ada buah atau hasil dari perbuatan baik atau perbuatan buruk”.

21— "0, Pangeran, baiklah, saya akan membuat perumpamaan untukmu, karena dengan perumpamaan maka orang-orang yang pintar akan memahami makna dari apa yang dikatakan. Misalnya pada suatu waktu, seorang Jatila pemuja api tinggal di sebuah pondok yang dibuat dari daun di sebuah hutan. Pada waktu itu ada penduduk dari pedalaman yang berpindah tempat, dan setelah kepala rombongan itu bermalam di dekat pondok Jatila tersebut, keesokan harinya ia berangkat. Kemudian Jatila tersebut berpikir: "Bila saya pergi ke bekas tempat penginapan kepala rombongan, mungkin saya dapat menemukan sesuatu yang berguna”. Ia bangun dan pergi ketempat kepala rombongan menginap, di situ ia menemukan seorang bayi yang ditinggalkan sedang berbaring terlentang. Ketika ia melihatnya, ia berpikir: "Tidak pantas bila saya meninggalkan seseorang meninggal di depan mataku. Sebaiknyalah saya membawa bayi itu ke pondokku, memeliharanya, membesarkannya dan merawatnya”. Maka ia membawa pergi bayi itu ke pondoknya, memeliharanya, membesarkannya, membesarkannya dan merawatnya. Ketika anak itu telah berumur kira-kira sepuluh atau dua belas tahun, dan pada waktu itu pertapa Jatila mempunyai urusan di daerah lain, maka ia berkata kepada anak tersebut: "Saya akan pergi ke daerah lain, jagalah api ini, dan jangan biarkan api ini padam. Bila api itu padam; lihatlah ini kampak, ini kayu,' ini penggosok api, jadi bila engkau membiarkan sehingga api itu padam, kau dapat menyalakannya lagi”. Setelah anak itu diajari, pertapa Jatila pergi ke daerah lain. Sementara itu, karena anak tersebat gembira dengan permainannya, maka api itu padam. Kemudian ia berpikir: "Ayah memberitahukan bahwa, 'jagalah api itu, anakku, jangan biarkan api itu padam. Bila api itu padam: lihatlah ini kapak, ini kayu, ini penggosok api, jadi bila engkau membiarkan sampai api itu padam, kau dapat menyalakannya lagi'. Sebaiknya saya melakukannya sekarang”. Maka anak itu membelah penggosok api dengan kampak, dengan berpikir: "Mungkin dengan ini saya dapat api”. Tidak ada api yang didapatkannya.
Ia membelah penggosok api itu menjadi dua potong, menjadi tiga, menjadi empat, lima, sepuluh, seratus, ia memotongnya sampai berkeping-keping, ia menghancurkannya hingga menjadi serbuk dan menghamburkannya di angin, dengan berpikir mungkin dengan cara ini saya akan mendapat api. Tetapi tidak ada api yang didapatinya.
Setelah pertapa Jatila menyelesaikan urusannya, ia kembali kepondoknya, dan berkata kepada anak tersebut: "Nak, mengapa kau telah membiarkan hingga api itu padam!" "Ayah, api padam ketika saya sedang bermain. Lalu saya teringat dengan pesan ayah, dan saya mencoba menyalakannya lagi. Dan membelah penggosok api dengan kampak supaya mendapat api, tetapi tidak ada api yang kudapati. Saya melakukan terus sehingga penggosok api menjadi serbuk dan bubuk itu saya hamburkan dengan angin, namun saya tidak mendapat api”.
Pertapa Jatila berpikir: "Betapa bodohnya anak ini !" Mengapa ia mencari api dengan tanpa menggunakan pikiran?" Sementara anak itu memperhatikannya, ia mengambil penggosok api, dan membuat api dengan berkata: "Nak, inilah caranya membuat api. Bukan seperti yang kau lakukan, itu cara yang bodoh, dan tanpa menggunakan pikiran”.
Demikian pula, anda bodoh, dengan tanpa menggunakan pikiran anda mau mengetahui alam (kehidupan) yang lain.
"0, Pangeran, tinggalkanlah pandangan salah itu. Semoga pandangan salah itu tidak lama menguasaimu dalam kebodohan dan penderitaan”.
"0, Kassapa, walaupun telah diterangkan demikian, saya tidak dapat membuang pikiran-pikiran buruk ini. Raja Pasana di Kosala dan raja-raja lain pun mengetahui saya berpandangan dan berpaham bahwa tidak ada alam (kehidupan) lain. Jika saya membuang pandangan-pandangan ini, orang-orang akan menceritakan halku; "Betapa bodohnya, betapa tololnya, betapa lemahnya, bila dia mempertahankan prinsipnya”. untuk mencegah kritikan ini maka saya tetap dengan prinsipku. Demi mencegah cemoohan, dan demi kehormatan diriku, saya tetap pada prinsipku".

23— "0, Pangeran, baiklah, saya akan membuat perumpamaan untukmu, karena dengan perumpamaan maka orang-orang yang pintar akan memahami makna dari apa yang dikatakan. Misalnya, pada suatu waktu, ada serombongan besar dengan seribu pedati dari sebelah timur ke sebelah barat negara. Ke mana saja mereka pergi, rombongan tersebut dengan cepat menghabiskan rumput, kayu (untuk memasak), air dan sayur-sayuran. Dalam rombongan tersebut ada dua pemimpin, yang masing-masing mengepalai setengah rombongan, dan hal ini menjadi pemikiran mereka: "Ini rombongan yang besar, dengan seribu pedati. Ke mana saja kita pergi, kita menghabiskan segala sesuatu. Bukankah lebih baik kita membagi rombongan ini, masing-masing dengan lima ratus pedati. Demikianlah mereka membagi rombongan itu menjadi dua kelompok yang sama besarnya.
Kemudian salah satu dari pemimpin tersebut mengumpulkan rumput, kayu, air dan sayur-sayuran muda dalam jumlah yang besar, dan berangkat. Setelah istirahat di tempat-tempat perhentian untuk kedua atau ketiga kalinya dan berangkat lagi, sementara dalam perjalanan pemimpin rombongan melihat seorang berkulit hitam dan bermata merah yang datang dari arah yang berlawanan, membawa panah, tubuhnya dihiasi dengan rangkaian bunga teratai, pakaian dan rambutnya basah, dan mengendarai kereta yang ditarik oleh keledai-keledai. Ketika telah berdekatan, ia bertanya:
"Dari manakah, tuan? "
"Dari daerah sana”.
"Anda akan pergi ke mana? "
"Ke daerah sebelah sana”.
"Tuan, apakah baru saja ada hujan lebat di hutan sana? "
"Ya, ada hujan lebat di hutan sana, di tepi jalan banyak air, di sana banyak rumput, kayu dan air.
Buanglah rumput, kayu dan air yang anda bawa karena dengan pedati-pedati yang ringan muatannya, maka anda akan dapat berjalan dengan cepat, janganlah melelahkan rombonganmu. Lalu pemimpin tersebut memberitahukan apa yang dikatakan orang tersebut, dan menyuruh mereka membuang bekal dan kayu, supaya rombongan dapat berjalan dengan cepat. "Baiklah," jawab para pengikutnya, dan melaksanakan apa yang disuruh. Tetapi pada tempat peristirahatan mereka yang pertama, mereka tidak menemukan rumput, kayu maupun air. Demikian pula di tempat peristirahatan ke dua, ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh. Akhirnya mereka semua menemui malapetaka dan menderita sekali. Kemudian, setan yakkha mengganyang mereka semua dan sapi-sapi dalam rombongan tersebut, hingga hanya tulang belulang saja yang tertinggal.
Ketika kepala rombongan kedua mengetahui bahwa rombongan pertama telah berangkat, lalu ia menyediakan banyak rumput kayu, dan air, setelah itu ia bersama rombongannya berangkat. Dia bertemu dengan orang yang berkulit hitam, dan membicarakan hal-hal yang sama seperti dengan pemimpin rombongan pertama, dan menyarankan pula untuk membuang bekal mereka.
Lalu pemimpin rombongan berkata kepada para pengikutnya :
"Saudara-saudara, orang ini mengatakan bahwa baru saja di hutan ada hujan lebat, di tepi jalan ada banyak air, dan di sana banyak rumput, kayu dan air. Dan dia menyarankan supaya kita membuang bekal kita, agar kereta kita ringan dan kita dapat berjalan dengan cepat dan tidak lelah. Tetapi orang itu bukan kawan, bukan sanak keluarga atau orang yang seketurunan dengan kita. Mengapa kita harus melaksanakan apa yang ia katakan?
Bekal kita jangan di buang, kita harus maju dengan bekal kita semua, kita jangan berpisah dengan barang yang kita bawa”. "Baiklah tuan," jawab para pengikutnya, dan meneruskan perjalanan dengan muatan yang ada. Dan di tujuh peristirahatan mereka tidak menemukan rumput, kayu maupun air, melainkan mereka menemukan tulang belulang manusia dan sapi yang telah ditinggalkan oleh setan yakkha setelah dagingnya diganyang.
Kemudian kepala rombongan berkata kepada para pengikutnya: "Saudara-saudara, rombongan pertama mendapat melapetaka dan kehancuran, karena memiliki kepala rombongan yang bodoh. Sebaiknya kita tinggalkan barang-barang kita yang kurang berharga dan kita mengambil barang-barang yang berharga dan mahal dari sisa rombongan ini”.
"Baiklah, tuan", jawab para pengikutnya dan menggantikan barang-barang tersebut, dan mereka menembus hutan dengan selamat, karena memiliki kepala rombongan yang pintar.
Pangeran, demikian pula dengan anda, bodoh dan tidak berpikir, akan ditimpa kemalangan dan kehancuran. Tinggalkanlah pandangan salah itu. Saya katakan, tinggalkan itu ! Semoga pandangan salah itu tidak lama menguasaimu dalam kebodohan dan penderitaan !

24— “0, Kassapa, walau pun telah diterangkan demikian, saya tidak dapat membuang pikiran-pikiran buruk ini. Raja Pasena di Kosala dan raja-raja lainpun mengetahui saya berpandangan dan berpaham bahwa tidak ada alam (kehidupan) lain. Jika saya membuang pandangan-pandangan ini, orang-orang akan menceritakan halku: "Betapa bodoh, betapa tololnya, betapa lemahnya bila ia mempertahankan prinsipnya”. Untuk mencegah kritik ini maka saya tetap dengan prinsipku. Demi mencegah cemoohan, dan demi kehormatan diriku, maka saya tetap dengan prinsipku”.

25— "0, Pangeran, baiklah, saya akan membuat perumpamaan untukmu, karena dengan perumpamaan maka orang-orang pintar akan memahami makna dan apa yang dikatakan. Misalnya, pada suatu ketika, seorang peternak babi keluar kampungnya ke kampung yang lain. Di sana ia melihat setumpuk tahi babi kering yang sudah dibuang. Setelah melihat itu, ia berpikir: "Tahi sapi yang banyak dan yang telah dibuang itu dapat dimakan oleh babi-babiku.
Sebaiknya saya membawa pulang tahi sapi itu”. Selanjutnya ia membentangkan kainnya dan mengumpulkan tahi sapi kering itu, lalu mengikatnya seperti menjadi bungkusan dan menjunjungnya. Setelah ia berjalan, tak lama kemudian terjadi hujan lebat yang terjadi tiba-tiba di luar musimnya. Ia dikotori kotoran sapi hingga ke ujung jarinya, dengan berlumuran tahi sapi, menjunjung tahi sapi yang menetes, ia meneruskan perjalanannya. Orang-orang yang melihat berkata: "Kasihan, pasti kau telah gila, pasti kau telah sinting ! Mengapa kau berjalan dengan di lumuri dan ditetesi oleh tahi sapi yang kau junjung, hingga mengotori sampai ke ujung jarimu? " "Kamu yang gila, kamu yang sinting, karena dengan ini maka babi-babiku dapat makanan”.
"Pangeran, demikian pula, menurut pendapatku anda seperti pembawa tahi sapi kering itu. Tinggalkanlah pandangan salah itu. Tinggalkanlah itu. Semoga pandangan salah itu tidak lama menguasaimu dalam kebodohan dan penderitaan”.

26— "0, Kassapa, walaupun telah diterangkan demikian, saya tidak dapat membuang pikiran-pikiran buruk ini. Raja Pasenadi Kosala dan raja-raja lain pun mengetahui saya berpandangan dan berpaham bahwa tidak ada alam (kehidupan) lain.
Jika saya membuang pandangan-pandangan ini, orang-orang akan menceritrakan halku: "Betapa bodoh, betapa tololnya, betapa lemahnya bila ia mempertahankan prinsipnya”. Untuk mencegah kritikan ini, maka saya tetap dengan prinsipku. Demi mencegah cemoohan, dan demi kehormatan diriku, maka saya tetap pada prinsipku”.

27— "0, Pangeran, baiklah, saya akan membuat perumpamaan untukmu, karena dengan perumpamaan maka orang-orang yang pintar akan memahami makna dari apa yang dikatakan. Misalnya, pada suatu ketika, ada dua orang penjudi yang sedang main (semacam) gundu. Salah seorang menelan buah yang dimenangkannya. Pemain yang seorang melihat perbuatannya dan berkata:
"Kawan, lihatlah, kau telah menang, berikanlah padaku buah-buah gundu itu, saya akan bernazar dengan buah-buah gundu itu”.
"Baiklah, kawan," jawab temannya, memberikan buah gundu kepadanya. Setelah menerimanya, pemain yang kedua menggosok buah tersebut dengan racun, dan memberikan kepada kawannya dengan berkata:
"Kawan, mari kita bermain lagi”.
"Baiklah, kawan," jawab kawan yang pertama. Demikianlah mereka berdua bermain lagi. Begitu pula yang dilakukan oleh pemain pertama, menelan buah yang dimenangkannya. Pemain yang kedua melihat apa yang dilakukannya dan berkata:
"Orang yang tidak mengetahui menelan buah yang dimenangkannya,
Buah yang telah digosok dengan racun yang keras,
Sekarang telanlah, telanlah ! Hai penipu yang licik,
Saat-saat yang menyedihkan telah di ambang pintu !
"Pangeran, anda bagaikan pemain judu yang ada dalam perumpamaan itu. Tinggalkanlah, tinggalkanlah pandangan salah itu. Semoga pandangan salah itu tidak lama menguasaimu dalam kebodohan dan penderitaan”.

28— "0, Kassapa, walaupun telah diterangkan demikian, saya tidak dapat membuang pikiran-pikiran buruk ini. Raja Pasanadi Kosala dan raja-raja lain pun mengetahui saya berpandangan dan berpaham bahwa tidak ada alam (kehidupan) lain.
Jika saya membuang pandangan-pandangan ini, orang-orang akan menceriterakan halku: "Betapa bodoh, betapa tololnya, betapa lemahnya bila dia mempertahankan prinsipnya. "Untuk mencegah kritikan ini maka saya tetap dengan prinsipku. Demi mencegah cemoohan, dan demi kehormatan diriku, maka saya tetap pada prinsipku”.

29— "0, Pangeran, baiklah, saya akan membuat perumpamaan untukmu, karena dengan perumpamaan maka orang-orang pintar akan memahami makna dari apa yang dikatakan. Misalnya, ada penduduk di pedalaman berpindah ke daerah lain, lalu seorang dari mereka berkata kepada kawannya: "Saudara, marilah kita pergi ke daerah lain, barangkali kita akan mendapat kekayaan di sana”. "Baiklah, kawan", jawab temannya. Mereka pergi dan tiba di sebuah jalan desa lain di pedalaman itu. Di situ mereka melihat setumpuk rami yang telah dibuang. Kemudian seorang dan mereka berkata: "Ini setumpuk rami kasar, kau ambillah seikat dan saya akan mengambilnya pula, dan kita membawanya”. Kawannya menyetujui, dan mereka melakukannya.
Dengan beban tersebut mereka tiba di sebuah jalan desa yang lain. Di situ mereka menemukan setumpuk tali rami yang telah dibuang, kemudian seorang dari mereka berkata:
"Tumpukkan tali rami yang telah dibuang ini adalah barang yang kita perlukan untuk dibuat karung, saya akan membuang beban yang saya bawa ini, dan kita masing-masing membawa seikat tali rami ini”.
"Kawan, beban rami ini telah saya bawa dari jauh dan telah terikat dengan baik, cukup bagiku, ambillah untukmu sendiri”.
Demikianlah orang yang bicara pertama mengganti bebannya dengan tali rami tersebut. Kemudian, mereka tiba di jalan desa lain pula. Di situ mereka menemukan setumpuk kain rami yang telah dibuang. Kemudian seorang dari mereka berkata: "Saudara, tumpukan rami inilah yang kita butuhkan untuk membuat pakaian atau untuk dijadikan tali rami pula. Sebaiknya kau membuang rami kasar yang kau bawa, saya akan membuang tali rami yang saya bawa dan kita masing-masing mengambil kain rami ini”. "Kawan, beban rami kasar ini telah saya bawa dari jauh dan telah terikat dengan baik, cukup bagiku, ambillah untukmu sendiri”.
Demikianlah orang yang berbicara pertama mengganti beban tali raminya dengan kain rami. Kemudian, mereka tiba di jalan desa lain pula. Di situ mereka menemukan setumpuk benang halus, ditempat lain pula mereka menemukan setumpuk benang untuk kain linen, di tempat lain pula mereka menemukan setumpuk kain linen. Dan di setiap tempat tersebut orang itu selalu mengganti bebannya dengan yang lebih baik; akan tetapi yang seorang lagi tetap mempertahankan rami kasar yang dibawanya. Lebih lanjut mereka menemukan kapas, benang kapas, kain mori, dan hal-hal yang sama pun yang terjadi. Lebih lanjut pula, mereka menemukan besi, tembaga, timah hitam, timah putih, perak dan emas. Akhimya yang seorang membawa beban emas, sedangkan yang seorang lagi tetap membawa rami kasar. Akhirnya mereka tiba kembali di kampung mereka. Orang yang membawa rami kasar tersebut tidak dapat menggembirakan, tidak dapat menyenangkan dan juga tidak dapat membahagiakan orang tuanya, sanak keluarganya, maupun kawan-kawannya. Tetapi orang yang membawa emas, dapat menyenangkan, menggembirakan dan membahagiakan mereka.
"Pangeran, menurut pendapatku, anda bagaikan orang yang membawa rami kasar yang disebut dalam perumpamaan. Tinggalkanlah pandangan salah itu, tinggalkanlah itu. Semoga pandangan salah itu tidak lama menguasaimu dalam kebodohan dan penderitaan.

30— "0, Kassapa, sesungguhnya sejak perumpamaan yang pertama saya telah senang, saya telah terpukau, akan tetapi saya masih mau mendengar jawaban-jawaban yang tepat mengenai pertanyaan saya, karena saya berpendapat Bhante Kassapa adalah pantas saya tanyai. 0, Kassapa, sungguh mengagumkan, sangat menakjubkan, bagaikan orang yang membetulkan kembali apa yang tidak betul, atau menemukan apa yang tersembunyi, atau bagaikan orang yang mengarahkan jalan yang benar bagi orang yang tersesat, atau bagaikan orang yang membawa penerangan di tempat yang gelap sehingga mereka yang mempunyai mata dapat melihat. Demikianlah Dhamma kebenaran yang telah diuraikan oleh Bhante Kassapa dengan berbagai cara. 0, Kassapa, saya berlindung pada Buddha Gotama, Dhamma dan Bhikkhu Sangha. Bhante Kassapa ketahuilah sejak sekarang ini sampai selamanya saya sebagai upasaka.
“0, Kassapa, saya bersedia melakukan persembahan korban besar-besaran untuk puja bakti. Semoga Bhante Kassapa membimbingku demi kesejahteraan dan kebahagiaanku sekarang ini sampai selama-lamanya”.

31— "0, Pangeran, persembahan korban dengan sapi yang dibantai atau kambing atau unggas atau makhluk lain yang dibunuh, mereka yang melakukan persembahan korban seperti itu adalah memiliki: pandangan salah, pikiran salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, meditasi salah, dan persembahan korban itu tidak akan menghasilkan buah yang besar atau manfaat yang besar, atau keluhuran ataupun kemashuran. Pangeran, orang yang melakukan persembahan seperti itu, bagaikan petani yang membawa bajak dan biji-biji memasuki belukar, dan didalam belukar itu ia menanam biji-biji yang telah pecah, berjemur, yang disebabkan oleh angin dan panas, di tanah yang belum disiapkan, tidak subur dan banyak tunggui pohon yang tidak dicabut, bukan pada keadaan yang baik, tidak pada musim yang tepat, dan dewa pun tidak memberikan hujan tepat pada musimnya. Apakah biji-biji tersebut dapat bertumbuh, bertambah besar atau apakah petani akan mendapat panen yang baik? "
"Tidak, Kassapa”.
"0, Pangeran, begitulah persembahan korban itu. Tetapi, bila persembahan korban itu dilaksanakan tanpa pembantaian sapi, kambing, domba, unggas, babi, atau tidak ada makhluk lain yang dibunuh, dan mereka yang melakukan persembahan korban seperti itu memiliki pandangan benar, pikiran benar, usaha benar, perhatian benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, meditasi benar, dan persembahan korban itu akan menghasilkan buah yang besar atau manfaat besar, keluhuran dan kemasyuran.
Pangeran, orang yang melakukan persembahan seperti itu, bagaikan petani yang membawa bajak dan biji-biji memasuki belukar, dan di dalam belukar itu ia menanam biji-biji yang baik, tidak berjamur, tidak diganggu oleh angin dan panas, di tanah yang telah disiapkan, subur, bersih dari tanggul pohon, pada keadaan yang baik, pada musim yang tepat, dan dewa pun memberi hujan tepat pada musimnya. Apakah biji-bijian tersebut dapat bertumbuh, bertunas, atau apakah petani mendapat panen yang baik? "
"Ya, Kassapa”.
"0, Pangeran, begitulah persembahan korban itu. Bila persembahan korban dilakukan tanpa pembantaian sapi, kambing, domba, unggas, babi, ataupun tidak ada makhluk lain yang dibunuh, dan mereka yang melakukan persembahan korban seperti itu adalah memiliki pandangan benar, pikiran benar, usaha benar, perhatian benar, meditasi benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, dan persembahan korban itu akan menghasilkan buah yang besar dan manfaat besar, keluhuran dan kemasyuran”.

32— Selanjutnya, Pangeran Payasi memberikan dana kepada pertapa dan brahmana, orang miskin, para pengembara, para pengemis, dan orang-orang yang membutuhkan lainnya. Dana yang diberikan adalah makanan yang terdiri dari bubur dan makanan kasar, juga kain kasar. Sementara dana tersebut diberikan, seorang pemuda bernama Uttara liwat. Ketika dana telah dibagikan ia bergumam dengan berkata: "Karena dana ini maka saya telah bertemu dengan Pangeran Payasi dalam dunia ini, apakah mungkin (dapat bertemu lagi) pada kehidupan yang akan datang?" Pangeran Payasi mendengar kata-kata itu, dan memanggil Uttara, lalu menanyakan kepada-nya, apakah benar ia mengatakan kata-kata itu.
"Ya, tuanku," jawab Uttara.
"Tetapi, mengapa kau mengucapkan kata'kata itu, Uttara?
Bukankah kita melakukan kebijaksanaan supaya mendapat hasil dari perbuatan ini? "
"Dana yang tuanku berikan, yaitu bubur dan makanan kasar, itu diberikan karena tuanku sendiri tidak mau menyentuhnya walaupun dengan kakimu, apa lagi memakannya. Begitu pula dengan kain kasar, diberikan karena tuanku sendiripun tidak mau menggunakannya walaupun sebagai kain pengering kaki, apalagi mengenakannya. Tuanku, menyenangkan dan kami cintai dapat bersama-sama dengan yang tidak menyenangkan”.
"Kalau begitu, Uttara, kau dapat makanan yang seperti saya makan, dan dan akan pula seperti kain yang saya kenakan”.
"Baik sekali," jawab Uttara dan melakukannya.
Selama ia memberikan dana, Pangeran Payasi memberikannya dengan kurang perhatian, memberikan tidak dengan tangannya sendiri, tanpa peduli, memberikan bahan yang tidak dibutuhkannya; setelah meninggal ia terlahir kembali di alam dewa Catummaharajika di istana Sarisaka yang kosong. Tetapi, pemuda Uttara yang telah mengeritik pernberian dana tersebut, dan ia sendiri memberikan dana dengan penuh perhatian, kesungguhan, memberikan dengan tangannya sendiri, memberikan bahan yang bermutu; setelah meninggal ia terlahir kembali di alam Tavatimsa.

34— Pada waktu itu, biasanya Bhikkhu Gavampati pergi beristirahat di Istana Sarisaka yang kosong. Pangeran Payasi yang pada waktu itu telah terlahir menjadi dewa di situ, datang menemuinya, menghormatnya dan berdiri di samping. Sementara ia berdiri, Bhikkhu Gavampati ber-tanya kepadanya; "Siapakah, anda? "
"Saya Pangeran Payasi”.
"Bukankah anda dahulu yang mempunyai pandangan bahwa tidak ada alam (kehidupan) yang lain, tidak ada makhluk yang terlahir secara langsung, dan tidak ada buah atau hasil dari perbuatan baik atau perbuatan buruk? "
"Benar, saya sendiri. Tetapi atas bantuan bhikkhu Kumara Kassapa maka saya meninggalkan pandangan salah tersebut”.
"Tetapi kemanakah pemuda Uttara yang telah mengeritik danamu, terlahir kembali?"
"Bhante, ia telah mengkritik pemberian danaku, dan ia sendiri telah memberikan dana dengan penuh perhatian, kesungguhan, memberikan dengan tangannya sendiri, memberikan bahan yang bermutu, setelah ia meninggal ia terlahir kembali di alam dewa Tavatimsa. Tetapi, saya sendiri telah memberikan dana dengan kurang perhatian, memberikan bukan dengan tanganku sendiri, tidak peduli, memberikan bahan yang kurang bermutu, setelah meninggal saya terlahir kembali di alam dewa Catummaharajika di Istana Sarisaka yang kosong.
Sebab itu, Bhante Gavampati, katakanlah kepada manusia di dunia: "Berikanlah dana kamu dengan penuh perhatian, kesungguhan, berikan dengan tangan sendiri, berikan bahan yang bermutu, karena Pangeran Payasi yang tidak memberikan hal-hal seperti itu, setelah meninggal, telah terlahir kembali di alam dewa Catummaharajika di Istana Sarisaka yang kosong. Tetapi, pemuda Uttara yang memberikan dana dengan penuh pengertian, perhatian, kesunguhan, memberikan dengan tangannya sendiri, memberikan bahan yang bermutu, setelah menmggal dunia, telah terlahir kembali di alam dewa Tavatimsa”.
Demikianlah, Bhikkhu Gavampati kembali ke alam manusia, dan memberitahukan hal tersebut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar