Selasa, 16 Maret 2010

POTTHAPADA SUTTA

1— Demikianlah yang saya dengar:
Pada suatu waktu Bhagava berada di Jetavana, arama Anathapindika, Savatthi. Pada suatu ketika pertapa pengembara Potthapada berada arama Millika, di sebuah ruangan yang dibuat untuk tempat berdiskusi. Ruangan ini dikelilingi oleh rangkaian pohon-pohon Tinduka, dan ruangan ini dikenal sebagai sala (ruangan). Bersama dia ada sebanyak tiga ratus pertapa.

2— Pada suatu pagi, setelah Bhagava mengenakan jubah bawah, membawa tempat makan (patta) dan jubah (civara) pergi ke Savatthi untuk menerima makanan (pindapata). Kemudian Bhagava berpikir: ‘Masih terlalu pagi untuk pindapata di Savatthi, sebaiknya saya pegi ke sala, ke ruangan diskusi, di arama Mallika, di situ ada Potthapada. Beliau ke tempat itu.

3— Ketika itu Potthapada sedang duduk bersama sekelompok pertapa dan sedang berbincang-bincang dengan suara yang nyaring, berteriak dan gaduh, membicarakan tentang cerita duniawi, seperti: cerita tentang raja-raja, menteri-menteri negara, pertempuran, teror, perampok; cerita tentang makanan dan minuman, pakaian, tempat tidur, bunga-bungaan dan parfum, cerita tentang hubungan; cerita tentang sarana perlengkapan; cerita tentang desa-desa, kampung-kampung, kota-kota, negara-negara; cerita tentang wanita dan kesatria; gosip di persimpangan jalan, di tempat pengambilan air; cerita hantu; cerita tak menentu; cerita legenda tentang terjadinya daratan dan lautan; dan spekulasi tentang eksistensi dan non-eksistensi.

4— Pertapa Potthapada melihat Bhagava di kejauhan sedang mendatangi. Setelah melihat beliau ia [Potthapada] berkata kepada para pertapa: “Saudara-saudara, diam! Jangan ribut! Samana Gotama datang. Dia adalah orang yang senang dengan ketenang-an, membanggakan ketenangan. Betapa baiknya jika ia melihat kita diam, maka ia akan berpikir pantas untuk bersama-sama dengan kita! Setelah berkata begitu, para pertapa diam”.

5— Bhagava mendatangi tempat pertapa pengembara Potthapada. Lalu Potthapada berkata kepada Bhagava: “Mari bhante. Selamat datang bhante. Bhante telah berjalan jauh hingga ke sini. Silahkan duduk. Ini tempat yang telah tersedia”.
Bhagava duduk, sedangkan Potthapada mengambil tempat duduk yang agak rendah dan duduk di samping beliau. Setelah ia duduk, Bhagava berkata kepadanya: “Potthapada, apa yang menjadi pokok pembicaraan anda sekalian dengan duduk di sini; percakapan apa yang sedang berlangsung di antara anda sekalian yang baru saja terhenti?”
6— Setelah beliau bertanya begitu, Potthapada berkata: “Bhante, tidak perlu dipersoalkan topik yang kami bicarakan dengan duduk di sini. Tidak ada kesulitan bagi Bhagava bila akan mendengarkannya nanti. Bhante, pada waktu yang telah lama, telah beberapa kali banyak macam guru, Samana dan Brahmana berkumpul dan mereka duduk di ruang diskusi, percakapan mereka mencekam, dan pertanyaannya adalah: “Saudara-saudara, bagaimana lenyapnya pencerapan / kesadaran (abhisañña nirodha)?”.
Pada waktu itu ada yang berkata: “Ide-ide muncul pada seseorang tanpa alasan dan tanpa sebab, begitu pula ide-ide itu lenyap. Ketika ide-ide itu muncul dalam dirinya, ia menjadi sadar; ketika ide-ide itu lenyap, ia menjadi tidak sadar. Begitulah mereka menerangkan tentang abhisañña nirodha”.
Ada beberapa orang lain berkata: “Saudara-saudara, itu tidak pernah seperti yang anda sekalian katakan. Kesadaran adalah jiwa manusia. Itu adalah jiwa yang datang dan pergi. Ketika jiwa itu masuk kedalam diri manusia, maka ia sadar; ketika jiwa keluar dari diri manusia, maka ia menjadi tidak sadar. Begitulah keterangan orang-orang lain tentang abhisañña nirodha”.
Orang-orang lain berkata: “Saudara-saudara, itu tidak pernah seperti yang anda sekalian katakan. Tetapi ada beberapa Samana dan Brahmana tertentu yang memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar. ‘Mereka yang memasukkan kesadaran ke dalam diri manusia dan mengeluarkan kesadaran dari diri manusia. Ketika mereka memasukkannya ke dalam diri manusia, maka ia menjadi sadar; namun ketika mereka mengeluarkan kesadaran dari diri manusia, maka ia menjadi tidak sadar’. Begitulah keterangan orang-orang lain tentang abhisañña nirodha”.
“Bhante, kemudian ingatan saya tentang Bhagava muncul dalam diriku, dan saya berpikir: ‘Apakah Bhagava, apakah Sugata ada di sini, beliau adalah yang ahli tentang dhamma dalam ini’. Karena Bhagava tahu tentang abhisanna nirodha. Bhante, bagaimana tentang lenyapnya kesadaran (abhisañña nirodha) ?”

7— [Kemudian Bhagava memberikan komentar] “Potthapada, baiklah. Para Samana dan Brahmana yang mengatakan bahwa ide-ide muncul dan lenyap pada diri seseorang adalah tanpa alasan dan tanpa sebab, adalah salah sejak dari mula. Sesungguhnya berdasarkan pada alasan dan sebab itulah, maka ide-ide muncul dan lenyap. Berdasarkan latihan (sikha) maka ide-ide muncul dan lenyap”. “Apakah latihan itu?” lanjut Bhagava.

8— “Potthapada, seandainya di dunia ini muncul seorang Tathagata, yang maha suci, yang telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuannya serta tindak tanduknya, sempurna menempuh jalan, pengenal segenap alam, pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, guru para dewa dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan. Beliau mengajar-kan pengetahuan yang telah diperoleh melalui usahanya sendiri kepada orang-orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan. Beliau mengajar-kan pengetahuan yang telah di peroleh melalui usahanya sendiri kepada orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, mara dan Brahmana; para pertapa, Brahmana, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan dhamma (kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan, indah pada akhir dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup suci (brahmacariya) yang sempurna dan suci”.

9— “Kemudian, seorang berkeluarga atau salah seorang dari anak-anaknya atau seorang dari keturunan keluarga rendah berbagai tingkat masyarakat; setelah mendengarkan Dhamma itu, ia memperoleh keyakinan terhadap Tathagata. Setelah ia memiliki keyakinan itu, timbullah perenungan dalam dirinya [yaitu] : ‘Sesungguhnya, hidup berkeluarga itu penuh dengan rintangan, jalan yang penuh dengan kekotoran nafsu. Bebas seperti udara bagi seseorang yang meninggalkan kehidupan duniawi. Betapa sulitnya seseorang yang hidup berumah-tangga untuk hidup tanpa berumah tangga (pabbajja). Sebaiknya saya mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk menempuh hidup pabbajja’.

10— “Potthapada, setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan peraturan-peraturan bhikkhu (patimokkha), sempurna peri-laku dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekali pun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya. Ia memiliki perhatian-perhatian seksama dan pengertian jelas (sati sampajjana) dan hidup puas”

11— “Potthapada, bagaimanakah, seorang bhikkhu yang sempurna silanya?”
“Potthapada, dalam hal ini, seorang bhikkhu [melaksanakan hal-hal berikut] :
 menjauhi pembunuhan,
 Menahan diri dari pembunuhan mahkluk-makhluk.
 Setelah membuang alat pemukul dan pedang,
 Malu dengan perbuatan kasar;
 Ia hidup dengan penuh cinta kasih, kasih sayang dan bajik terhadap semua makhluk,
 Menjauhi pencurian,
 Menahan diri dari memiliki apa yang tidak diberikan;
 Ia hanya mengambil apa yang tidak diberikan;
 Ia hanya mengambil apa yang diberikan dan tergantung pada pemberian;
 Ia hidup jujur dan suci.
 Menjauhi hubungan kelamin,
 Menjalankan hidup suci (brahma-cariya)
 Ia menahan diri dari perbuatan-perbuatan rendah.

Inilah sila yang dimilikinya”.

12— “[kemudian melanjutkan]
 Menjauhi kedustaan,
 menahan diri dari dusta,
 ia berbicara benar, tidak menyimpang dari kebenaran,
 jujur dan dapat dipercaya, serta
 tidak mengingkari kata-katanya sendiri di dunia,
 Menjauhi ucapan fitnah,
 menahan diri dari memfitnah;
 apa yang ia dengar di sini tidak akan diceritakannya di tempat lain sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sini.
 Apa yang ia dengar di tempat lain tidak akan diceritakannya di sini sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sana.
 Ia hidup menyatukan mereka yang terpecah-belah,
 pemersatu,
 mencintai persatuan,
 mendambakan persatuan;
 persatuan merupakan tujuan pembicaraannya.
 Menjauhi ucapan kasar,
 menahan diri dari penggunaan kata-kata kasar;
 ia hanya mengucapkan kata-kata yang tidak tercela,
 [berkata yang] menyenangkan, menarik, berkenan di hati, sopan, enak didengar dan disenangi orang.

Inilah sila yang dimilikinya

 Menjauhi pembicaraan sia-sia,
 menahan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat;
 ia berbicara pada saat yang tepat,
 sesuai dengan kenyataan, berguna,
 berbicara tentang dhamma dan vinaya pada saat yang tepat,
 ia mengucapkan kata-kata yang berharga untuk didengar,
 penuh dengan gambaran yang tepat,
 memberikan uraian yang jelas dan tidak berbelit-belit.

Inilah yang dimilikinya”.

13— [Kemudian melanjtkan]
 Ia menahan diri untuk tidak merusak benih-benih dan tumbuh-tumbuhan.
 Ia makan sehari sekali,
 tidak makan setelah tengah hari.
 Ia menahan diri dari menonton pertunjukkan-pertunjukkan, tari-tarian, nyanyian dan musik.
 Ia menahan dari penggunaan alat-alat kosmetik, karangan-karangan bunga, wangi-wangian dan perhiasan-perhiasan.
 Ia menahan diri dari penggunaan tempat tidur yang besar dan mewah.
 Ia menahan diri dari menerima emas dan perak.
 Ia menahan diri dari menerima gandum (padi) yang belum dimasak.
 Ia menahan diri dari menerima daging yang belum dimasak.
 Ia menahan diri dari menerima wanita dan perempuan-perempuan muda.
 Ia menahan diri dari menerima budak belian lelaki dan budak belian perempuan.
 Ia menahan diri dari menerima biri-biri atau kambing,
 Ia menahan diri dari menerima bagi dan unggas,
 Ia menahan diri dari menerima gajah, sapi dan kuda.
 Ia menahan diri dari menerima tanah-tanah pertanian.
 Ia menahan diri dari menipu dengan timbangan, mata uang maupun ukuran-ukuran.
 Ia menahan diri dari perbuatan menyogok, menipu dan penggelapan.
 Ia menahan diri dari perbuatan melukai, membunuh, memperbudak, merampok, menodong dan menganiaya.

Inilah sila yang dimilikinya”.

14— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan, seperti: tumbuhan yang berkembang biak dari akar-akaran, tumbuhan yang berkembang biak dari tetangkaian, tumbuhan yang berkembang biak dari ruas-ruas atau tumbuhan yang berkembang biak dari kecambah-kecambahan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan. Inilah sila yang dimilikinya”

15— ”Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan barang-barang yang ditimbun, simpanan, seperti: bahan makanan simpanan, minuman simpanan, jubah simpanan, perkakas-perkakas simpanan, bumbu makanan simpanan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari menggunakan barang-barang yang ditimbun semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

16— ”Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih menonton aneka macam pertunjukkan, seperti:
‘tari-tarian, nyanyian-nyanyian, musik, pertunjukkan panggung, opera, musik yang diiringi dengan tepuk tangan, pembacaan deklamasi, permainan tambur, drama kesenian, permainan akrobat di atas galah, adu gajah, adu kuda, adu sapi, adu banteng, pertandingan tinju, pertandingan gulat, perang perangan, pawai, inspeksi, parade; namun seorang bhikkhu menahan diri dari menonton aneka macam pertunjukkan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

17— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terikat dengan aneka macam permainan dan rekreasi, seperti: permainan catur dengan papan berpetak delapan baris, permainan catur dengan papan berpetak sepuluh baris, permainan dengan membayangkan papan catur tersebut di udara, permainan melangkah satu kali pada diagram yang digariskan di atas tanah, permainan dengan cara memindahkan benda-benda atau orang dari satu tempat ke lain tempat tanpa menggoncangkannya, permainan lempar dadu, permainan memukul kayu pendek dengan menggunakan kayu panjang, permainan mencelup tangan ke dalam air berwarna dan menempelkan telapak tangan ke dinding, permainan bola, permainan meniup sempritan yang dibuat dari daun palem, permainan meluku dengan luku mainan, permainan jungkir balik (salto), permainan dengan kitiran yang dibuat dari daun palem, bermain dengan timbangan mainan yang dibuat dari daun palem, bermain dengan kereta perang mainan, bermain dengan panah-panah mainan, menebak tulisan-tulisan yang digoreskan di udara atau pada punggung seseorang, menebak pikiran teman bermain,
‘seorang bhikkhu menahan diri dari aneka macam permainan dan rekreasi semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”

18— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah, seperti: dipan tinggi yang dapat dipindah-pindahkan yang panjangnya enam kaki, dipan dengan tiang-tiang berukiran gambar binatang-binatang seprei dari bulu kambing atau bulu domba yang tebal, seprei dengan bordiran warna warni, selimut putih, seprei dari wol yang disulam dengan motif bunga-bunga, selimut yang diisi dengan kapas dan wol, seprei yang disulam dengan gambar harimau dan singa, seprei dengan bulu binatang pada kedua tepinya, seprei dengan bulu binatang pada salah satu tepinya, seprei dengan sulaman permata, seprei dari sutra, selimut yang dapat dipergunakan oleh enam belas orang, selimut gajah, selimut kuda atau selimut kereta, selimut kulit kijang yang dijahit, selimut dari kulit sebangsa kijang, permadani dengan tutup kepala dan kaki; namun seorang bhikkhu menahan diri untuk tidak mempergunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

19— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih memakai perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri, seperti: melumuri, mencuci dan menggosok tubuhnya dengan bedak wangi; memukuli tubuhnya dengan tongkat perlahan-lahan seperti ahli gulat; memakai kaca, minyak mata (bukan obat), bunga-bunga, pemerah pipi, kosmetika, gelang, kalung, tongkat jalan (untuk bergaya), tabung bambu untuk menyimpan obat, pedang, alat penahan sinar matahari, sandal bersulam, sorban, perhiasan dahi, sikat dari ekor binatang yak, jubah putih panjang yang banyak lipatannya; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari pemakaian perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

20— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam percakapan-percakapan yang rendah, seperti: percakapan tentang raja-raja, percakapan tentang mencuri, percakapan tentang menteri-menteri, percakapan tentang angkatan-angkatan perang, percakapan tentang pembunuhan-pembunuhan, percakapan tentang pertempuran pertempuran, percakapan tentang makanan, percakapan tentang minuman, percakapan tentang pakaian, percakapan tentang tempat tidur, percakapan tentang karangan-karangan bunga, percakapan tentang wangi-wangian, pembicaraan-pembicaraan tentang keluarga, percakapan tentang kendaraan, percakapan tentang desa, percakapan tentang kampung, percakapan tentang kota, percakapan tentang negara, percapakan tentang wanita, percakapan tentang lelaki, percakapan di sudut-sudut jalanan, percakapan tentang hantu-hantu jaman dahulu, percakapan yang tidak ada ujung pangkalnya, spekulasi tentang terciptanya daratan, spekulasi tentang terciptanya lautan, percakapan tentang eksistensi dan non eksistensi; namun seorang bhikkhu menahan diri dari percakapan-percakapan yang rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.

21— “Meskipun beberapa pertapa Brahmana hidup dari makanan yang disedikanan oleh umat yang berbakti, mereka disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam kata-kata perdebatan, seperti:
 “Bagaimana seharusnya engkau mengerti dhamma vinaya ini?
 “Engkau menganut pandangan-pandangan keliru, tetapi aku menganut pandangan-pandangan benar”.
 “Aku berbicara langsung pada pokok persoalan, tetapi engkau tidak berbicara langsung pada pokok persoalan”.
 “Engkau membicarakan di bagian akhir tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian permulaan; dan membicarakan di bagian permulaan tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian akhir”.
 “Apa yang lama telah engkau persiapkan untuk dibicarakan, semuanya itu telah usang”.
 Kata-kata bantahanmu itu telah ditentang, dan engkau ternyata salah”.
 “Berusahalah untuk menjernihkan pandangan-pandanganmu; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari kata-kata perdebatan semacam itu” .
Inilah sila yang dimilikinya”.

22— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih berlaku sebagai pembawa berita, pesuruh dan bertindak sebagai perantara dari raja-raja, menteri-menteri negara, kesatria, Brahmana, orang berkeluarga atau pemuda-pemuda, yang berkata: “Pergilah ke sana, pergilah ke situ, bawalah ini, ambilkan itu dari sana”; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari tugas-tugas sebagai pembawa berita, pesuruh dan perantara semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

23— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih melakukan tindakan-tindakan penipuan dengan cara: merapalkan kata-kata suci, meramal tanda-tanda dan mengusir dengan tujuan mem-peroleh keuntungan setelah memperlihatkan sedikit kemampuan-nya; namun seorang bhikkhu menahan diri dari tindakan-tindakan penipuan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

24— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disedikan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah,
 seperti meramal dengan melihat guratan-guratan tangan,
 meramal melalui tanda-tanda dan alamat-alamat,
 menujumkan sesuatu dari halilintar atau keanehan-keanehan benda langit lainnya,
 meramal dengan mengartikan mimpi-mimpi,
 meramal dengan melihat tanda-tanda pada bagian tubuh,
 meramal dari tanda-tanda pada pakaian yang digigit tikus,
 mengadakan korban pada api,
 mengadakan selamatan yang dituang dari sendok,
 memberikan persembahan dengan sekam untuk dewa-dewa,
 memberikan persembahan dengan bekatul untuk dewa-dewa,
 memberikan persembahan dengan mentega untuk dewa-dewa,
 memberikan persembahan dengan minyak untuk dewa,
 mempersembahkan biji wijen dengan menyemburkannya dari mulut ke api,
 mengeluarkan darah dari lutut kanan sebagai tanda persembahan kepada dewa-dewa,
 melihat dan meramalkan apakah orang itu mujur, beruntung atau sial;
 menentukan apakah letak rumah itu baik atau tidak
 menasehati cara-cara pengukuran tanah;
 mengusir setan-setan di kuburan; mengusir hantu,
 mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah,
 [menggunakan] mantra untuk [mengusir/menjinakkan] kelajengking,
 [menggunakan] mantra untuk [mengusir/menjinakkan] tikus,
 [menggunakan] mantra untuk [mengusir/menjinakkan]burung,
 [menggunakan] mantra untuk [mengusir/menjinakkan]burung gagak,
 meramal umur,
 mantra melepas panah, keahlian untuk mengerti bahasa binatang; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-limu rendah semacam itu.

Inilah sila yang dimilikinya”.

25— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: pengetahuan tentang tanda-tanda atau alamat-alamat baik atau buruk dari benda-benda, yang menyatakan kesehatan atau keberuntungan dari pemiliknya, seperti: batu-batu permata, tongkat, pedang, panah, busur, senjata-senjata lainnya; wanita, laki-laki, anak lelaki, anak perempuan, budak lelaki, budak perempuan gajah, kuda, kerbau , sapi jantan, sapi betina, burung nasar, kura-kura, dan binatang-binatang lainnya; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

26— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramal dengan akibat: pemimpin akan maju, pemimpin akan mundur, pemimpin kita akan menyerang dan musuh-musuh akan mundur, pemimpin musuh akan menyerang dan pemimpin kita akan mundur, pemimpin kita akan menang dan pemimpin musuh akan kalah, pemimpin musuh akan menang dan pemimpin kita akan kalah; jadi kemenangan ada di pihak ini dan kekalahan ada di pihak itu; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

27— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan adanya gerhana bulan, gerhana matahari, gerhana bintang, matahari atau bulan akan menyimpang dari garis edarnya, matahari atau bulan akan kembali pada garis edarnya, adanya bintang yang menyimpang dari garis edarnya, bintang akan kembali pada garis edarnya, meteor jatuh, hutan terbakar, gempa bumi, halilintar, matahari, bulan dan bintang akan terbit, terbenam, bersinar dan suram; atau meramalkan lima belas gejala tersebut akan terjadi yang akan mengakibatkan sesuatu; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

28— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan turun hujan yang berlimpah-limpah, turun hujan yang tidak mencukupi, hasil panen yang baik, masa paceklik (kekurangan bahan makanan), keadaan damai, keadaan kacau, akan terjadi wabah sampar, musim baik; meramal dengan menghitung jari, tanpa menghitung jari; ilmu menghitung jumlah besar, menyusun lagu, sajak, nyanyian rakyat yang popular dan ada kebiasaan; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

29— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: mengatur hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk dibawa pulang, mengatur hari baik baik mempelai pria atau wanita untuk dikirim pergi, menentukan saat baik untuk menentukan perjanjian damai (atau mengikat persaudaraan dengan menggunakan mantra), menentukan saat yang baik untuk membuat per-musuhan, menentukan saat baik untuk menagih hutang, menentukan saat baik untuk memberi pinjaman, menggunakan mantra untuk membuat orang beruntung, menggunakan mantra untuk membuat orang sial, menggunakan mantra untuk menggugurkan kandungan, menggunakan mantra untuk mendiamkan rahang seseorang, menggunakan mantra untuk membuat orang lain mengangkat tangannya, menggunakan mantra untuk menimbulkan ketulian, mencari jawaban dengan melihat-lihat kaca ajaib, mencari jawaban melalui seorang gadis yang kerasukan, mencari jawaban dari dewa, memuja matahari memuja maha ibu (dewa tanah) mengeluarkan api dari mulut, memohon kepada dewi Sri, atau dewi keberuntungan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

30— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: berjanji akan memberikan persembahan-persembahan kepada para dewa apabila keinginannya terkabul, melaksanakan janji-janji semacam itu, mengucapkan mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mengucapkan mantra untuk menimbulkan kejantanan, membuat pria menjadi impotent, menentukan letak yang tepat untuk membangun rumah, mengucapkan mantra untuk membersihkan tempat, melakukan upacara pembersihan mulut, melakukan upacara mandi, mempersembahkan korban, memberikan obat bersin untuk mengobat sakit kepala, meminyaki telinga orang lain, merawat mata mata orang, memberikan obat melalui hidung, memberi collyrium di mata, memberikan obat tetes pada mata, menjalankan praktek sebagai okultis, menjalankan praktek sebagai dokter anak-anak, meramu obat-obatan dari bahan akar-akaran, membuat obat-obatan; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

31— “Potthapada, selanjutnya seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat adanya bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian terhadap sila. Potthapada, sama seperti seorang kesatria yang patut dinobatkan menjadi raja, yang musuh-musuh telah di kalahkan, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan musuh-musuh; demikian pula, seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian-sila. Dengan memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan suatu kebahagiaan murni (anavajja sukkham). Potthapada, demikianlah seorang Samana atau brahamana yang memiliki sila sempurna”.
32— “Potthapada, bagaimanakah seorang Samana atau Brahmana memiliki penjagaan atas pintu-pintu inderanya? Potthapada, bilamana seorang Samana atau barahamana melihat suatu obyek dengan matanya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penglihatannya. Ia menjaga indera penglihatannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengelihatannya. Bilamana ia mendengar suara dengan telinganya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pendengarnya. Ia menjaga indera pendengarannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pendengarannya. Bilamana ia mencium bau dengan hidungnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penciumannya. Ia menjaga indera penciumannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera penciumannya”.
“Bilamana ia mengecap rasa lidahnya, Ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pengecapannya. Ia menjaga indera pengecapan-nya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengecapannya”.
“Bilamana ia merasakan suatu sentuhan dengan tubuhnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera perabanya. Ia menjaga indera perabanya, dan memiliki pengendalian terhadap indera perabanya”.
“Bilamana ia mengetahui sesuatu (dhamma) dengan pikirannya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera pikirannya. Ia menjaga indera pikirannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pikirannya”.
“Dengan memiliki pengendalian diri yang mulia ini terhadap indera-inderanya, ia merasakan suatu kebahagiaan yang tidak dapat diterobos oleh noda apapun. Potthapada, demikianlah, Potthapada, seorang Samana atau Brahmana yang memiliki pengendalian atas pintu-pintu inderanya”

33— “Potthapada, bagaimanakah seorang Samana atau Brahmana memiliki perhatian-seksama dan pengertian jelas (sati-sampajana)? Potthapada, dalam hal ini seorang Samana atau Brahmana mengerti dengan jelas sewaktu ia pergi atau sewaktu kembali; ia mengerti dengan jelas sewaktu melihat ke depan atau melihat ke samping; ia mengerti dengan jelas sewaktu mengenakan jubah atas (sanghati), jubah luar (civara) atau mengambil mangkuk (patta); ia mengerti dengan jelas sewaktu makan, minum, mengunyah atau menelan; ia mengerti dengan jelas sewaktu buang air atau sewaktu kencing; ia mengerti dengan jelas sewaktu dalam keadaan berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun, berbicara atau diam. Potthapada, demikianlah seorang Samana atau Brahmana yang memiliki perhatian seksama dan pengertian jelas”

34— “Potthapada, bagaimanakah seorang Samana atau Brahmana merasa puas (santuttha)? Potthapada, dalam hal ini seorang Samana atau Brahmana merasa puas dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Dan ke mana pun ia akan pergi, ia pergi hanya dengan membawa hal-hal ini. Potthapada, sama seperti seekor burung dengan sayapnya, ke manapun akan terbang, burung itu terbang hanya dengan membawa sayapnya. Potthapada, demikian pula seorang Samana atau Brahmana merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Maka, ke mana pun ia akan pergi, ia hanya dengan membawa hal-hal ini. Potthapada, demikianlah seorang Samana atau Brahmana merasa puas”

35— “Setelah memiliki kelompok sila yang mulia ini, memiliki pengendalian terhadap indera-indera yang mulia ini (ariyena indriya-samvarena), memiliki perhatian seksama dan pengertian jelas yang mulia ini, memiliki kepuasan yang mulia ini, ia memilih tempat-tempat sunyi di hutan, di bawah pohon, di lereng bukit, di celah gunung, di gua karang, di tanah-kuburan, di dalam hutan lebat, di lapangan terbuka, di atas tumpukan jerami untuk berdiam. Setelah pulang dari usahanya mengumpulkan dana makanan dan selesai makan; ia duduk bersila, badan tegak, sambil memusatkan perhatiannya ke depan”.
36— “Dengan menyingkirkan kerinduan terhadap keduniawian, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari kerinduan, membersihkan pikirannya dari nafsu-nafsu. Dengan menyingkirkan itikad jahat, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari itikad jahat, dengan pikiran bersahabat serta penuh kasih sayang terhadap semua makhluk, semua yang hidup, ia membersihkan pikirannya dari itikad jahat. Dengan menyingkirkan kemalasan dan kelambanan, ia berdiam dalam keadaan bebas dari kemalasan dan kelambanan; dengan memusatkan perhatiannya pada pencerapan terhadap cahaya (alokasanni), ia membersihkan pikirannya dari kemalasan dan kelambanan. Dengan menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatiran, ia bebas dari kekacauan; dengan batin tenang, ia membersihkan pikirannya dari kegelisahan dan kekhawatiran. Dengan menyingkir-kan keragu-raguan, ia menjadi orang yang telah mengatasi keragu-raguan; dengan tidak lagi ragu-ragu terhadap apa yang baik, ia membersihkan pikirannya dari keragu-raguan”.
37— “Potthapada, sama halnya seperti seseorang, yang setelah berhutang, ia berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja ia mampu membayar kembali pinjaman hutangnya, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri. Dan ia berpikir: “Dahulu aku berhutang dan berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja aku dapat membayar kembali pinjaman hutangku, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri”. Dengan demikian ia merasa gembira dan senang atas hal itu”.

38— “Potthapada, sama halnya seperti seorang yang diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaannya, tidak dapat mencerna makanannya, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam dirinya; namun setelah beberapa waktu ia sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanannya sehingga kekuatannya pulih. Dan ia berpikir: ‘Dahulu aku diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaanku, tidak dapat mencerna makananku, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam diriku; namun, sekarang aku telah sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanan sehingga kekuatanku pulih’. Dengan demikian ia merasa gembira dan senang atas hal itu”.

39— “Potthapada, sama halnya seperti seorang yang ditahan dalam rumah penjara, dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari tahanannya, aman dan sehat, barang-barangnya tidak ada yang dirampas. Dan ia berpikir: ‘Dahulu aku ditahan dalam rumah penjara, sekarang aku telah bebas dari tahanan, aman dan sehat, barang-barangku tidak ada yang dirampas’. Dengan demikian ia merasa gembira dan senang atas hal itu”

40— “Potthapada, sama halnya seperti seseorang yang menjadi budak, bukan tuan bagi dirinya sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana ia suka; dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari perbudakan itu, menjadi tuan bagi dirinya sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas pergi ke mana ia suka. Dan ia berpikir: ‘Dahulu aku seorang budak, bukan tuan bagi diriku sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana aku suka; dan sekarang aku telah bebas dari perbudakan, menjadi tuan bagi diriku sendiri, tindak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas, bebas ke mana aku suka’. Dengan demikian ia merasa gembira dan senang atas hal itu”.

41— Potthapada, sema halnya seperti seorang yang dengan membawa harta dan barang-barang, melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan setelah beberapa waktu ia berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desanya, suatu tempat yang aman dan tidak ada bahaya. Dan ia berpikir: ‘Dahulu, dengan membawa harta dan barang-barang, aku melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan sekarang aku telah berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desaku, suatu tempat yang aman dan tidak ada bahaya’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu”.

42— “Potthapada, demikianlah, selama lima rintangan batin (panca nivarana) belum disingkirkan, seorang Samana atau Brahmana merasakan dirinya seperti orang yang berhutang, terserang penyakit, dipenjara, menjadi budak, melakukan perjalanan di padang pasir. Potthapada, tetapi setelah lima rintangan itu disingkirkan, maka seorang Samana atau Brahmana merasa dirinya seperti orang yang telah bebas dari hutang, bebas dari penyakit, keluar dari penjara, bebas dari pebudakan, sampai di tempat yang aman.

43— “Ketika ia menyadari bahwa lima rintangan batin itu telah disingkirkan dari dalam dirinya, maka timbullah kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti); karena kegiuran, maka seluruh tubuhnya terasa tenang; karena tubuh diliputi ketenangan, maka ia merasa bahagia; karena bahagia, maka pikirannya menjadi terpusat. Kemudian, karena telah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk dan berdiam dalam Jhana pertama; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (piti sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai dengan vitakka (pengarahan pikiran pada obyek) dan vicara (mempertahankan pikiran pada obyek). Kemudian, pada saat itu dalam dirinya ide atau pencerapan nafsu indera (kama-sañña) yang telah ia miliki lenyap; sedangkan ide atau pencerapan (sañña) kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha) yang nyata dan halus muncul karena kebebasan (viveka), ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu.
“Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sañña muncul; dan melalui latihan, semacam sanna lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan, “kata Bhagava”.

44(11)— ”Potthapada, selanjutnya seorang bhikkhu telah membebaskan diri dari vitakka dan vicara, memasuki dan berdiam dalam Jhana kedua; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai vitakka dan vicara, keadaan pikiran terpusat. Kemudian ide (sañña) kegiuran dan ketenangan karena kebebasan yang nyata, yang baru saja ia miliki, lenyap. Selanjutnya pada saat itu dalam dirinya muncul ide kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha) yang halus dan nyata, yang muncul sebagai hasil meditasi (samadhi). Ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu”
“Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sanna muncul; dan melalui latihan, semacam sanna lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan, “kata Bhagava”.

45(12)— ”Potthapada, selanjutnya seorang bhikkhu membebaskan dirinya dari kegiuran dan nafsu indera, batin seimbang disertai perhatian seksama dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, keadaan ini yang dikatakan oleh para ariya sebagai “bahagia disertai perhatian seksama dan batin seimbang”. Ia masuk dan berada dalam Jhana Ketiga. Pada saat itu dalam dirinya, kegiuran lembut dan nyata yang telah muncul sebagai hasil samadhi, lenyap; sedangkan kebahagiaan (sukha) lembut dan nyata muncul sebagai hasil keseimbangan batin (upekkha). Ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu”.

“Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sanna muncul; dan melalui latihan, semacam sañña lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan, “kata Bhagava”.

46(13)— ”Potthapada, selanjutnya dengan menyingkirkan sukha-dukkha (kebahagiaan dan penderitaan fisik) dan somana-domana (kebahagiaan dan penderitaan mental) yang telah dirasakan sebelumnya, Samana atau Brahmana itu memasuki dan berdiam dalam Jhana Keempat, yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang (upekha), memiliki perhatian seksama yang murni (satiparisuddhi), bebas dari perasaan bahagia dan tidak bahagia. Selanjutnya pada saat itu dalam dirinya, kebahagiaan lembut dan nyata yang ia miliki sebagai hasil dari upekha, lenyap; sedangkan keadaan batin yang adukkha-asukha (bukan penderitaan dan bukan kebahagiaan) lembut dan nyata, muncul. Ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu”.
“Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sanna muncul; dan melalui latihan, semacam sañña lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan, “kata Bhagava”.

47(14)— Potthapada, selanjutnya seorang bhikkhu dengan melampaui semua ide bentuk jasmani (rupa-sañña), meninggalkan ketidak-senangan (patigha-sañña), dan tanpa memperdulikan ide membedakan, berpikir: “Ruang tanpa batas”, ia mencapai dan berdiam dengan pikiran yang hanya berkenaan dengan kesadaran tentang ruang tanpa batas. Kemudian kesadaran tentang jasmani yang ia telah miliki, lenyap; selanjutnya muncul kebahagiaan yang halus dan nyata, yang hanya berkenaan dengan ruang tanpa batas. Ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu. “Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sanna muncul; dan melalui latihan, semacam sañña lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan,” kata Bhagava.

48(15)— ”Potthapada, selanjutnya seorang bhikkhu dengan melampaui semua ide ruang tanpa batas (akasañancayatana), berpikir: “Kesadaran tanpa batas” (anantamviññanan), ia mencapai dan berdiam dengan pikiran yang hanya berkenaan dengan “kesadaran ruang tanpa batas” (viññanancayatana). Kemudian kesadaran tentang ruang tanpa batas yang halus dan nyata, ia telah miliki, lenyap; selanjutnya muncul kebahagiaan yang halus dan nyata, yang hanya berkenaan dengan kesadaran tanpa batas. Ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu”.
“Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sanna muncul; dan melalui latihan, semacam sañña lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan,” kata Bhagava.

49(16)— ”Potthapada, selanjutnya seorang bhikkhu dengan melampaui semua ide kesadaran tanpa batas (vinnanancayatana), berpikir: “Tidak ada yang sesungguhnya ada” (n’atthi kinciti), ia mencapai dan berdiam dengan pikiran yang hanya berkenaan dengan “sesuatu itu tidak nyata atau kekosongan tanpa batas (akincañanacayatana)”. Kemudian kesadaran tentang kesadaran tanpa batas yang halus dan nyata, ia telah miliki, lenyap; selanjutnya muncul kebahagiaan yang halus dan nyata, yang hanya berkenaan dengan kekosongan tanpa batas. Ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu”.
“Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sanna muncul; dan melalui latihan, semacam sañña lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan, “kata Bhagava”.

50(17)— ”Potthapada, sejak saat bhikkhu itu menyadari pencapaian tingkat tertentu (sejak mencapai Jhana I), yaitu ia mencapai tingakat tertentu ke tingkat lain, hingga ia mencapai tingkat kesadaran tertinggi. Ketika ia berada di tingkat tertinggi, hal ini muncul dalam pikirannya: “Memikirkan segala sesuatu adalah tingkat rendah. Lebih baik tidak berpikir. Bilamana saya berpikir dan merenung, ide-ide ini, kesadaran-kesadaran ini, yang telah saya capai, akan lenyap; selanjutnya kesadaran-kesadaran lain yang kasar akan muncul. Sebaiknya saya tidak berpikir dan merenung lagi”. Maka ia tidak berpikir. Selanjutnya ia tidak berpikir lagi, tidak merenung; maka ide-ide dan kesadaran-kesadaran yang telah ia miliki, lenyap; dan tidak ada lagi ide-ide kasar lain yang muncul. Dengan demikian ia mencapai pelenyapan (nirodha)”.
“Potthapada, itulah pencapaian pelenyapan dari kesadaran ide-ide secara bertahap”.

51(18)— ”Potthapada, bagaimana pendapatmu? Apakah sebelumnya anda pernah mendengar pencapaian secara bertahap tentang pelenyapan ide-ide (sañña-nirodha)?”
“Tidak, bhante. Saya tidak pernah mendengarnya. Tetapi sekarang saya mengerti apa yang bhante katakan : “Potthapada, sejak saat bhikkhu itu menyadari pencapaian tingkat tertentu (sejak mencapai Jhana I), yaitu ia mencapai tingakat tertentu ke tingkat lain, hingga ia mencapai tingkat kesadaran tertinggi. Ketika ia berada di tingkat tertinggi, hal ini muncul dalam pikirannya: “Memikirkan segala sesuatu adalah tingkat rendah. Lebih baik tidak berpikir. Bilamana saya berpikir dan merenung, ide-ide ini, kesadaran-kesadaran ini, yang telah saya capai, akan lenyap; selanjutnya kesadaran-kesadaran lain yang kasar akan muncul. Sebaiknya saya tidak berpikir dan merenung lagi”. Maka ia tidak berpikir. Selanjutnya ia tidak berpikir lagi, tidak merenung; maka ide-ide dan kesadaran-kesadaran yang telah ia miliki, lenyap; dan tidak ada lagi ide-ide kasar lain yang muncul. Dengan demikian ia mencapai pelenyapan (nirodha)”.
“Potthapada, itulah pencapaian pelenyapan dari kesadaran ide-ide secara bertahap”.
“Begitulah, Potthapada”.

52(19)— ”Bhante, apakah Bhagava mengajarkan satu kesadaran tertinggi (sannagga) atau ada beberapa kesadaran tertinggi?”
“Potthapada, menurut pendapat saya ada satu, namun ada juga beberapa”.
“Tetapi, bagaimana mungkin Bhagava mengajar kedua-duanya yang satu dan juga beberapa?”
“Karena ia mencapai pelenyapan (dari sati ide, satu kesadaran) satu per satu, sehingga ia mencapai satu per satu tingkat-tingkat yang berbeda hingga ke tingkat tertinggi. Potthapada, begitulah maka saya nyatakan satu kesadaran tertinggi atau beberapa”.

53(20)— ”Bhante, apakah ide (sanna) lebih dahulu muncul dan pengetahuan (nana) muncul belakangan. Atau apakah nana lebih dahulu muncul dan sanna muncul belakangan. Atau keduanya muncul bersamaan, atau tidak ada satu di antaranya yang muncul lebih dahulu daripada yang lain.?”
“Potthapada, ide (sanna) lebih dahulu muncul, dan kemudian pengetahuan (ñana) muncul. Pemunculan nana tergantung pada pemunculan sanna. Hal ini dapat dingerti dari kenyataan bahwa seseorang mengetahui : “Berdasarkan sebab ini, maka pengeta-huan itu muncul padaku”.

54(21)— ”Bhante, apakah ide, kesadaran, pencerapan (sañña) identik dengan jiwa (atta); atau sañña hal yang lain, dan atta hal yang lain?”
“Potthapada, mengapa anda mempersoalkan tentang atta?”
Lalu Pottapada menjelaskan “Bante, sebagai pendapat [saya], materi jiwa (atta) memiliki tubuh (rupa), dibentuk oleh empat unsur dan ditunjang oleh makanan”.
“Potthapada, bila ada jiwa seperti itu, maka kesadaran (sañña)-mu satu hal, dan jiwamu hal yang lain. Potthapada, hal itu dapat anda ketahui dengan pertimbangan berikut”.
“Potthapada, bila materi jiwa memiliki tubuh yang dibentuk oleh empat unsur dan ditunjang oleh makanan; tetapi masih ada beberapa ide atau beberapa kesadaran muncul pada orang itu, sedangkan ide dan kesadaran lain lenyap”.
“Potthapada, dalam hal ini, anda dapat melihat bagaimana kesadaran adalah satu hal dan jiwa hal yang lain”.

55(22)— ”Bhante, dalam hal ini saya kembali pada pertanyaan tentang jiwa yang dibuat oleh pikiran, dengan semua bagian besar dan kecil yang utuh, tidak ada bagian yang kurang”.
“Potthapada, perhatikan, anda memiliki jiwa seperti itu, maka saya akan menggunakan argumentasi yang sama”.

56(23)— ”Bhante, dalam hal ini saya kembali pada pertanyaan tentang jiwa yang tanpa tubuh, yang dibuat oleh kesadaran (sañña)”.
“Potthapada, perhatikan, anda memiliki jiwa seperti itu, maka saya akan menggunakan argumentasi yang sama”.

57(24)— ”Bhante, apakah mungkin bagi saya mengerti bahwa kesadaran (sañña) adalah jiwa manusia, atau yang satu berbeda dengan yang lain?”
“Potthapada sulit bagimu untuk mengerti, karena anda berpendapat seperti itu, memiliki pandangan yang berbeda-beda, hal-hal lain menjadi kenyataan bagimu, membuat banyak tujuan berbeda-beda didepanmu, mengusahakan kesempurnaan yang berbeda, dilatih dalam sistem ajaran berbeda!”

58(25)— ”Bila demikian, bagaimana pendapat Bhante: “Apakah dunia ini kekal? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari (avyakata)”.
“Apakah dunia ini tidak kekal? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
“Apakah dunia ini terbatas? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
“Apakah dunia ini tidak terbatas? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.

59.(26)--- ”Bhante, Apakah jiwa sama dengan jasmani? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
“Apakah jiwa berbeda dengan jasmani? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.

60.(27)-- “Apakah seorang Tathagata terlahir kembali setelah meninggal? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”.
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
“Apakah seorang Tathagata tidak terlahir kembali setelah meninggal? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
“Apakah seorang Tathagata terlahir kembali dan tidak terlahir kembali setelah meninggal? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
“Apakah seorang Tathagata bukan terlahir kembali dan bukan tidak terlahir kembali setelah meninggal? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
61.(28).-- “Bhante, mengapa Bhagava tidak memberi komentar?”
“Potthapada, pertanyaan ini tidak ada manfaatnya, tidak berkenaan dengan Dhamma, tidak berkaitan dengan penghidupan suci yang tinggi (adibrahmacariya), tidak mengarah pada pembebasan, tidak mensucikan diri dari nafsu, tidak membawa ke-pelenyapan kekotoran batin, tidak mengarah pada kedamaian batin, bukan pengetahuan kebenaran (abhiññaya), tidak mengarah pada penerangan sempurna (sambhodaya), tidak membawa ke-pencapaian nibbana. Itulah sebabnya saya tak perlu komentari”.

62.(29) ”Bhante, bila demikian, apakah yang Bhagava nyatakan (vyakata)?”.
“Potthapada, saya telah menyatakan tentang: Inilah dukkha Inilah penyebab dukkha (dukkha samudaya). Inilah lenyapnya dukkha (dukkha niroda). Inilah jalan atau cara melenyapkan dukkha (dukkha niroda gaminipatipada)”.

63. (30) “Bhante, tetapi mengapa Bhagava menyatakan hal ini?”
“Potthapada, karena hal ini pertanyaan ini ada manfaatnya, berkenaan dengan Dhamma, berkaitan dengan penghidupan suci yang tinggi (adibrahmacariya), mengarah pada pembebasan, mensucikan diri dari nafsu, membawa ke-pelenyapan kekotoran batin, mengarah pada kedamaian batin, menghasilkan pengetahu-an kebenaran (abhiññaya), mengarah pada penerangan sempurna (sambhodaya), membawa ke pencapaian nibbana. Itulah sebabnya saya nyatakan”.
“Demikianlah, Bhagava. Begitulah Sugata. Bhante, sekarang saatnya Bhagava melakukan apa yang pantas”.
Bhagava berdiri dari tempat duduk, dan meninggalkan tempat itu.

64.(31)--- Tak lama setelah Bhagava pergi, para pertapa mencemoohkan pertapa pengembara Potthapada, dari berbagai arah mereka mengejek dan mengatakan kata-kata pedas, dengan berkata:
“Sungguh, beginilah Potthapada, menerima apa saja yang dikatakan Samana Gotama”, dengan berkata: ‘Demikianlah Bhagava, begitulah Sugata’. Pada kami tidak melihat Samana Gotama memyatakan suatu ajaran yang jelas mengenai salah satu dari sepuluh pertanyaan:
 Apakah dunia ini kekal?
 Apakah dunia ini tidak kekal?
 Apakah dunia ini terbatas?
 Apakah dunia ini tidak terbatas?
 Apakah jiwa sama dengan jasmani?
 Apakah jiwa berbeda dengan jasmani?
 Apakah seorang Tathagata terlahir kembali setelah meninggal?
 Apakah seorang Tathagata tidak terlahir kembali setelah meninggal?
 Apakah seorang Tathagata terlahir kembali dan tidak terlahir kembali setelah meninggal?
 Apakah seorang Tathagata bukan terlahir kembali dan bukan tidak terlahir kembali setelah meninggal?
Setelah mereka berkata begitu, Potthapada berkata: “Saya juga tidak melihat ia menyatakan sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal itu. Tetapi, Samana Gotama menguraikan sebuah metode sesuai dengan apa adanya sesuatu itu, benar dan tepat, berdasarkan dhamma, dan sesuai dengan dhamma (dhammaniyama). Bagaimana saya menolak untuk menyetujuinya sesuatu yang telah diuraikan dengan baik; apa yang telah dikatakan dengan jelas oleh Samana Gotama?”.

65.(32)— Setelah dua atau tiga hari berlalu, Citta Hatthisari-putta bersama pertapa Potthapada pergi ke tempat Bhagava berada. Setelah tiba, Citta Hatthisari-putta menghormat Bhagava dan duduk di tempat yang tersedia. Sedangkan pertapa Potthapada saling memberi salam dengan Bhagava, mengucapkan kata-kata santun dan bersahabat, lalu duduk di tempat yang tersedia. Setelah ia duduk, ia berkata kepada Bhagava tentang cemohan yang dikatakan oleh para pertapa kepadanya, dan jawabannya kepada para pertapa.

66.(33)— ”Potthapada, semua pertapa itu adalah buta dan tidak melihat. Anda seorang yang dapat melihat di antara mereka. Potthapada, ada beberapa hal yang telah saya nyatakan pasti, namun ada hal-hal lain yang saya nyatakan tidak pasti. Sepuluh pertanyaan yang anda ajukan, karena adanya alasan-alasan, saya nyatakan hal-hal itu adalah tidak pasti. Sedangkan Empat Kebenaran Mulia, yaitu inilah Dukkha, Dukkha Samudaya, Dukkha Nirodha dan Dukkha Nirodha Gaminipatipada, saya nyatakan pasti”.

67(34)— ”Potthapada, ada beberapa Samana dan Brahmana yang beraliran tertentu dan berpandangan tertentu menyatakan bahwa: “Jiwa adalah bahagia dan sehat sempurna setelah meninggal”.
Saya [Samana Gotama] mengunjungi mereka, dan menanyakan “apakah hal itu adalah pandangan mereka atau tidak?”.
Mereka menjawab “ya” yang berarti memberitahukan bahwa itu pandangan mereka.
Saya [Samana Gotama] bertanya kepada mereka, “Apakah seberapa jauh mereka biasa mengetahui atau mengerti tentang dunia (bahwa orang dalam dunia), kebahagiaan sempurna?”.
Mereka menjawab :”Tidak”.
Selanjutnya saya [Samana Gotama] bertanya kepada mereka: “Saudara-saudara, lebih lanjut, dapatkah anda sekalian mempertahankan diri anda sekalian selama semalam, sehari penuh, atau setengah malam dan siang, tetap bahagia sempurna?”
Mereka menjawab : “Tidak”.
Saya [Samana Gotama] berkata kepada mereka: “Saudara-saudara, apakah anda mengetahui cara atau jalan yang dengan itu anda dapat merealisasikan keadaan kebahagiaan sempurna?”
Mereka tetap menjawab : “Tidak”.
Lalu saya [Samana Gotama] berkata: “Saudara-saudara, apakah anda sekalian pernah mendengar suara-suara para dewa yang telah merealisasikan kelahiran kembali di alam kebahagiaan sempurna, dengan berkata: “Wahai manusia, berlakulah sungguh-sungguh, berusahalah dengan giat, untuk merealisasikan (kelahiran kembali) di alam kebahagiaan sempurna. Karena sebagai hasil dari usaha seperti itu, kami telah terlahir kembali di alam kebahagiaan sempurna”.
Mereka tetap menjawab; “Tidak”.
“Potthapada, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata para Samana dan Brahmana itu merupakan hal yang tak memiliki dasar yang baik?”

67(35)— Bagaimana jika ada seseorang berkata: “Betapa aku merindukan, betapa saya mencintai wanita tercantik di dunia?”
Kemudian orang-orang yang bertanya kepadanya: “Baiklah kawan. Wanita tercantik di dunia yang anda rindukan dan cintai, apakah anda ketahui bahwa wanita cantik itu dari keluarga kesatria, Brahmana, veisya atau sudra?”
Setelah ditanya, ia menjawab: “Tidak”.
Lalu orang-orang bertanya kepadanya: “Baiklah kawan. Wanita tercantik di dunia yang anda rindukan dan cintai, apakah anda tahu namanya, atau nama keluarganya, atau apakah ia tinggi, atau pendek, atau tingginya lumayan; apakah ia berkulit hitam, putih atau kuning, atau ia tinggal di kampung, kelurahan atau kota apa?”
Setelah ditanya ia menjawab : “Tidak”.
Orang-orang berkata kepadanya: “Kawan yang baik, kalau begitu dia yang anda rindukan dan cintai adalah anda tidak tahu dan belum pernah lihat?
Ia menjawab : “Ya”.
“Potthapada, bagaimana pendapamu? Bukankah cerita dari orang itu tidak berguna?”
“Bhante, begitulah. Cerita dari orang itu adalah tidak berguna”.

68(36)— ”Potthapada demikinlah ada beberapa Samana dan Brahmana yang beraliran tertentu dan berpandangan tertentu: “Jiwa adalah bahagia dan sehat sempurna setelah meninggal”.
Saya [Samana Gotama] mengunjungi mereka, menanyakan “apakah hal itu adalah pandangan mereka atau tidak”.
Mereka menjawab “ya” berarti memberitahukan bahwa itu pandangan mereka.
Saya [Samana Gotama] bertanya kepada mereka, “seberapa jauh mereka biasa mengetahui atau mengerti tentang dunia (bahwa orang dalam dunia), kebahagiaan sempurna?”,
Mereka menjawab :”Tidak”.
Selanjutnya saya [Samana Gotama] bertanya kepada mereka: “Saudara-saudara, lebih lanjut, dapatkah anda sekalian mempertahankan diri anda sekalian selama semalam, sehari penuh, atau setengah malam dan siang, tetap bahagia sempurna?”
Mereka menjawab : “Tidak”.
Saya [Samana Gotama] berkata kepada mereka: “Saudara-saudara, apakah anda mengetahui cara atau jalan yang dengan itu anda dapat merealisasikan keadaan kebahagiaan sempurna?”
Dengan pertanyaan ini mereka tetap menjawab : “Tidak”.
Lalu saya [Samana Gotama] berkata: “Saudara-saudara, apakah anda sekalian pernah mendengar suara-suara para dewa yang telah merealisasikan kelahiran kembali di alam kebahagiaan sempurna, dengan berkata: ‘Wahai manusia, berlakulah sungguh-sungguh, berusahalah dengan giat, untuk merealisasikan (kelahiran kembali) di alam kebahagiaan sempurna. Karena sebagai hasil dari usaha seperti itu, kami telah terlahir kembali di alam kebahagiaan sempurna’”.
Mereka tetap menjawab; “Tidak”.
“Potthapada, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata para Samana dan Brahmana itu merupakan hal yang tak memiliki dasar yang baik?”
“Tentu, Bhante. Kata-kata mereka itu merupakah hal yang tak memiliki dasar yang baik”.

69(37)-- “Potthapada, hal itu bagaikan seseorang mendirikan sebuah tangga di perempatan jalan untuk naik ke tingkat tertinggi sebuah gedung. Orang-orang bertanya kepadanya: “Kawan yang baik, anda membuat tangga untuk naik ke gedung, apakah anda tahu ini ada di timur, barat, utara atau selatan? Apakah itu tinggi, rendah atau setengah tinggi?”
Setelah ditanya, ia menjawab: “Tidak”.
Orang-orang bertanya kepadanya: “Kawan, tetapi anda mendirikan sebuah tangga untuk naik ke gedung yang anda tidak tahu maupun anda tidak lihat?”
Setelah ditanya, ia menjawab: “Tidak”.
“Potthapada, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata orang itu merupakan hal yang tak memiliki dasar yang baik?”
“Tentu, Bhante. Kata-kata orang itu merupakah hal yang tak memiliki dasar yang baik”.

70(38)— ”Potthapada demikinlah ada beberapa Samana dan Brahmana yang beraliran tertentu dan berpandangan tertentu: : “Jiwa adalah bahagia dan sehat sempurna setelah meninggal”.
Saya [Samana Gotama] mengunjungi mereka, menanyakan “apakah hal itu adalah pandangan mereka atau tidak”.
Mereka menjawab “ya”, yang berarti memberitahukan bahwa itu pandangan mereka.
Saya [Samana Gotama] bertanya kepada mereka, apakah seberapa jauh mereka biasa mengetahui atau mengerti tentang dunia (bahwa orang dalam dunia), kebahagiaan sempurna?”,
Mereka menjawab :”Tidak”.
Selanjutnya saya bertanya kepada mereka: “Saudara-saudara, lebih lanjut, dapatkah anda sekalian mempertahankan diri anda sekalian selama semalam, sehari penuh, atau setengah malam dan siang, tetap bahagia sempurna?”
Mereka menjawab : “Tidak”.
Saya berkata kepada mereka: “Saudara-saudara, apakah anda mengetahui cara atau jalan yang dengan itu anda dapat merealisasikan keadaan kebahagiaan sempurna?”
Dengan pertanyaan ini mereka tetap menjawab : “Tidak”.
Lalu saya berkata: “Saudara-saudara, apakah anda sekalian pernah mendengar suara-suara para dewa yang telah merealisasikan kelahiran kembali di alam kebahagiaan sempurna, dengan berkata: ‘Wahai manusia, berlakulah sungguh-sungguh, berusahalah dengan giat, untuk merealisasikan (kelahiran kembali) di alam kebahagiaan sempurna, Karena sebagai hasil dari usaha seperti itu, kami telah terlahir kembali di alam kebahagiaan sempurna”.
Mereka tetap menjawab; “Tidak”.
“Potthapada, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata para Samana dan Brahmana itu merupakan hal yang tak memiliki dasar yang baik?”
“Tentu, Bhante. Kata-kata mereka itu merupakah hal yang tak memiliki dasar yang baik”.

71(39)--- ”Potthapada, ada tiga macam pencapaian-pribadi (atta patilabha) yang diinginkan (manusia biasa), yaitu: pencapaian-pribadi materi (olarika), pencapaian-pribadi non-materi (manomaya) dan pencapaian-pribadi tanpa-bentuk (arupa). Potthapada, apakah yang dimaksud dengan pencapaian materi?”
[Potthapada menjawab] “pencapaian-pribadi materi adalah jasmani yang dibentuk oleh empat materi dasar (catummahabhuta) dan dipelihara oleh makanan keras (kabalinkarahara).
[Samana Gotama bertanya] “Apakah yang dimaksud dengan pencapaian-pribadi non-materi?”
[Potthapada menjawab] “Pencapaian-pribadi non-materi adalah dibentuk oleh pikiran, memiliki seluruh anggota tubuh besar dan kecil, serta orang-organ yang sempurna.
[Samana Gotama bertanya] “ “Apakah yang dimaksud dengan pencapaian-pribadi tanpa-bentuk?
[Potthapada menjawab] “Pencapaian-pribadi tanpa-bentuk adalah keadaan tanpa jasmani dan hanya memiliki kesadaran (saññamayo)”.

72.(40) ”Potthapada, berkenaan dengan pencapaian-pribadi materi ini, saya akan mengajarkan dhamma (damma desana) yang mengarah pada pelenyapannya; sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna”.
“Potthapada, mungkin anda berpikir: ‘Karena kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna, tetapi seseorang tetap dukkha’”.
“Potthapada, pendapat tersebut adalah tidak tepat. Karena bilamana hal itu dicapai, maka ia akan diliputi oleh kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha), kedamaian (passadhi), perhatian seksama (sati) dan pengertian jelas (sampajanna)”.

73. (41) “Potthapada, berkenaan dengan pencapaian non-materi ini, saya akan mengajarkan dhamma (Dhamma desana) yang mengarah pada pelenyapannya; sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna”.
“Potthapada, mungkin anda berpikir: ‘maka kecenderu- ngan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna, tetapi seseorang tetap dukkha’.
“Potthapada, pendapat tersebut adalah tidak tepat. Karena bilamana hal itu dicapai, maka ia akan diliputi oleh kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha), kedamaian (passadhi), perhatian seksama (sati) dan pengertian jelas (sampajanna).

74. (42) “Potthapada, berkenaan dengan pencapaian tanpa-bentuk ini, saya akan mengajarkan dhamma (Dhamma desana) yang mengarah pada pelenyapannya; sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna”.
“Potthapada, [setelah saya berbicara demikian] mungkin anda berpikir: ‘maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna, tetapi seseorang tetap dukkha’”.
“Potthapada, pendapat tersebut adalah tidak tepat. Karena bilamana hal itu dicapai, maka ia akan diliputi oleh kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha), kedamaian (passadhi), perhatian seksama (sati) dan pengertian jelas (sampajanna)”.

75. (43) Samana Gotama menjelaskan “Potthapada, orang lain mungkin bertanya kepada kita: ‘Saudara, apakah pencapaian-pribadi materi (olarika atta-patilabho) yang dilenyapkan berdasarkan pada dhamma yang anda ajarkan (desana) itu; sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna?’”
Berkenaan dengan pertanyaan itu, saya [Samana Gotama] akan menjawab: “Itu adalah alorika atta patilabho yang anda lihat di depan anda sendiri yang saya maksud”.

76. (44) Samana Gotama menjelaskan: “Potthapada, orang lain mungkin bertanya kepada kita: “Saudara, apakah manomaya atta-patilabho (pencapaian-pribadi non-materi) yang dilenyapkan berdasarkan pada dhamma yang anda ajarkan (desana) itu ; sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna?”
Berkenaan dengan pertanyaan itu, saya [Samana Gotama] menjawab: “Itu adalah manomaya atta patilabho yang anda lihat di depan anda sendiri yang saya maksud”.

77.(45)---”Potthapada, orang lain mungkin bertanya kepada kita: ‘Saudara, apakah pencapaian-pribadi tanpa-bentuk (arupo atta-patilabho) yang dilenyapkan berdasarkan pada dhamma anda ajarkan (desana) itu; sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna?”
Berkenaan dengan pertanyaan itu, saya [Samana Gotama] menjawab: “Itu adalah arupo atta patilabho yang anda lihat di depan anda sendiri yang saya maksud”.
“Potthapada, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata itu merupakan hal yang tak memiliki dasar yang baik?”
“Tentu, Bhante. Kata-kata itu merupakah hal yang tak memiliki dasar yang baik”.

78.(46)---”Potthapada, hal itu bagaikan seseorang mendirikan sebuah tangga untuk naik ke tingkat tertinggi dari sebuah gedung di bawah gedung itu. Orang-orang bertanya kepadanya: ‘Kawan yang baik, anda membuat tangga untuk naik ke gedung, apakah anda tahu ini ada di timur, barat, utara atau selatan? Apakah itu tinggi, rendah atau setengah tinggi?’”
Setelah ditanya, ia menjawab: “Mengapa? Ini adalah gedungnya! Di sini adalah bagian bawah gedung tempat saya mendirikan tangga dengan maksud untuk naik ke gedung”.
“Potthapada, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata orang itu memiliki dasar yang baik?”
“Tentu, Bhante. Kata-kata orang itu memiliki dasar yang baik”.

79(47) “Potthapada, demikianlah ketika saya ditanya: “Saudara, berkenaan dengan pencapaian-pribadi tanpa-bentuk, anda akan mengajarkan dhamma (dhamma desana) yang mengarah pada pelenyapannya; sehingga bilamana seseorang melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna”.
“Saudara, mungkin anda berpikir: ‘maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna, tetapi seseorang tetap dukkha’”.
“Saudara, pendapat tersebut adalah tidak tepat. Karena bilamana hal itu dicapai, maka ia akan diliputi oleh kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha), kedamaian (passadhi), perhatian seksama (sati) dan pengertian jelas (sampajanna).
“Saudara, orang lain mungkin bertanya kepada kita: “Saudara, apakah pencapaian-pribadi materi (olarika atta-patilabho) yang dilenyapkan berdasarkan pada dhamma [yang] anda ajarkan (dhamma desana); sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna?”
Berkenaan dengan pertanyaan itu, saya akan menjawab: “Itu adalah alorika atta patilabho yang anda lihat di depan anda sendiri yang saya maksud”.
“Saudara, orang lain mungkin bertanya kepada kita: ‘Saudara, apakah pencapaian-pribadi non-materi (manomaya atta-patilabho) yang dilenyapkan berdasarkan pada dhamma [yang] anda ajarkan (dhamma desana); sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna?’”
Berkenaan dengan pertanyaan itu, saya akan menjawab: “Itu adalah manomaya atta patilabho yang anda lihat di depan anda sendiri yang saya maksud”.
“Saudara, orang lain mungkin bertanya kepada kita: “Saudara, apakah pencapaian-pribadi tanpa-bentuk (arupo atta-patilabho) yang dilenyapkan berdasarkan pada dhamma anda ajarkan (desana); sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang se-lanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna?’”
Berkenaan dengan pertanyaan itu, saya akan menjawab: “Itu adalah arupo atta patilabho yang anda lihat di depan anda sendiri yang saya maksud”.
“Saudara, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata itu merupakan hal yang tak memiliki dasar yang baik?”
“Tentu, Bhante. Kata-kata itu merupakah hal yang tak memiliki dasar yang baik”.

80.(48)--- Ketika beliau telah berkata begitu, Citta Hatthisari-putta berkata kepada Bhagava: “Bhante, ketika seseorang memiliki pencapaian-pribadi materi (olarika atta-patilabho), maka manomaya atta-patilabho dan arupa atta patilabho adalah tidak nyata? Apakah hanya olarika atta-patilabho yang nyata?”
“Bhante, ketika seseorang memiliki pencapaian-pribadi non-materi (manomaya atta-patilabho), maka olarika atta-patilabho dan arupa atta patilabho adalah tidak nyata? Apakah hanya manomaya atta-patilabho yang nyata?”
“Bhante, pada waktu seseorang memiliki pencapain-pribadi materi (arupa atta-patilabho), maka olarika dan manomaya atta-patilabho adalah tidak nyata? Apakah hanya arupa atta-patilabho yang nyata?”

81.(49) [Sang Bhagava memberikan penjelasan kepada Citta Hatthisari-putta]. “Citta, ketika olarika atta-patilabho ada, maka olarika atta-patilabho tidak muncul dalam katagori manomaya atta-patilabho dan arupa atta-patilabho. Ketika olarika atta-patilabho ada, maka hanya olarika atta-patilabho yang nyata”.
“Citta, ketika manomaya atta-patilabho ada, maka manomaya atta-patilabho tidak muncul dalam katagori olarika atta-patilabho dan arupa atta-patilabho. Ketika manomaya atta-patilabho ada, maka hanya manomaya atta-patilabho yang nyata”.
“Citta, ketika arupa atta-patilabho ada, maka arupa atta-patilabho tidak muncul dalam katagori olarika atta-patilabho dan manomaya atta-patilabho. Ketika arupa atta-patilabho ada, maka hanya arupa atta-patilabho yang nyata”.
[Selanjutnnya Sang Bhagava bertanya kepada Citta Hatthisari-putta] “Citta, bilamana orang-orang bertanya kepada anda: ‘Apakah anda ada pada waktu lampau atau tidak?, Apakah anda akan ada di waktu akan datang?, Apakah anda ada sekarang atau tidak?” Bagaimana anda akan menjawabnya?”
[Citta Hatthisari-putta menjawab] “Saya akan berkata ‘saya ada pada waktu yang lampau dan bukan tidak ada; bahwa saya akan ada di waktu akan datang dan bukan tidak akan ada; bahwa saya sekarang ada dan bukan tidak ada’”.

82.(50)--- ”Kemudian, bilamana mereka bersama-sama bertanya:
(1) Pencapaian pribadi lampau (atita atta-patilabho) yang telah anda miliki, apakah itu nyata bagimu; sedangkan pencapaian pribadi akan datang (anagata atta-patilabho) dan pencapaian pribadi sekarang (paccuppanna atta-patilabho) adalah tidak nyata?
(2) Pencapaian pribadi akan datang yang akan anda miliki, apakah itu nyata bagimu, sedangkan pencapaian pribadi lampau dan pencapaian pribadi sekarang adalah tidak nyata?
(3) Pencapaian pribadi sekarang yang anda miliki, apakah itu nyata bagimu, sedangkan pencapaian pribadi lampau dan pencapaian pribadi akan datang adalah tidak nyata?”
“Citta, setelah ditanya seperti itu, bagaimana anda menjawabnya?”
“Saya akan menjawab bahwa pencapaian pribadi lampau yang telah saya miliki pada waktu itu adalah nyata; sedangkan yang dua lainnya adalah tidak nyata. Begitu pula saya menjawab dua hal yang lain”.
83.(51)--- ”Citta, begitulah. Ketika salah sebuah dari tiga pencapain itu didapat, pencapain itu tidak menjadi katagori salah satu dua pencapaian lain”.

84.(52)--- ”Citta, begitu pula dari sapi dihasilkan susu, dari susu dihasilkan dadih (curd), dari dadih dihasilkan mentega, dari mentega dihasilkan ghee, dari ghee dihasilkan susu kental asam; tetapi ketika sesuatu itu [disebut] susu, maka hal itu [saat itu] tidak disebut dadih atau mentega, atau ghee atau susu kental asam; ketika sesuatu itu [disebut] dadih, maka hal itu [saat itu] tidak disebut mentega … dst..

85.(53)--- ”Citta, begitu pula ketika salah sebuah dari tiga macam pencapaian dihasilkan, maka itu tidak disebut seperti nama dari dua yang lain. Citta, karena hal ini hanyalah nama, ekspresi, sebutan, pembentukan dalam penggunaan bahasa dalam dunia. Sehu-bungan dengan hal-hal ini Tathagata menggunakannya, tetapi tidak terbawa oleh hal-hal itu”.

86.(54)--- Setelah beliau berkata demikian, pertapa Potthapada berkata kepada Bhagava: “Bhante, sangat mengagumkan kata-kata yang telah diucapkan; sangat menakjubkan. Bagaikan seseorang yang mendirikan apa yang telah rebah, atau menemukan apa tersembunyi, atau menunjukkan jalan bagi mereka yang tersesat, atau memberikan penerangan bagi mereka yang ada dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat bentuk, demikian pula kebenaran yang telah dinyatakan dalam berbagai cara oleh Bhagava. Bhante, saya berlindung kepada Bhagava, kepada Dhamma dan Sangha. Semoga bhante menerima saya sebagai umat Buddha (upasaka), sejak sekarang ini sampai hidup berakhir; sebagi seseorang telah mengabil perlindungan”.

87.(55)-- Tetapi Citta Hatthisari-putta berkata kepada Bhagava: “Bhante, sangat mengaguman kata-kata yang telah diucapkan; sangat menakjubkan. Bagaikan seseorang yang mendirikan apa yang telah rebah, atau menemukan apa tersembunyi, atau menunjukkan jalan bagi mereka yang tersesat, atau memberikan penerangan bagi mereka yang ada dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat bentuk, demikian pula kebenaran yang telah dinyatakan dalam berbagai cara oleh Bhagava. Bhante, saya berlindung kepada Bhagava, kepada Dhamma dan kepada Sangha. Semoga bhante menerima [saya sebagai] pabbajja (meninggalkan kehidupan berumah tangga) dan ditahbiskan menjadi bhikkhu (upasampada) dibawah bimbingan Bhagava”.

88.(56)--- Permohonan Citta Hatthisari-putta untuk pabbajja dan di- upasampada dibawah bimbingan Bhagava dipenuhi. Tidak lama setelah Citta Hatthisari-putta ditahbiskan, ia menyendiri, berpisah dengan bhikkhu yang lain, dengan kesungguhan, bersemangat dan bertekad kuat. Sehingga tidak lama kemudian ia mencapai tujuan akhir dari penghidupan suci (brahmacariya), dalam kehidupan ini (sekarang), memiliki kemampuan batin, merealisasikan dan melihat secara langsung pencapaian itu. Ia menyadari bahwa kelahiran berikut tidak ada lagi, pencapaian tertinggi telah dicapai; segala sesuatu yang harus dikerjakan telah dilaksanakan; setelah kehidupan ini tidak ada lagi kehidupan berikut.
Demikianlah, Bhikkhu Citta Hatthisari-putta menjadi salah seorang arahat. ☼

Tidak ada komentar:

Posting Komentar